Mongabay.co.id

Mengenal Use, Hewan Berkantong dari Utara Indonesia

 

 

Sulawesi terkenal dengan faunanya yang khas. Hampir setengah dari total mamalia, 90 dari 207 jenis yang ada di Sulawesi, tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia [Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2014].

Karakternya juga unik. Babirusa jantan, misalnya, memiliki taring melengkung seperti tanduk rusa. Tak heran jenis babi ini dinamakan babi-rusa. Begitu juga dengan maleo, burung tanah seukuran ayam dengan benjolan hitam di kepala, yang bertelur di dalam pasir atau tanah dekat sumber panas.

Berikutnya ada hewan yang memiliki kantong [marsupial]. Gerakannya sangat lambat dan hidup di atas pohon. Kuskus namanya.

Sulawesi menjadi batas paling barat distribusi kuskus dan juga batas paling utara, tepatnya di Kepulauan Sangihe-Talaud, perbatasan antara Indonesia dengan Filipina. Kepulauan ini kaya akan rempah berupa pala dan cengkih.

Di balik perkebunan tersebut, tersisa hutan sekunder dengan pepohonan tinggi dan rimbun. Di sinilah, hewan berkantong dari utara Indonesia dapat ditemukan, kuskus Talaud [Ailurops melanotis].

Baca: Kuskus Talaud, Satwa Berkantung dari Ujung Utara Sulawesi yang Berstatus Kritis

 

Kuskus Talaud [Ailurops melanotis] yang teramati di Pulau Salibabu, Kepulauan Talaud. Foto: Sheherazade

 

Mencari Kuskus Talaud

Butuh waktu berhari untuk menemukan kuskus Talaud. Saya bersama Papa Bule, Om Martin, dan Olan memantau Use, sebutan lokalnya, di hutan wilayah Pulau Salibabu, Kepulauan Talaud.

Olan adalah anak muda dari Desa Musi yang sering menemani saya ke hutan, meneliti satwa. Sedangkan Papa Bule dan Om Martin tinggal di Desa Alude, sehari-hari mereka berkebun.

Om Martin yang dulu pemburu, sekarang merupakan penjaga terdepan kelestarian Use. Saya dan Olan, mengikuti keduanya dari belakang, menelusuri hutan sembari memperhatikan pepohonan.

Om Martin memanggil kami perlahan, mengatakan bahwa satu individu Use terlihat di sebuah cabang pohon. Kami bergerak, mengamati Talaud Bear Cuscus yang asik menyantap dedaunan.

Kuskus Talaud yang berwarna abu-abu, ternyata hewan sensitif dan pemalu. Beberapa menit berlalu, Use menyadari kehadiran kami dan mulai menarik dedaunan untuk menutupi dirinya, bersembunyi. Ini alasan utama, mengapa ia sangat sulit ditemui.

Kami terus mengamati, saling bertatapan di antara rapatnya daun. Beberapa waktu kemudian, Use bergerak dengan sangat lambat, berpindah ke cabang pohon paling atas. Ekor prehensile-nya yang dapat melilit cabang, membuatnya tidak pernah jatuh.

Baca: Riset Membuktikan, Tanpa Satwa Ini Durian Tidak akan Berbuah Lebat

 

Memantau keberadaan Kuskus Talaud merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Foto: Sheherazade

 

 Status Kritis

Kuskus Talaud hanya tersebar di beberapa pulau di Kepulauan Talaud-Sangihe: Pulau Sangihe, Pulau Salibabu, Pulau Nusa, dan Pulau Bukide [Repi et al., 2020]. Dengan distribusinya yang sangat terbatas, ukuran populasinya yang kecil, dan tekanan perburuan yang tinggi, Kuskus Talaud berada di ambang kepunahan.

Statusnya Critically Endangered atau Kritis [Flannery & Helgen, 2016] dan merupakah satwa dilindungi, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi.

Dalam tiga puluh tahun terakhir, hanya ada dua penelitian tentang Kuskus Talaud [Repi et al., 2020; Riley, 2002], dan tidak ada program konservasi jangka panjang. Sesungguhnya, hadirnya satwa ini penting untuk kesehatan hutan kepulauan, terutama memakan tangkai daun tumbuhan merambat Merremia peltata yang melilit pohon-pohon dan menginvasi hutan.

Baca juga: Sheherazade dan Upaya Menyelamatkan Spesies Terabaikan di Sulawesi

 

Buah pala sebagai komoditas utama di Kepulauan Talaud. Foto: Sheherazade

 

Harapan untuk lestarinya Kuskus Talaud mulai tumbuh. Diinisiasi PROGRES [Prakarsa Konservasi Ekologi Regional Sulawesi], konservasi Kuskus Talaud mulai dilakukan awal 2022. Kombinasi pendekatan berbasis sains dan masyarakat, penelitian dan kampanye kebanggaan untuk mengangkat keistimewaan Kuskus Talaud dilaksanakan melalui kolaborasi multi-pihak dan dukungan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara, Dinas Kehutanan Sulawesi Utara, IUCN SSC Edge Internal Grant, dan Asian Species Action Partnership.

Masyarakat Desa Alude dan Desa Musi menjadi yang pertama berkomitmen melestarikan Use.

 

* Sheherazade, peneliti satwa liar dan Co-Executive Director PROGRES, Sulawesi Tengah

 

Referensi:

Flannery, T., & Helgen, K. [2016]. Ailurops melanotis,. The IUCN Red List of Threatened Species 2016. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2016-2.RLTS.T136218A21949526.en.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI]. [2014]. Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia. LIPI Press.

Repi, T., Masy’Ud, B., Mustari, A. H., & Prasetyo, L. B. [2020]. Population density, geographical distribution and habitat of Talaud bear cuscus [Ailurops Melanotis Thomas, 1898]. Biodiversitas, 21[12], 5621–5631. https://doi.org/10.13057/biodiv/d211207

Riley, J. [2002]. Mammals on the Sangihe and Talaud Islands, Indonesia, and the impact of hunting and habitat loss. Oryx, 36[3], 288–296. https://doi.org/10.1017/S0030605302000510

 

 

Exit mobile version