Mongabay.co.id

Mangrove Batu Itam, Mangrove Sehat di Pulau Belitung

 

 

Desa Batu Itam yang luasnya sekitar 1.600 hektar, memiliki hutan mangrove sekitar 227 hektar, yang masuk HL [Hutan Lindung] Pantai Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung.  Kawasan ini merupakan ekosistem mangrove sehat di Kepulauan Bangka Belitung.

Saat mengunjungi mangrove Batu Itam, pertengahan Maret 2022, terlihat kerapatannya sekitar 2.000 pohon per hektar dengan kategori sangat padat, serta memilki tiga lapis jenis. Lapis pertama yang menghadap laut, jenis dominan Sonneratia alba [perpat]. Lapis kedua, merupakan Rhizophora Sp [bakau] dan Bruguiera gymnorrhiza [putut]. Lapis ketiga yang berbatasan dengan hutan daratan, merupakan Nypa fruticans [nipah]. Tutupan kanopinya  kisaran 80-90 persen.

Mangrove Batu Itam yang sehat, berdampak baik pada kehidupan masyarakat sekitar. Misal, air sumur jernih, tidak berubah warna dan rasa sejak awal dibuat.

 

 

Pohon Soneratia alba yang telah mati karena usia tua di wilayah Mangrove Desa Batu Itam, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Foto: Muhammad Rizqi Ramadhani/Mongabay Indonesia

 

Biota yang berasosiasi dengan ekositem mangrove seperti jenis kerang-kerangan banyak ditemukan di mangrove Batu Itam. Sebut saja timong [Geloina erosa], keremis [Anadara granosa], dan keremis bulu [Anadara antiquate]. Ada juga kepiting bakau [Scylla serrata] yang banyak muncul pada September hingga Desember.

Mangrove Batu Itam juga tempat bersarang atau bertelurnya sejumlah ikan, seperti belanak [Moolgarda seheli], bandeng [Chanos chanos], dan kakap putih [Lates calcarifer].

Monyet [Macaca fascicularis], burung elang laut [Haliaeetus leucogaster], serta burung kucica kampung [Copsychus saularis] masih terlihat mengunjungi mangrove ini.

“Masyarakat tidak pernah mengganggu satwa-satwa tersebut. Mereka takut ada dampaknya bagi kehidupan mereka,” kata Chairul [42], Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa [LPHD] Batu Itam, pertengahan Maret 2022.

“Masyarakat selalu menjaga hutan mangrove,” ujar Chairul yang juga Kepala Dusun Tiga, Desa Batu Itam.

 

Warga di sekitar Desa Batu Itam menunjukkan ikan hasil tangkapannya. Foto: Fera Angelina/Mongabay Indonesia

 

Siro

Siro adalah alat tangkap ikan tradisional yang digunakan nelayan Desa Batu Itam. Mekanismenya menjebak ikan yang mengikuti pasang surut air laut di kawasan mangrove. Alat ini berupa jaring yang dibentangkan hingga puluhan meter. Kerangkanya menggunakan kayu bakau [Rhizophora Sp] dan kayu seruk [Schima wallichii] yang tahan air.

Alat tangkap serupa juga digunakan nelayan di pesisir barat Pulau Bangka dan nelayan di Sungsang, Sumatera Selatan, yang menyebutnya tuguk.

Biota yang sering terjebak siro adalah cumi-cumi [Loligo Sp}, ikan pari [Dasyatis Sp], udang [Litopenaeus Sp], kepiting rajungan [Portunus pelagicus], belanak [Moolgarda seheli], ikan bandeng [Chanos chanos], kakap putih [Lates calcarifer], sotong [Sepia sp], dan ikan ilek [Kyphosus sectatrix].

 

Teripang, kekayaan hayati di Pesisir Desa Batu Itam. Foto: Fera Angelina/Mongabay Indonesia

 

Sarman [51], nelayan siro di Desa Batu Itam, menjelaskan ukuran siro beragam. Siro miliknya, panjangnya sekitar 50 meter dengan lebar hingga 30 meter.

