Mongabay.co.id

Nasib Warga Kumpeh, Lahan Tani Kebanjiran, Konflik dengan Perusahaan Sawit pun Berlarut

 

 

 

 

Nurlela hanya bisa pasrah dengan situasi yang dia hadapi. Berbulan-bulan sawah yang jadi sumber pangan keluarga mereka terendam banjir, dan tak bisa digarap. 

Penyebabnya bukan sebatas curah hujan tinggi, juga tanggul perusahaan sawit, PT Bukit Bintang Sawit (BBS) yang mebentengi air masuk perkebunan. Sawah warga terus-terusan terendam.

Gimana nggak banjir, air itu idak biso ngalir lagi sudah ditanggul. Air dari kebun (sawit) buangnyo jugo ke sawah samo kebun warga, banjirlah,” kata warga Desa Sogo, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi ini.

Seharusnya, bulan ini dia menyiapkan bibit padi untuk disemai. Musim tanam akan mulai awal Juni tetapi air di sawah sudah berbulan-bulan tak kunjung surut.

“Kalau air masih tinggi ya tidak bisa tanam.”

Padi payo yang ditanam Nurlela perlu waktu 5-6 bulan sampai panen. Kalau panen bagus, sawah setengah hektar itu bisa hasilkan 70-80 kaleng gabah kering, atau 560 kg beras. Cukup untuk makan setahun.

Banjir sulit diprediksi membuat petani kerap merugi. “Kalau dulu banjir itu setahun sekali, mulai bulan 11, sekarang tidak menentu, kadang bulan delapan sudah banjir.”

Sebetulnya, pemerintah pernah memberikan bantuan bibit padi yang bisa empat bulan panen.Padi pendek dan gampang busuk terendam banjir.

“Kalau padi payo ini panennyo lamo, tapi dio tinggi. Jadi pas air naik itu tidak langsung kelelep, jadi masih biso dipanen dikit-dikit.”

Dua tahun terakhir menjadi masa buruk bagi petani di Sogo. Banyak sawah gagal panen karena banjir datang tiba-tiba. “Tahun kemarin cuma dapat 20 kaleng. Tahun sebelumnyo 30 kaleng,” katanya.

Nasib sama dialami Rukiyah. Dia terpaksa membeli beras karena dua tahun gagal panen. Perempuan 60 tahun itu mengeluhkan tanggul BBS.

“Kalau dulu air naik kan sampai ke hutan, sebelum jadi kebun perusaahan. Sekarang ditanggul air gak biso lagi kemano-mano, tetahan jadinyo sawah banjir.”

Banjir membuat banyak sawah terbengkalai. Perlahan para perempuan mulai tak bisa mengerjakan lahan pertanian mereka.

 

Baca juga: Cerita Susilawati Melawan Perusahaan Sawit Demi Jaga Pangan dan Alam Sogo

Sawah warga di Desa Sogo. Sebagian sawah tak terkelola karena kerap kebanjiran. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Perempuan paling terdampak

Hasil riset Beranda Perempuan—sebuah organisasi nirbala di Jambi yang fokus pada isu perempuan—di Sogo pada 2019 menunjukkan, penurunan hasil padi telah merugikan 33,3% warga yang menggantungkan hidup sebagai petani. Kelompok perempuan paling terdampak.

“Itu karena perempuan yang bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan pangan keluarga,” kata Ida Zubaidah, Direktur Beranda Perempuan.

Dia bilang, hampir 80% perempuan di Sogo sebelumnya bekerja di sawah. “Karena mereka lebih paham, mulai dari pembibitan sampai panen. Laki-lakinya bantu buka lahan dan saat panen.”

Kerusakan lahan perlahan menyingkirkan eksitensi perempuan di Sogo. Ida juga mengkritik tanaman monokultur seperti sawit justru menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan.

Nggak imbang antara manfaat dengan kerusakan dan kehilangan jangka panjang yang ditimbulkan.”

Kecamatan Kumpeh, merupakan lumbung padi. Berdasarkan Sistem Informasi Geografis (SIG) Pertanian, luas baku sawah di Kumpeh mencapai 2.206 hektar, setara 1,8% dari luas kecamatan.

Setidaknya, ada enam kecamatan jadi lumbung padi di Muaro Jambi, yaitu Sekernan, Jaluko, Maro Sebo, Taman Rajo, Kumpeh dan Kumpeh Ilir. Data Dinas Pertanian Jambi, luas sawah di Kabupaten Muaro Jambi mencapai 6.141 hektar. Meski demikian hasil panen di Muaro Jambi belum cukup untuk mencapai swasembada beras.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi gabah, kenyataannya justru banyak sawah terancam tak bisa tergarap bahkan beralih fungsi jadi perkebunan sawit dan pemukiman.

