Mongabay.co.id

Menyoal ‘Food Estate’ dan Pemenuhan Hak atas Pangan [2]

 

 

 

Bagian pertama tulisan mengulas mengenai pangan sebagai hak asasi dan kebijakan yang cenderung mengindustrikan sektor pangan. Pertanyaannya, bagaimana proses industrialisasi ini berimplikasi terhadap hak atas pangan khusus produsen pangan itu sendiri yakni petani?

Penelitian lapangan kami mengidentifikasi, masalah pokok dari food estate Sumatera Utara adalah kondisi spesifik-konkret pertanian pangan setempat terabaikan dalam mekanisme pembangunan pertanian pangan.

Hal ini berasosiasi dengan penyelenggaraan proyek yang bersifat top-down dan serba cepat. Kondisi spesifik yang dimaksud berkaitan dengan aspek historis, kultural, sosial-ekonomi, dan lingkungan.

Padahal, berdasarkan studi tentang food estate di masa lalu, dinyatakan, setiap praktik kebijakan pertanian akan berimplikasi pada relasi atas tanah, tenaga kerja, dan pasar serta terhadap penciptaan kondisi ketahanan/kerentanan pangan setempat (McCharty & Obidzinski 2017).

Dalam kaitan dengan tanah, alih-alih menyelesaikan masalah agraria setempat, sertifikasi tanah sebagai gerbang awal mulai food estate justru berpotensi mengarah pada komodifikasi tanah serta memunculkan sengketa klaim atas tanah (adat) baik di dalam anggota atau antarkomunitas yang tercakup wilayah food estate.

Food estate cenderung tak mempertimbangkan status de facto dan de jure yang berkaitan dengan sejarah dari areal yang ditetapkan sebagai lokasi proyek. Bagi petani Ria-ria, pembukaan lahan food estate tahap awal (1.000 hektar) merupakan tanah yang diakui sebagai “tanah adat penduduk Si Ria-ria”.

Pengakuan ini diberikan oleh Bupati Tapanuli Utara melaui Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tapanuli Utara No. 138/Kpts/1979. Pengakuan ini hasil perjuangan warga Ria-ria dalam mengklaim tanah warisan leluhur mereka dari proyek reboisasi negara medio 1970an.

Sertifikasi yang membagi tanah adat ke dalam parsel-parsel kecil (maksimal dua hektar) milik individu jadi kontradiktif dengan pengakuan kepemilikan adat berbasis komunitas.

Sementara itu, bukti pengakuan pemerintah atas tanah adat di masa lalu tak terakomodasi dalam proses sertifikasi. Akibatnya, muncul polemik terkait tata-batas tanah adat antara warga Ria-ria dengan desa tetangga (Parsingguran) yang kedua wilayahnya masuk dalam area food estate.

 

Baca juga: Menyoal Food Estate dan Pemenuhan Hak Atas Pangan [1]

Bedengan mulai ditanami. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Sertifikasi tanah juga menjadi mekanisme untuk mengikat petani pada relasi pertanian kontrak. Proses sertifikasi menyertakan syarat bahwa petani wajib untuk mengikuti program food estate apabila tanahnya mau mendapat pengakuan legal dari negara.

Sayangnya, tak ada penjelasan tertulis ihwal batas waktu dan distribusi beban serta keuntungan dari pertanian kontrak yang semestinya disampaikan di awal. Padahal, praktik pertanian kontrak lazimnya berjangka waktu (misal, satu musim) hingga petani memiliki posisi tawar dan kesempatan keluar dari relasi kontrak apabila ternyata hasil yang mereka peroleh dirasa merugikan (White dan Wijaya 2022).

Suatu relasi kontrak dapat diasumsikan terjadi dalam kondisi pihak-pihak yang bersepakat berkedudukan setara dan kesepakatan terjadi bebas dan terbuka. Dengan ada syarat sebelum proses sertifikasi bergulir, petani tak punya pilihan terlibat atau tidak dalam ikatan kontrak.

Artinya, melalui syarat itu secara implisit petani pada posisi sebagai subyek tak setara dalam konteks relasi pertanian kontrak.

Implikasinya patut diperhitungkan. Bagaimana kalau hasil panen buruk sementara petani sudah menyepakati kontrak dan terikat kewajiban mengembalikan kredit atas input pertanian? Dengan apa petani akan melunasi kewajiban finansial yang timbul oleh kontrak itu?