Siro itu melambangkan bini [perempuan]. Sebab, bentuknya seperti bini berbaring. Jadi rejeki itu [ikan-ikan] bagaikan anak-anak yang dilahirkan dari rahim bini.”

Siro memiliki enam bagian; bunun mati, bunun tengah, bunun parik, kelingking, sayap, dan penuju. Penuju merupakan pintu masuk ikan-ikan. Sementara bunun mati, tempat terkumpulnya ikan yang terjebak. Khusus ikan pari, terperangkapnya di bunun parik.

Masyarakat Desa Batu Itam mengambil ikan di siro saat air surut, siang maupun malam.

“Orang yang masuk ke siro dengan niat buruk, misalnya mau mencuri atau merusak, dipastikan akan terkena penyakit atau musibah,” kata Jafaar [52], nelayan siro dari Desa Batu Itam juga.

 

Nurmi, 60 tahun, terlihat memancing ikan. Kegiatan ini telah ia lakukan sejak kecil. Foto: Muhammad Rizqi Ramadhani/Mongabay Indonesia

 

Setiap warga yang ingin membuat siro harus mendapatkan izin dari dukun kampung atau melakukan betare. Selama pembuatan siro dilakukan pembacaan doa. Dukun kampung adalah tokoh masyarakat, yang memiliki kemampuan dalam pengobatan dan taat beragama. Tujuan betare mendapatkan perlindungan dan rezeki yang melimpah dari Tuhan.

Dalam satu hari, nelayan siro mendapatkan penghasilan kisaran tiga ratus ribu hingga satu juta Rupiah. Nelayan siro beraktivitas setiap hari.

“Dulu, penghasilan saya bisa mencapai Rp1,5 juta per hari. Sekarang berkurang. Tapi, cukup menghidupi keluarga, serta membiayai sekolah anak-anak hingga perguruan tinggi,” kata Sarman yang memiliki 10 siro.

 

Alat tangkap siro, digunakan masyarakat Batu Itam untuk menjebak ikan dan biota laut lain. Foto: Fera Angelia/Mongabay Indonesia

 

Tradisi menjaga mangrove

Hampir setiap hari, ketika cuaca bagus, sebagian warga Desa Batu Itam, baik laki-laki maupun perempuan, memancing ikan menggunakan kail di sekitar terumbu karang. Kedalamannya  sekitar 30-45 sentimeter.

Umpan yang digunakan seperti umang-umang [Coenobita rugosus], pun-pun [Namalycastis Sp], dan udang yang didapatkan dari mangrove Batu Itam.

“Umpan yang bagus itu, umang-umang. Selain digemari ikan juga awet atau tidak mudah lepas di kail pancing. Satu umpannya bisa mendapatkan tiga hingga lima ekor ikan. Mancing sudah menjadi tradisi di keluarga kami,” kata Nurmi [60], warga Desa Batu Itam.

Tradisi mencari hasil laut masyarakat Desa Batu Itam yang terhubung dengan mangrove, selain siro dan mancing, adalah nyulo dan nimong.

Nyulo itu mencari biota laut malam hari menggunakan tangguk dan senter sebagai penerang, ketika air surut. Hasilnya dijual atau dikonsumsi sendiri.

Sementara nimong, mencari timong atau lokan [Geloina erosa], yang tidak menggunakan alat tangkap. Cukup pakai tangan. Nimong dilakukan perempuan. Sama seperti nyulo, hasilnya dikonsumsi atau dijual.

“Ada sejumlah tradisi yang hilang di desa kami, mencari keritak,” kata Marsidi [51], Kepala Dusun II, Desa Batu Itam.

