Mongabay.co.id

Memulihkan Mangrove, Mengembalikan Harapan Masyarakat Muara Badak

 

 

Baca sebelumnya: Berharap Mangrove di Muara Badak Hijau Kembali

**

 

Hamparan hutan mangrove di pesisir Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara [Kukar], Kalimantan Timur [Kaltim] sempat tergerus akibat maraknya pembukaan tambak ikan dan juga alih fungsi lahan menjadi kebun dan permukiman.

Beberapa tahun terakhir, hamparan mangrove tersebut mulai dihijaukan kembali secara swadaya oleh masyarakat Muara Badak. Tujuannya, menyelamatkan pesisir Muara Badak dari erosi, yang membantang dari Desa Saliki, Salo Palai, Muara Badak Ulu, Muara Badak Ilir, Gas Alam, dan Tanjung Limau.

Arpan, Camat Muara Badak, menuturkan penanaman bibit mangrove oleh sejumlah komunitas terus dilakukan, serta membuat ekowisata. Arpan juga meminta peneliti dari kehutanan, pertanian dan perikanan, terutama dari Universitas Mulawarman untuk melakukan riset.

“Mangrove adalah masa depan Muara Badak,” tuturnya, awal Maret 2022.

Mangrove di Muara Badak merupakan wilayah kelola KPHP Delta Mahakam. Sesuai arahan Kementerian LHK tentang reboisasi mangrove, Arpan berupaya mendorong warga Muara Badak membangun sektor wisata berbasis ekologi mangrove. Seperti pengelolaan hasil hutan bukan kayu [HHBK], pengelolaan hasil hutan kayu [HHK], wisata pemancingan, dan usaha persemaian bibit mangrove.

“Semua pengelolaan itu sudah ada di Muara Badak. Misalnya HHBK itu, ada ibu-ibu yang membuat makanan ringan dan sirup dari mangrove.”

Arfan mengatakan, pihaknya belum memiliki data luasan mangrove dalam kondisi baik. Namun, diperkirakan  masih ratusan hektar. Dia berharap, peran swadaya masyarakat Muara Badak dapat ditingkatkan guna memperbaiki mangrove yang rusak.

“Penyebab hilangnya hutan mangrove di Muara Badak karena degradasi dan konversi menjadi tambak ikan dan udang. Itu permasalahan mendasar dan harus dihijaukan seperti semula,” sebutnya.

Baca: Upaya Memulihkan Ekosistem Mangrove yang Kritis

 

Subhan menunjukkan kawasan mangrove yang telah ditanamnya di wilayah Muara Badak. Foto: Dok. Subhan

 

Dana desa untuk pemulihan mangrove

Pendamping Desa Pesisir Muara Badak, Lukman Abi mengatakan, pengelolaan hutan masuk prioritas kegiatan yang bisa didanai melalui dana desa dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Menurut dia, dalam Program Sustainable Development Goals [SDGs] atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang menjadi panduan pembangunan desa, pengelolaan lingkungan masuk poin 14 dan 15, yaitu Desa Peduli Lingkungan.

“Terkait mangrove, pengelolaan bisa dilakukan dengan tujuan menciptakan kegiatan ekowisata ataupun wisata edukasi yang memungkinkan dikelola mumdes, melalui pendanaan anggaran desa,  khususnya dana desa. Serta, masuk program strategis pemulihan ekonomi masyarakat pasca COVID- 19,” jelasnya.

Dalam daftar prioritas penggunaan dana desa 2022, sesuai Permendes 07 Tahun 2021, dana desa secara khusus disebutkan dapat digunakan untuk pengembangan produk unggulan desa dan kawasan. Sebut saja, pengelolaan hutan mangrove, pariwisata desa dan edukasi, sentra pembenihan mangrove dan vegetasi pantai.

“Termasuk mangrove, bisa dilakukan melalui penggunaan dana desa yang efektif dan efesien. Bumdes bisa berperan aktif, sebagai penggerak kegiatan yang produktif secara ekonomi,” ujarnya.

Baca juga: 7 Fakta Penting Mangrove yang Harus Anda Ketahui

 

Penanaman satu juta mangrove di Desa Saliki, Kecamatan Muara Badak, pada April 2021 lalu. Lokasi penanaman ini dinamakan Pusat Informasi Mangrove [PIM].Foto: Dok. Subhan

 

Kekayaan mangrove

Peneliti dari Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman [Unmul], Kiswanto, menuturkan tekanan  utama terhadap mangrove di Muara Badak adalah pembangunan daerah pesisir, perluasan tambak, dan penebangan berlebihan.

“Bicara karbon, sudah pasti dari tambak lebih sedikit ketimbang mangrove yang masih alami maupun yang ditanam kembali. Semakin rapat mangrove semakin tinggi karbon yang dihasilkan.”

Kus menyebut, kekayaan mangrove di Muara Badak terlihat dari banyak jenisnya yang tumbuh liar.  Tercatat, ada 5 hingga 6 jenis. Salah satunya Rhizophora, jenis ini juga yang menjadi produk turunan makanan seperti sirup, dodol, hingga keripik buah mangrove.

“Jenis ini adalah contoh pemulihan ekonomi dari pemanfataan hasil hutan bukan kayu. Saat ini, ibu-ibu setempat mulai mengolah biji mangrove guna dibuat ekstrak teh,” paparnya.

 

Kondisi mangrove di Muara Badak yang terancam pembukaan tambak dan penebangan liar. Foto: [Drone] Yovanda

 

Peneliti dari Fakultas Perikanan Unmul, Ismail Fahmy Almadi menyebut, revitalisasi mangrove di Delta Mahakam merupakan masalah klasik.

“Revitalisasi Delta Mahakam sudah digulirkan 25 tahun silam, melalui beragam program pemerintah atau CSR perusahaan. Semua program selalu dievaluasi, namun ketika program selesai maka penanganan berhenti. Ketika program tidak jalan inilah, ada yang membuka mangrove untuk tambak,” jelasnya.

Ekosistem mangrove di Muara Badak sangat baik dan subur, meski tersebar di beberapa zona. Kondisi tersebut sangat menguntungkan bagi perikanan atau wisata. Sehingga, persoalan berkurangnya tutupan hutan mangrove dapat diselesaikan dengan baik.

“Bukan revitalisasi, tapi masyarakat dapat mereboisasi, melalui kerja sama dengan pemerintah setempat. Reboisasi mangrove juga bisa dilakukan secara swadaya, tergantung cara mengelola perekonomian sembari menghijaukan kembali,” ujarnya.

Terkait tambak warga, dia melanjutkan, program tambak ramah lingkungan akan terus digalakkan. Beragam kajian dan penelitian yang sudah ada menjadi bahan pengetahuan untuk para petambak.

“Saat ini, mereka masih menggunakan manajemen tradisional. Tambak ramah lingkungan, tentunya dapat memaksimalkan usaha perikanan sekaligus memperbaiki kondisi mangrove,” jelasnya.

 

 

Exit mobile version