Dalam banyak kasus, sebagaimana kerap terjadi di konteks petani plasma sawit, petani akan tersudut hingga terpaksa menjual tanah agar lepas dari beban kredit. Pelepasan tanah menjadi mungkin karena secara legal tanah dimiliki secara individual melalui proses sertifikasi.

Pada titik ini komodifikasi tanah mengemuka. Hal ini sekaligus akan memutus relasi sosial berbasis komunitas yang melandasi sistem tenurial tanah adat, untuk direkonfigurasi ke dalam relasi sosial kapitalistik yang menempatkan tanah sebagai komoditas.

 

Baca juga: Food Estate di Humbang Hasundutan Mulai Jalan, Bagaimana Keterlibatan Petani?

Petani di Sumut panen wortel. Petani bisa dan mampu memenuhi keperluan pangan negeri ini dengan mereka sebagai pelaku utama, bukan korporasi besar. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Berkaitan dengan tenaga kerja, food estate telah mereorganisasi mobilisasi kerja, yakni, alokasi waktu dan energi petani, untuk tercurah ke dalam pertanian food estate. Dampaknya, signifikan bagi kondisi ketahanan pangan rumah tangga petani.

Untuk melihat dampak itu perlu dipahami terlebih dahulu budaya dan ritme pertanian setempat yang terdisrupsi ketika food estate mengintervensi.

Pertanian di Ria-ria dilaksanakan rumah tangga-rumah tangga petani berbasis tenaga kerja rumah tangga. Pola umum pertaniannya, perpaduan antara usaha tani subsisten dan komersil. Usaha tani subsisten memproduksi bahan pangan pokok yang dikonsumsi langsung oleh rumah tangga, seperti beras.

Sedangkan usaha tani komersil adalah budidaya di lahan kering dan/atau hutan untuk memperoleh pendapatan tunai. Tanaman ini antara lain kopi, kemenyan, dan andaliman. Ketiganya adalah tanaman yang telah menyublim dengan budaya orang Batak.

Identifikasi kami menemukan gambaran kasar sekitar 60-70% rumah tangga petani Ria-ria dengan hasil panen padi cukup untuk konsumsi keluarga selama satu tahun. Karena itu, pendapatan tunai dari hasil budidaya di tanah kering dan/atau hutan berkontribusi signifikan dalam mencukupkan kebutuhan pangan rumah tangga di samping kebutuhan dasar lain. Artinya, usaha tani subsisten dan komersil bersifat komplementer. Keduanya merupakan basis dari ketahanan pangan rumah tangga petani.

Pengelolaan dua pola usaha tani dengan periode tanam dan perlakuan budidaya yang berbeda itu mengkondisikan pembagian dan mobilisasi kerja di dalam rumah tangga petani. Baik menurut gender dan generasi, dalam kaitan dengan kategori lahan dan musim.

Kehadiran food estate memunculkan kebutuhan kerja baru yang berdampak pada alokasi waktu dan energi yang biasa dicurahkan ke sawah, lahan kering, dan hutan. Tak semua rumah tangga petani memiliki kapasitas tenaga kerja dan modal yang dapat memenuhi kebutuhan kerja baru ini karena pembukaan lahan food estate.

Patut digarisbawahi, permulaan musim tanam pertama food estate (Desember 2020) bertepatan dengan musim tanam padi di sawah dan musim panen andaliman di hutan. Keduanya merupakan fase ketika kebutuhan curahan kerja di kedua jenis lahan relatif tinggi.

Ketika tenaga kerja rumah tangga teralihkan ke lahan food estate, curahan tenaga kerja untuk sawah dan hutan jadi berkurang. Sejak produktivitas dalam pola pertanian skala kecil sangat dipengaruhi intensitas curahan tenaga kerja, maka pengurangan itu berdampak pada hasil panen.

Penelitian lapangan kami menemukan ada rumah tangga petani yang mengalami dua pola sebagai berikut. Pekerjaan di lahan food estate menyebabkan budidaya tanaman komersial di hutan terabaikan hingga pendapatan dari hutan berkurang. Atau, pekerjaan di sawah teracuhkan hingga hasil panen padi menurun.

