Mongabay.co.id

Perhatikan Nasib Nelayan Lokal, Menteri Kelautan Diingatkan Tidak Gegabah Buat Kebijakan Perikanan Tangkap

 

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR RI mengingatkan agar Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, tidak gegabah dalam membuat kebijakan penangkapan perikanan dengan sistem kontrak, yang akan dimaksimalkan sebagai penggerak utama pencapaian target devisa.

Hal itu disampaikan anggota F-PKS DPR RI Saadiah Uluputty kepada Mongabay Indonesia, Selasa (29/3/2022). Menurutnya, melalui Forum Berita Satu Ekonomic Outlook 2022, Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Wahyu Sakti Trenggono menjelaskan mengenai target pengembangan perikanan kedepannya untuk mencapai target devisa.

“Menteri KP menjelaskan, pengembangan perikanan kedepannya untuk mencapai target devisa, Rp15 miliar USD pada 2024, dimana penangkapan perikanan dengan sistem kontrak akan dimaksimalkan, sebagai penggerak utama pencapaian target yang dimaksud,” ungkapnya.

Sistem kontrak ini, akan dilakukan pada 6 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dengan total potensi 12 juta ton. Enam WPP paling banyak mencakup wilayah timur Indonesia. Areanya meliputi, WPPNRI 715, 718, dan sebagian 714 yaitu perairan Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur.

“Potensi ikan yang bisa ditangkap di zona ini sebesar 3,9 juta ton, dengan nilai produksi sekitar Rp117 triliun,” kata Trenggono kala itu.

Karena itu, Saadiah meminta KKP agar tidak gegabah dalam membuat kebijakan, pasalnya sistem kuota komersil ini akan menjadi pintu masuk bagi investor asing, dalam aktivitas perikanan komersil di Indonesia, dengan target perikanan tuna tongkol dan cakalang yang selama ini menjadi komoditas ekspor terbesar Indonesia.

baca :  Pengawasan Terintegrasi untuk Penangkapan Ikan Terukur Mulai Awal 2022

 

Sejumlah nelayan di Negeri Hualoy, Kabupaten Seram Barat, Provinsi Maluku Utara. Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia

 

Sisi lain, kata legislator asal daerah pemilihan Maluku ini, belum adanya jaminan para investor tersebut menggunakan tenaga kerja Indonesia. Sebab sejak UU Cipta Kerja disahkan, telah menghapus kewajiban kapal ikan asing untuk menggunakan minimal 70 persen dari ABK berkewarganegaraan Indonesia.

Kebijakan sistem kuota ini, dinilai memiliki struktur berpikir yang sedikit meloncat. Dia mengatakan, jika kebijakan perikanan akan didorong ke arah sistem zonasi dengan kuota penangkapan, maka KKP sebagai kementerian yang diberi mandat untuk mengelola perikanan nasional, mestinya mengembangkan nelayan lokal terlebih dahulu.

“Jangan sampai KKP memiliki cara berfikir yang instan demi mengejar target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tinggi, lalu mengorbankan kepentingan rakyat dan memperkaya pengusaha atau investor asing,” ujarnya.

Kemudian terkait penangkapan ikan terukur pasca PNBP ini, Saadiah juga meminta KKP agar Pelabuhan Perikanan milik Pemerintah Daerah dimasukan dalam Peraturan Menteri (Permen) KP. Salah satunya Pelabuhan Perikanan Dobo yang ada di WPP 718.

“Pelabuhan yang dimasukkan hanya pelabuhan perikanan milik Pemerintah Pusat, yang letaknya di Kota Tual, sementara jarak Dobo dan Tual itu dilalui sehari-semalam menggunakan kapal,” katanya.

Dia juga mempertanyakan kebijakan KKP yang memasukan pelabuhan swasta di Benjina sebagai pelabuhan pendaratan ikan dalam Permen KP, alih-alih memasukkan dua Pelabuhan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi.

“Karena itu, pelabuhan yang ada di Aru harus diakomodir dalam Permen KP, karena sangat berhubungan sekali dengan arus penciptaan lapangan kerja kita yang ada di sana. Ibu-ibu yang selama ini pertumbuhan ekonominya hidup, kini takut dan khawatir jika harus diarahkan lagi ke Benjina. Sementara Benjina itu ada cerita masa lalu tentang perbudakan di sana,” katanya.

Menurut dia, WPP 718 (perairan Laut Aru, Laut Arafuru dan Laut Timor bagian timur) merupakan wilayah perairan yang paling ‘seksi’ di Indonesia karena melimpahnya sumber daya ikannya

baca juga : Laut Arafura Jadi Panggung Pertunjukan Utama Penangkapan Ikan Terukur

 

Sejumlah jibu-jibu (pedagang ikan) di Pasar Tradisional Mardika Kota Ambon, Maluku. Ikan-ikan ini diambil dari para nelayan dari berbagai lokasi di wilayah Kota Ambon. Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia

 

Sisi lain, Saadiah juga mengoreksi Permen KP No.18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di wilayah Pengelolaan Perikanan dan Laut Lepas, pasal 26, yang menyebut jaring udang hela berkantong diperbolehkan beroperasi hanya untuk kapal dengan ukuran di atas 30 GT pada jalur penangkapan ikan 2 dan 3 dengan isobat minimal 10 meter di WPP 718.