Akhmad Maushul, Kepala Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Peternakan Jambi menyebut, 17.000 hektar sawah di Jambi beralih fungsi. Sepanjang lima tahun terakhir sawah-sawah berubah jadi perkebunan sawit, penambangan emas ilegal dan sarang walet.

Pada 2016. luas sawah di Jambi 96.589 hektar, tetapi 2020 menyusut drastis tinggal 79.396 hektar. Artinya. ada 9-10 hektar sawah di Jambi berubah fungsi setiap hari. Di Muaro Jambi, tercatat 4,476 hektar lebih sawah hilang selama lima tahun terahir.

 

Baca juga: Ketika Perusahaan Sawit Serobot Lahan Warga Tiga Desa di Jambi

Sawah warga Sogo yang kebanjiran, tak bisa ditanami. Kalau dulu, air datang bisa leluasa mengalir, hingga tak merendam lama lahan pertanian warga. Kini, jalan air tak bisa lagi karena perusahaan sawit sudah bikin tanggul. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Masalah lahan

Masalah di Sogo, tak sekadar banjir. Banyak lahan masuk klaim perusahaan sawit tanpa ada ganti rugi, seperti terjadi di Pulau Tigo, Seponjen dan Kelurahan Tanjung. Lebih 300 hektar lahan masyarakat kena klaim BBS.

Bujang warga Dusun Pulau Tigo, Kecematan Kumpeh, Muaro Jambi mengambil selembar fotocopy hasil pemetaan lahan Dusun Pulau Tigo yang dilakukan masyarakat bersama Alfian dan Suherman, humas BBS awal Mei 2011.

“Inilah yang diserobot BBS,” kata Bujang, jarinya menunjuk gambar yang diarsir di kelilingi garis putus-putus. Itu adalah lahan komunal yang dibuka masyarakat pada 1998. Tandanya, ada kanal dibangun mulai dari Sungai Kumpeh sepanjang 2,5 kilometer menuju pematang, dan 2,2 kilometer menuju arah perbatasan selatan Seponjen.

BBS mengklaim telah mengganti rugi lahan masyarakat. Bujang membatah. “Itu yang dijual kebun pribadi, bukan lahan komunal yang sekarang kito tuntut.”

Bujang bilang, 10 tahun memeras otak dan tenaga mengadu ke sana-kemari tetapi tak ada hasil. “Sudah gak keitung lagi berapo kali kito demo, di perusahaan di kantor bupati sudah semuo.”

“Yang sayo pikirin itu nasib anak-anak. Makonyo kito masih tetap menuntut,” kata pria 40 tahun itu.

Puluhan warga Desa Seponjen juga menuntut lahan 176 hektar yang menjadi kebun sawit BBS. Berkali-kali warga menduduki lahan BBS, bahkan sampai aksi di Jakarta.

“Sudah puas warga demo, setiap tahun aksi,” kata Budiman, Kepala Desa Seponjen. Dia bilang, masih ada 28 keluarga menuntut pengembalian lahan.

Masyarakat Kelurahan Tanjung juga menuntut BBS mengembalikan tanah komunal seluas 100 hektar yang sebelumnya dikelola masyarakat. “Saya tidak pernah jual. Saya tidak pernah terima ganti rugi,” kata Saidi, warga Desa Seponjen.

Tanah itu, katanya, dulu tempat cari ikan dan mengambil kayu. “Itu dulu tanah adat Tanjung.”

Saidi bilang, pernah ditawari harga dua kali lipat lebih tinggi agar mau tanda tangan ganti rugi. Dia bergeming dan tetap menuntut pengembalian lahan.

“Tanah dak ado lagi, habis diobral. Kito warga sini, lahir di sini, tapi dak punyo tanah,” kata Saidi.

Serupa juga dengan nasib Roni. Sudah 14 tahun berjuang menuntut tanah ulayat kembali. Roni satu dari tujuh keluarga di Desa Sogo, Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi yang bertahan tak mau menerima ganti rugi. Dia ingin tanah kembali.

Sudah tak terhitung lagi berapa kali Roni dan istrinya, Noprianingsih bolak-balik turun ke jalan aksi, menduduki lahan, ketemu kepala desa, camat, hingga pegawai kabupaten tetapi ujung-ujungnya mental.

Konflik panjang membuat lebih dari 300 keluarga di Sogo tak ada kejelasan. “Apapun masalahnya, kami akan perjuangkan, kerno itu sumber hidup kami,” kata Roni.

 

Baca juga: Konflik Lahan Warga Kumpeh vs Perusahaan Sawit Berlarut

Di seberang kanal itu dulu lahan komunal masyarakat Desa Sogo. Kini, dalam kuasa perusahaan sawit. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Jadi buruh

Sulaiman, Sekretaris Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMGJ) asli orang Pulau Tigo. Tujuh tahun sudah dia mendampingi masyarakat tiga desa yang berkonflik dengan BBS tetapi belum ada penyelesaian.