Bahkan, ada rumah tangga yang memutuskan menyewakan lahan sawah mereka karena kapasitas tenaga kerja rumah tangga tak mumpuni untuk mengerjakan semua lahan.

Sisi lain, penyelenggaraan kelembagaan ekonomi petani (kelompok usaha bersama/KUB) yang dibentuk untuk memfasilitasi penjualan hasil panen dan pengelolaan modal kelompok juga bermasalah.

KUB menetapkan, bahwa penjualan hasil panen akan teralokasi jadi tiga bagian: 60% sebagai pendapatan langsung bagi petani, 30% untuk modal musim tanam berikutnya dan dikelola KUB, 10% untuk modal pengembangan KUB.

 

Baca: Was-was Aturan Lahan Food Estate di Kawasan Hutan

Kunjungan Presiden Jokowi ke Kalimantan Tengah pada Oktober 2020 untuk melihat kesiapan areal food estate. Foto: Dok. Humas Protokol Provinsi Kalimantan Tengah

 

Studi menemukan, sebagian petani food estate kecewa karena dana dari penjualan hasil panen musim tanam pertama pada Maret mengalami keterlambatan pencairan hingga tiga bulan setelah panen. Dana 30% untuk musim tanam kedua belum bisa cair (studi lapangan dilakukan pada September 2021). Pengelolaan dana 10% tidak diketahui jelas.

Masalah kelembagaan ini krusial karena kelancaran operasional pertanian food estate bertumpu pada kinerja lembaga ini.

Indikasi macetnya manajemen kelembagaan menandakan perlu evaluasi menyeluruh terhadap implementasi korporasi petani.

Perpaduan keadaan-keadaan di atas menghasilkan luaran berupa penurunan tingkat ketersediaan dan keterjangkauan pangan level rumah tangga.

Sebagai ilustrasi, seorang perempuan petani menyampaikan bahwa ketika rumah tangganya terlibat food estate, hasil panen padi berkurang hampir separuh, sementara pendapatan dari hasil hutan menurun. Akibatnya, belanja kebutuhan pangan berkurang. Perempuan, sebagai sitiop puro (bendahara rumah tangga), mesti mencari siasat baru memberi makan keluarga di tengah kondisi demikian. Antara lain dengan mengkombinasi konsumsi ubi kayu dengan nasi, guna mempertahankan kecukupan beras yang tersedia.

Sisi lain, prevalensi tengkes di Humbang Hasundutan pada 2019 mencapai 22,15%, lebih tinggi dari standar WHO yang menetapkan batas tertinggi pada suatu negara 20%.

Bagaimana mungkin upaya penanganan tengkes dapat optimal apabila ketersediaan dan keterjangkauan pangan di level rumah tangga terganggu? Sementara di tingkat desa, intervensi atas tengkes masih bersandar pada pemberian bantuan bahan pangan yang berasal dari luar desa dan susu formula.

Studi kasus yang kami pelajari mengindikasikan, pembangunan pertanian skala besar seperti food estate tidak peka kondisi sosial-ekonomi dan budaya pertanian. Juga tak peka masalah pangan dan nutrisi di level komunitas tempat proyek.

 

Baca: Pelibatan Petani dalam Proyek Food Estate d Kalteng Tak Jelas

Andaliman, yang ditemukan tumbuh di dekat pohon kemenyan. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Kebijakan berbasis pasar?

Merefleksikan temuan studi pelaksanaan food estate pada konteks spesifik-lokal tertentu dengan dimensi hak dalam UU Pangan mengarahkan pada simpulan, hak atas pangan yang layak bagi masyarakat tak terjamin, Begitu juga hak masyarakat untuk menentukan sistem pangan sendiri tak dipenuhi.

Yang terjadi, pemerintah menentukan orientasi dan sistem pangan untuk masyarakat melalui tanaman komoditas bernilai tinggi. Komoditas ini untuk memasok bahan baku bagi industri pangan dan ekspor tanpa betul-betul mempertimbangkan sumber daya dan sistem pangan lokal.

Karena itu, klaim ketahanan pangan yang hendak diwujudkan pemerintah adalah ketahanan berbasis nilai-tukar. Pendekatan ini mengasumsikan kalau petani memproduksi komoditas bernilai tinggi maka hal ini akan lebih menguntungkan dan keuntungan yang diterima dapat menjamin ketahanan pangan rumah tangga.