Sementara pasal 3 menyebutkan, yang dimaksud jalur 1 adalah 0 sampai 4 mil laut, jalur 2 yaitu di luar jalur 1 sampai dengan 12 mil laut, yang merupakan kewenangan Pemerintah Daerah sesuai UU.

“Kelihatannya ada tumpang tindih aturan, khususnya nanti terkait siapa yang berwewenang mengeluarkan izin termasuk kebijakan penguatan PNBP. Selain itu potensi konflik dengan nelayan lokal akan semakin tinggi karena fishing ground-nya beririsan,” ujarnya.

Menurut informasi di lapangan, kata Saadiah, KKP sudah mengeluarkan beberapa izin kapal dengan alat tangkap bukan hela, untuk beroperasi di WPP 718.

“Sudah ada beberapa informasi termasuk foto-foto yang menggambarkan ada konflik di lapangan. Kapal-kapal di atas 30 GT bahkan 200 GT masuk sampai di jalur 2 dengan jaring trol menyeret jaring-jaring nelayan kecil,” ungkapnya.

 

Pusaran Kebijakan 

Sementara Amrullah Usemahu,  Wakil Sekretaris Jenderal Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) mengatakan, KKP menargetkan agar implementasi regulasi penangkapan ikan terukur akan berdampak positif, dengan akan menyerap sekitar 571.650 tenaga kerja, yang terdiri dari awak kapal, pekerja UPI, dan pekerja bongkar muat serta informal. Dengan target nilai produksi sekitar Rp117 triliun.

“Jika kita lihat Keputusan Menteri KP No.50/Kepmen-KP/2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan (SDI) di WPPNRI, pada WPP 715 dengan total potensi 1.242.526 ton dan jumlah tangkap perbolehkan (JTB) 994.021 ton serta WPP 718 mencapai 2,6 juta ton dan JTB 2,1 juta ton. Sehingga total potensi pada 2 WPP yang masuk dalam zona 3 penangkapan ikan terukur ini adalah 3,8 juta ton dengan JTB 3,1 juta ton,” rincinya.

Dia mengatakan, untuk data produksi perikanan tangkap Maluku pada tahun 2020 mencapai 523.261 ton. Ini yang terdata didaratkan pada pelabuhan-pelabuhan perikanan ataupun pangkalan pendaratan ikan sekitar provinsi Maluku.

“Menurut saya produksi perikanan kita bisa lebih dari nilai tersebut, pasalnya masih banyak nelayan yang mendaratkan ikan di sembarang tempat ataupun tidak terdata. Misalnya saja bagi nelayan skala kecil yang mendominasi armada perikanan tangkap di Maluku hingga 90 persen, dan mendaratkan ikan di sekitar wilayah pesisir kepulauan,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Selasa (29/3/2022).

baca juga : KKP Tawarkan Penangkapan 5,99 Juta Ton Ikan Berbalut Konservasi untuk Perusahaan

 

Sekelompok nelayan Maluku membersihkan jaring penangkap ikan setelah digunakan melaut. Foto : shutterstock

 

Kemudian hasil asesment stock terbaru berkaitan jumlah potensi SDI di masing-masing WPPNRI juga harus segera dirilis resmi. Apakah stok ikannya naik, tetap atau menurun, karena ini nanti akan berkaitan dengan kebijakan pemberlakukan kuota penangkapan ikan.

Amrullah mengungkap, di dalam draf Permen KP tentang penangkapan ikan terukur terbaca bahwa, WPP 715 dan 718 berada pada zona 3 yang diperuntukkan buat kuota komersial, kuota lokal atau nelayan tradisional maupun kuota non-komersial. Sementara WPP 714 berada pada zona 7 yang telah dibatasi dalam pengelolaannya.

Untuk jalur penghubung dari sub Pelabuhan Perikanan yang ada di sekitar perairan Maluku, sudah terlihat konektivitasnya dipusatkan di New Port Ambon dan PPN Tual. Namun, kata dia, perlu lagi dilihat sistem logistik antar pulaunya.

Sepintas, KKP menargetkan optimalisasi kebijakan penangkapan ikan terukur dengan kuota penangkapan yang menunjukkan ketahanan ekologi sekaligus mendukung ketahanan pangan, kemudian nilai produksi kuota penangkapan yang menunjukkan ketahanan ekonomi.

Dampak kebijakan itu seperti nilai pendapatan dan kesejahteraan nelayan yang menunjukkan ketahanan sosial ekonomi masyarakat, penambahan penyerapan tenaga kerja, distribusi pertumbuhan ekonomi di daerah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kemudahan dalam fish treacibility, peningkatan PNBP serta peningkatan konstribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap perekonomian nasional.

Namun memang diperlukan sosialisasi intens kepada daerah dan masyarakat nelayan berkaitan dengan implementasi dan operasional kebijakan tersebut.

