Mongabay.co.id

Cerita Syawaludin Bangun Bintang Sejahtera, Berawal dari Mulung Saat Kuliah

 

 

 

 

Suara mesin pencacah sampah memecah sepi di Desa Tanak Awu, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah pada akhir Februari lalu. Bau oli dan solar beradu dengan bau sampah yang memenuhi gudang dan jalan setapak di samping rumah tua itu. Dua lelaki bolak balik mengangkut sampah dalam karung. Sampah plastik itu keluar dari dalam mesin dalam potongan kecil.

Syawaludin,pemilik usaha itu memantau kerja dua orang itu. Dia meminta menurunkan kecepatan mesin, menambahkan air, dan memastikan ulang semua sampah yang masuk di dalam penggilingan sesuai dengan jenis.

Sekitar 25 meter dari mesin penggilingan, beberapa perempuan sepuh memilah sampah, membersihkan, dan memasukkan ke beberapa wadah.

“Sekarang kadang mulai sore dan malam karena semua sibuk di sawah. Musim panen,’’ kata Syawaludin.

Tempat usaha pengolahan sampah itu diberikan nama Bank Sampah Bintang Sejahtera. Ia mulai berdiri pada 2009. Menempati dua halaman cukup besar, di rumah orang tuanya, dan rumah sendiri, Bintang Sejahtera menampung sampah plastik dari berbagai daerah. Bukan hanya dari sekitar Desa Pujut, sampai luar Pulau Lombok.

Dalam sebulan, Bintang Sejahtera mengolah 50 ton sampah plastik, 10 ton bahan kertas dan karton. Dia halaman rumah itu penuh karung berisi sampah. Ada juga sampah sudah ditata rapi menunggu waktu pengiriman.

“Kalau terlalu sedikit kami kirim, rugi di ongkos,’’ katanya.

Bintang Sejahtera ini layaknya perusahaan besar. Dalam setahun miliaran uang berputar dari bisnis sampah ini. Saat ini, ada 36 jaringan bank sampah kecil dan pengepul yang menjadi mitra Bintang Sejatera. Dari satu bank sampah dan pengepul itu uang beredar sampai Rp100 juta perbulan. Belum lagi dari kelompok-kelompok warga yang mulai mengumpulkan sampah dan menjualnya. Setiap tahun, makin banyak. Dari kelompok-kelompok ini mereka mengirim ke Bintang Sejahtera.

 

Baca juga : Inilah Hi Trash, Aplikasi Antar Jemput Sampah Ciptaan Mahasiswa

Syawaludin mengemudikan truk pengangkutan sampah yang kini menjadi milik Bank Sampah Bintang Sejahtera. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Syawaludin harus memiliki uang tunai untuk membayar mereka. Sesuai namanya “bank sampah,” aset yang dikelola adalah sampah.

“Kami tidak memakai istilah sampah, tapi sumber daya yang belum dimanfaatkan,’’katanya.

Dia bilang, sampah tekesan kotor, jorok, jijik dan selalu jadi masalah. Sampah dibuang ke sungai, tanah kosong, pinggir jalan, laut, dan tentu jadi beban bagi tempat pembuangan akhir (TPA).

TPA terbesar di Pulau Lombok, TPA Kebon Kongok di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, tinggal menunggu tutup. Bukit yang dikeruk ditimbun sampah dari Lombok Barat dan Kota Mataram kini jadi bukit sampah. Usia layak TPA regional itu 2-3 tahun, kalau tidak mampu mengurangi timbunan yang sampah ke ke TPA.

“Pulau Lombok kecil dengan penduduk 3 juta lebih. Belum lagi pertumbuhan ekonomi dipicu pariwisata. Ini artinya makin banyak potensi sampah,’’ katanya.

Mengolah sampah dari hulu jadi keharusan. Bank sampah, katanya, perlu ada mulai tingkat RT. Bank sampah yang mapan seperti Bintang Sejahtera, hanya jadi penyalur untuk memanfaatkan sampah itu.

“Kalau banyak muncul bank sampah kami senang. Artinya, ada kesadaran masyarakat. Di sini saja, kami bisa mengurangi 50-60 ton sampah yang dibuang ke TPA setiap bulan.”

 

Tak sekadar bank sampah

Perjuangan membesarkan bank sampah perlu liku. Syawal mulai sejak masih mahasiswa di Mataram. Saat itu, dia mengumpulkan botol, karton, dan kertas dari sisa-sisa kegiatan mahasiswa. Kalau ada kegiatan besar di kampus, jadi peluang bagi Syawal. Dia juga mengumpulkan sampah dari kos-kosan teman.

Awalnya dia malu karena disebut mahasiswa pemulung. Karena tuntutan hidup, Syawal tetap melakoni. Lama kelamaan dia menikmati hasil dari memulung. Saat itu timbul kesadaran kalau yang dia lakukan bermanfaat bagi lingkungan.

Dia sedih ketika melihat tumpukan sampah di pinggir jalan, sungai atau tanah kosong. Selain mencemari lingkungan, dia sedih karena masyarakat membuang sumber uang.