Berdasarkan temuan lapangan, praktik yang dilandasi asumsi itu cenderung tidak terbukti.

Muatan hak atas pangan di dalam UU Pangan menyiratkan ada hak produsen pangan (petani) dalam menentukan sistem pangan atau pertaniannya.

Perspektif HAPG memandang keutamaan pemenuhan hak produsen. Namun, food estate di Sumatera Utara yang berintikan pada pertanian kontrak mencerminkan proses ke arah terkikisnya HAPG kaum produsen (petani).

Otonomi petani untuk menentukan pertanian disubordinasi oleh tuntutan industri pangan melalui kontrak atas investasi dan offtaker dari perusahaan agribisnis. Bukan memenuhi hak petani sebagai kaum produsen, negara cenderung memfasilitasi kepentingan bisnis sektor swasta industri pangan sebagai konsumen hasil kerja petani.

Pembangunan pertanian ala food estate lebih tepat sebagai kebijakan berbasis (kepentingan) pasar agroindustri yang berorientasi profit. Permintaan pasar agroindustri jadi prioritas yang mendahului kewajiban pemenuhan HAPG khusus bagi komunitas petani yang terlibat dalam food estate.

Pemerintah perlu meninjau dengan serius implementasi food estate dengan mempertimbangkan amanat UU Pangan. Ini berkenaan dengan mandat memberikan hak bagi masyarakat dalam menentukan sistem pangan berdasarkan sumber daya lokal serta memprioritaskan pemenuhan kewajiban pemerintah untuk merealisasikan hak atas pangan layak bagi masyarakat. (Selesai)

 

Baca juga: Kala Pemerintah Klaim Sukses, Begini Cerita Petani soal Food Estate di Humbang Hasundutan

Petani di Humbang Hasundutan di area food estate. Foto: Barita News Lumbangbatu/ Mongabay Indonesia

 

Referensi

Borras, S.M., dkk.’ Land grabbing and global capitalist accumulation: key features in Latin America’. Canadian Journal of Development Studies/Revue canadienne d’études du développement, 2012, 33(4), 402–416.

Gereffi, Gary. ‘A Commodity Chains Framework for Analyzing Global Industries’, 1999.

Hadiprayitno, Irene I. ‘Food Security and Human Rights in Indonesia’. Development in Practice, February 2010.

McCarthy, John F., and Krystof Obidzinski. ‘Framing the Food Poverty Question: Policy Choices and Livelihood Consequences in Indonesia’. Journal of Rural Studies 54 (August 2017): 344–54. https://doi.org/10.1016/j.jrurstud.2017.06.004.

McCarthy, John F, Yunita Triwardani Winarto, Henri Sitorus, Pande Made Kutanegara, and Vania Budianto. ‘COVID-19 and Food Systems in Indonesia’. ACIAR, COVID-19 and food systems in the Indo-Pacific, 2020, 52. https://www.aciar.gov.au/publication/covid-19-and-food-systems-indo-pacific/4-covid-19-and-food-systems-indonesia.

Neilson, Jeff, and Josephine Wright. ‘The State and Food Security Discourses of Indonesia: Feeding the Bangsa’. Geographical Research 55, no. 2 (May 2017): 131–43. https://doi.org/10.1111/1745-5871.12210.

Ploeg, J. D. v. d. ‘From biomedical to politico-economic crisis: the food system in times of Covid 19’. Journal of Peasant Studies 47:5, pp. 944-972, 2020.

White, Ben, and Hanny Wijaya. ‘What Kind of Labour Regime Is Contract Farming? Contracting and Sharecropping in Java Compared’. Journal of Agrarian Change, 21 October 2021, joac.12459. https://doi.org/10.1111/joac.12459.

 

 

*Penulis: Fuad Abdulgani adalah dosen di Jurusan Sosiologi Universitas Lampung dan peneliti FIAN Indonesia. Laksmi A. Savitri adalah Ketua Dewan Nasional FIAN Indonesia. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Jembatan bambu yang dibangun di tengah areal persawahan proyek food estate di Desa Makata Keri, Kecamatan Katiku Tanah, Kabupaten Sumba Tengah, NTT. Foto : Suwensy Daha Walu

 

 

******

Exit mobile version