Sehingga bisa diketahui sistem kuota atau kontrak serta bagi hasil perikanan yang diterapkan untuk daerah penghasil seperti apa. Sisi lain model pemberdayaan yang dilakukan bagi nelayan. Dengan demikian, daerah mulai menyiapkan diri sejak dini.

baca juga :  Penangkapan Terukur dan Penerapan Kuota Apakah Layak Diterapkan?

 

Nelayan ikan Tuna di Desa Bere-bere, Pulau Morotai, Maluku Utara sedang menurungkan hasil tangkapannya. Foto : USAID

 

Akses nelayan lokal

Menurut Amrullah, penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur ini akan mencakup pengaturan area penangkapan ikan, jumlah ikan yang boleh ditangkap berdasarkan kuota volume produksi, musim penangkapan ikan, jenis alat tangkap, pelabuhan perikanan sebagai tempat pendaratan atau pembongkaran ikan, penggunaan ABK lokal, suplai pasar domestik dan ekspor ikan harus dilakukan dari pelabuhan di WPPNRI yang ditetapkan.

Namun berkaitan dengan teknis penerapan kebijakan ini, perlu dikaji secara detail khusus berkaitan dengan nelayan skala kecil berdasarkan zonasinya, baik di bawah 12 mil atau di atas 12 mil, dan sesuai ukuran GT kapalnya. Kemudian menggunakan izin pusat atau daerah dalam perijinannya dan sekiranya akan lebih mempermudah akses nelayan lokal.

Dia mengatakan, kesiapan sumber daya manusia akan menjadi penentu utama suksesnya implementasi kebijakan penangkapan ikan terukur di daerah, salah satunya akan membuka lapangan kerja yang luas karena seluruh ABK adalah nelayan lokal, kecuali fishing master dan nakhoda untuk kapal buatan luar negeri.

“Pertanyaannya, apakah kita di Maluku telah siap. Atau memang tetap mau jadi penonton. Silahkan menentukan sikap,” tutup Sekretaris Departemen Perikanan, Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau terdepan ICMI Maluku ini.

 

Dampak Kebijakan 

Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono membeberkan dampak positif dari penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur, khususnya untuk wilayah timur Indonesia. Dampaknya yaitu mulai dari tumbuhnya usaha baru yang berimbas pada penyerapan tenaga kerja, hingga meratanya pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir sehingga tidak lagi terpusat di Pulau Jawa.

“Melalui penangkapan ikan terukur ini, kita ingin membawa perikanan di tanah air ke dalam era baru yang lebih maju, lebih menyejahterakan, lebih berkeadilan, sekaligus lebih berkelanjutan,” ujar Menteri Trenggono saat menjadi pembicara kunci dalam Forum Bisnis dan Investasi Maluku Baileo Exhibition di Makassar, Sulawesi Selatan, pada awal Februari 2022.

baca juga : Nelayan Kecil dan Pesta Korporasi di Laut

 

Sekelompok nelayan tradisional dengan perahu kecilnya sedang menangkap ikan di perairan Maluku. Foto : shutterstock

 

Penangkapan ikan terukur mengubah pendekatan input control menjadi pendekatan output control, di mana pengendalian dilakukan dengan menerapkan sistem kuota penangkapan ikan dan zonasi sehingga pemanfaatan sumber daya ikan bisa sesuai dengan daya dukungnya.

Kuota penangkapan akan diberikan kepada investor, nelayan lokal, dan penghobi. Sedangkan zonasi penangkapan akan dibagi dalam enam zona termasuk di dalamnya zona spawning and nursery ground.

Dari enam zonasi tersebut, Zona 03 yang paling banyak mencakup wilayah timur Indonesia. Areanya meliputi WPPNRI 715, 718, dan sebagian 714 yaitu perairan Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur. Potensi ikan yang bisa ditangkap di zona ini sebesar 3,9 juta ton, dengan nilai produksi sekitar Rp117 triliun.

“Melalui penerapan kebijakan penangkapan terukur di zona 03, maka prospek bisnis dari multiplier effect ekonomi diperkirakan mencapai Rp154,44 triliun. Ini juga akan mendukung implementasi program Maluku Lumbung Ikan Nasional,” ungkapnya.

Menurut dia, besarnya potensi yang dimiliki wilayah timur Indonesia merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha maupun kelompok nelayan untuk meningkatkan kesejahteraan. Sebab selain usaha penangkapan, banyak usaha turunan yang dapat dikembangkan, seperti usaha galangan kapal, unit pengolahan ikan, pabrik es, apartemen nelayan, air bersih, BBM, toko perbekalan melaut, hingga rumah makan.

Dari berbagai usaha tersebut, diprediksi akan menyerap sekitar 571.650 tenaga kerja yang terdiri dari awak kapal, pekerja UPI, dan pekerja bongkar muat dan informal.

“Saya berharap potensi perikanan ini bener-bener dilaksanakan di wilayah tersebut. Jadi bisa kita bayangkan kalau semuanya ada di wilayah itu, maka ekonominya pun tumbuh di sana. Ini merupakan trigger untuk pertumbuhan ekonomi di daerah, sehingga tidak “Jawa sentris”, melainkan menjadi “Indonesia sentris,” pungkasnya.

 

Exit mobile version