Keritak itu gurita [Octopus vulgaris]. Mencari gurita ini disebut ngeritak, pakai serampang atau tombak ikan di sela karang. Atau juga, menggunakan anak kepiting bakau sebagai pancingan gurita, agar keluar dari lubang. Setelah keluar, ditangkap dengan tangan,” jelas Marsidi.

 

Alat tangkap siro, digunakan saat kondisi air laut surut. Foto: [Drone] Muhammad Rizqi Ramadhani/Mongabay Indonesia

 

Kik Zainudin [72], dukun di Desa Batu Itam mengatakan, pantangan atau larangan di hutan mangrove di sini adalah tidak boleh sembarangan menebang pohon. “Jika ada yang melanggar, akan mendapat musibah.”

Sejak 2018, Kik Zainudin ditunjuk sebagai dukun kampung. Tugasnya selain berdoa dalam proses pembuatan dan pembongkaran siro, juga mengobati orang sakit akibat melanggar larangan. Pengobatan menggunakan daun ati-ati [Coleus Amboinicus] dan gandarusa [Justicia gendarussa].

“Tugas kita sebagai manusia cukup menjaga alam, jangan dirusak.”

 

Kanal yang membelah kawasan mangrove di Desa Batu Itam. Foto: [Drone] Muhammad Rizqi Ramadhani/Mongabay Indonesia

 

Ancaman

Mulkan [53], Kepala Desa Batu Itam, menjelaskan pernah ada tawaran penanaman mangrove oleh BRGM [Badan Restorasi Gambut dan Mangrove] di area terbuka sekitar mangrove Batu Itam. Tapi ditolak masyarakat.

“Sebab area terbuka itu merupakan lokasi masyarakat mencari ikan, sejak dulu. Sementara mangrove di luar area tangkap itu masih terjaga. Mungkin, mangrove yang kondisinya masih baik di Pulau Belitung, berada di desa kami,” kata Mulkan.

Chairul menambahkan, mangrove di sini masih bagus. Masih ditemukan pohon yang lebarnya empat kali pelukan manusia.

“Program yang tepat di desa kami, mungkin pengawasan dan penjagaan mangrove.”

Terkait ancaman, menurut dia, adanya rencana pembangunan infrastruktur wisata, seperti hotel, resort, villa, dan fasilitas lainnya di mangrove Batu Itam. Pembangunan tersebut diperkirakan akan membabat mangrove, kisaran 20-40 hektar.

“Yang kami takutkan, rusaknya mangrove bakal mengganggu aktivitas nelayan,” paparnya.

Rusaknya mangrove, jelas mengurangi tangkapan ikan. Itu sama dengan merusak adat dan tradisi yang diwariskan leluhur kami.

“Wisata itu banyak membawa budaya baru, yang tidak sesuai dengan budaya kami,” tutur Jafaar.

 

Hutan mangrove sehat di Desa Batu Itam, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Foto: [Drone] Muhammad Rizqi Ramadhani/Mongabay Indonesia

 

Arthur Muhammad Farhaby, peneneliti mangrove dari Universitas Bangka Belitung [UBB] menjelaskan, ekositem mangrove yang baik tidak memerlukan penanaman. Sebab, bibit-bibit yang ditanam akan kalah bersaing dengan mangrove yang ada [besar]. Kalah bersaing mendapatkan makanan.

“Pada ekositem mangrove yang baik, jika ada pohon tua dan mati, otomatis di lokasinya akan tumbuh pohon baru. Ini proses alami. Suksesi alam. Jadi, tidak dibutuhkan campur tangan manusia. Tugas manusia hanya menjaganya. Jangan serakah. Serakah merupakan awal dari kehancuran hidup umat manusia,” tegas Arthur.

 

* Muhammad Rizqi Ramadhani dan Fera Angelia, mahasiswa Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi [FPPB] Universitas Bangka Belitung. Mengikuti pelatihan jurnalisme lingkungan yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Universitas Bangka Belitung, 24-26 Januari 2022.

 

 

Exit mobile version