Setelah selesai kuliah Syawal sempat mencari pekerjaan menuruti tuntutan orangtua. Kampung halamannya, Tanak Awu adalah Bandara Internasional Lombok (BIL) saat ini. Saat kuliah sedang alot pembahasan rencana pembangunan bandara. Orangtuanya berharap kelak Syawal bisa bekerja di kantor pemerintah. Jalan hidup berkata lain.

Syawal menikah. Calon istri tahu aktivitas Syawal. Setelah mereka menikah, dukungan istri makin besar. Kalau dulu Syawal hanya fokus pada bisnis sampah, berkat dukungan sang istri, Febriati Khairunnisa, Bintang Sejahtera juga fokus pada isu pemberdayaan masyarakat dan lingkungan. Bukan semata transaksi jual beli sampah, juga pelatihan, pendampingan, jasa konsultan, bahkan riset-riset.

Febri pernah diundang ke Australia untuk studi banding. Hasil studi banding dia bawa pulang dan diterapkan di kampung halaman.

“Kami sedang pendampingan pada kelompok perempuan, keluarga pekerja migran, dan beberapa riset,’’ katanya.

Lembaga Generasi Bintang Sejahtera (LGBS), adalah nama lembaga yang didirikan Febriati pada 2015. Urusan bank sampah dengan lembaga ini dipisahkan. Ini bisa terlihat dari kantor mereka. Menempati rumah sama dan halaman sama. Kalau di kantor, bank sampah tampak tumpukan sampah, di LGBS ada AC, meja dan kursi kerja, laptop dan tumpukan kertas laporan.

“Awalnya sulit orang bedakan, dikira bank sampah saja,’’ katanya.

Bank sampah adalah bisnis, sedang LGBS adalah lembaga yang fokus pemberdayaan masyarakat, khusus perempuan. Pemberdayaan pun tidak melulu urusan dengan lingkungan dan sampah. Isu pemberdayaan ekonomi, pendampingan bisnis juga dilakukan LGBS. Tentu saja pesan-pesan lingkungan tetap diingatkan dalam programnya.

Berkat ketekunan, tahun ini Febriati mendapatkan beasiswa dari Australia untuk kuliah lingkungan di salah satu kampus ternama.

“Saya ingin memberikan kontribusi bagi lingkungan dan masyarakat,’’ katanya.

Bagi suami istri ini, masalah sampah bukan sekadar kurang kesadaran, kurang TPS, atau kurang sarana pengangkutan semata. Urusan sampah harus dari rantai hulu ke hilir. Semua pihak harus turun tangan.

 

Baca juga : Sentilan Untuk Pergub Larangan Sampah Sekali Pakai di Bali

Sampah yang sudah dipilah dan dikemas seperti ini siap dikirim ke Surabaya di pabrik pengolahan sampah. Bank Sampah Bintang Sejahtera mengirim 50 ton sampah plastik tiap bulan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Sampah pertanian dan KEK Mandalika

Salah satu masalah besar sampah adalah sampah pertanian. Kalau sampah rumah tangga ada sistem pengangkutan di tingkat kampung maupun bank sampah. Sampah pertanian belum ada dikelola, seperti botol pupuk, botol hama, dan plastik dari aktivitas pertanian belum ada yang mengelola. Syawal pun masih khawatir karena tahu bahaya racun dari sampah pertanian itu.

“Akhirnya, dibuang di sembarang tempat. Daya rusak lebih besar karena mencemari air dan tanah racun sisa itu,’’ katanya.

Sampah dari pertanian ini tak bisa langsung dikumpulkan, dikemas, dan dipotong kecil, dan dikirim seperti sampah sisa air mineral. Harus dipastikan bebas racun. Pada tahap pembersihan inilah harus ada edukasi ke bank sampah atau pengepul. Menghilangkan racun, dan memastikan kesehatan mereka terjaga.

“Pemulung pun takut untuk mengambil botol sisa racun tanaman,’’ katanya.

Dinas Pertanian, distributor obat-obatan pertanian, termasuk perusahaan yang memproduksi obat-obatan itu, katanya, harus ikut tanggungjawab. Tak hanya produksi, kemudian melepas begitu saja tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan.

Dia meminta, penyuluh pertanian tak semata menjelaskan fungsi dan tata cara penggunaan obat-obatan itu, juga edukasi mengolola sampah.

“Ditambah lagi sampah organik dari pertanian ini juga belum dikelola. Selama ini kita hanya fokus pada sampah rumah tangga dan yang terlihat numpuk di jalan dan sungai.”

Belum lagi sampah dari sektor pariwisata. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika harus mengelola sampah mereka sendiri.

Syawal bilang, KEK Mandalika harus jadi contoh pengolahan sampah di dalam kawasan. Kalau hanya mengumpulkan sampah lalu mengangkut ke TPA, tak ada beda dengan sampah rumah tangga.

Dia ingatkan dalam peraturan daerah pengelolaan sampah di NTB, KEK harus memiliki sistem pengelolaan sampah sendiri.

 

Syawaludin dan Febriati Khairunnisa mengecek sampah di Bank Sampah Bintang Sejahtera di halaman rumah mereka di Desa Tanak Awu, tak jauh dari Bandara Internasional Lombok, Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

********

 

Exit mobile version