“Kalau demo, masyarakat sudah khatam, sudah nggak keitung lagi,” katanya.

Situasi di kampung juga rumit karena BBS sengaja memanfaatkan perangkat desa hingga tokoh kampung untuk menguasai lahan masyarakat. Bahkan, pamannya yang jadi perangkat desa juga terlibat.

Sejak lahan dikuasai perusahaan ekonomi masyarakat Seponjen, Pulau Tigo, Sogo dan Tanjung, nyaris morat-marit. Mereka yang kehilangan lahan akhirnya jadi buruh harian lepas perusahaan demi menyambung hidup.

“Sekarang masyarakat di sini jadi buruh di kampungnya sendiri. Mau garap lahan tidak ada lagi.”

Matahari mulai condong ke barat saat saya melewati jembatan gantung Desa Seponjen. Sungai Kumpeh yang hitam tampak mengalir tenang.

Saya bertemu Jo, buruh harian lepas BBS.

“Sepuluh tahun sayo kerjo bagian nyemprot, sekarang pindah bagian perbaikan jalan,” katanya.

Dia merasa beruntung, karena sekarang kerja tidak terlalu berat. Sehari kerja dibayar Rp109.000, naik Rp9.000 dibanding upah tahun lalu. Rata-rata sebulan kerja 20 hari, berangkat pukul 06.00 pagi pulang 14.00 siang. Hasil kerja sebagai buruh saja tak cukup untuk memenuhi kebutuhan lima orang keluarganya.

 

Bupati kesal, perusahaan tak kooperatif

Bupati Muaro Jambi Masnah Busro jengkel. Dia sudah bolak-balik menghubungi pimpinan BBS, Darius, untuk mediasi tetapi tak digubris.

“Saya surati saya kontak (telepon), yang datang cuma humas, alasannya dia (Darius) di Medan-lah, di Jakarta-lah, itikad baiknya menyelesaikan masalah ini tidak ada,” kata Masnah.

Masnah menyebut, perusahaan tak kooperatif hingga konflik lahan di areal izin BBS berlarut belasan tahun.

“Kemarin kita minta LO—legal opinion—ke Kejari untuk BBS ini, karena sejak awal tahun saya jadi bupati mereka tidak begitu merespon kemauan masyarakat. Saya pernah mengundang Pak Darius (pimpinan BBS) itu pun cuma sekali dia datang, itu pun cuma sebentar, bagaimana saya bisa mencarikan titik temu, kalau pimpinan BBS tidak hadir?”

Dua kali saya mendatangi Kantor BBS di Jl. Prof. HMO Bafadhal No.9B, Cemp. Putih, Kec. Jelutung, Kota Jambi untuk menemui Darma, pimpinan BBS di Jambi, tetapi tak berhasil.

Dedi, securiti di kantor BBS mengatakan pimpinannya itu sedang tak ada di kantor dan tak tahu kapan akan datang.

 

Pintu masuk ke kebun PT BBS di Kumpeh. Foto: Yitno Supraptp/ Mongabay Indonesia

 

Suherman, humas BBS sempat mengangkat telepon saya. Dia mengatakan, semua lahan yang digarap BBS telah diganti rugi. “Di Sogo sudah semua, tinggal beberapa yang belum,” katanya.

Herman tak bicara banyak soal kompensasi. Dia minta telepon ditutup. “Sudah ya saya dipanggil,” katanya.
Pada wawancara sebelumnya, Herman bilang perusahaan telah memberi kompensasi Rp3 juta untuk masyarakat yang mau menjual lahan.

“Sebenarnya banyak yang nuntut sekarang ini anak-anaknya, dulu kita ganti rugi dengan orang tuanya, ketuanya sendiri Budiman (Kades Seponjen) itu sudah terima ganti rugi juga.”

“Yang di Tanjung 1.000 hektar itu beli semua dari kelompok tani ada sebagian dari masyarakat,” katanya.

Dia mengaku saat pelepasan lahan di Tanjung sudah ada kesepakatan dengan pihak RT, lingkungan dan lurah. “Kita juga nggak tau kalau ada masyarakat yang merasa belum menerima ganti rugi.”

Dia bilang, permasalahan di Sogo muncul setelah konflik tapal batas antara Desa Sogo dengan Kelurahan Tanjung berubah menjadi klaim kepemilikan lahan.

Herman bilang, pembayaran ganti rugi sudah selesai sebelum ada Desa Sogo.

 

Pemasok CPO Wilmar dan Musim Mas

BBS merupakan pemasok minyak sawit untuk Wilmar Group dan Musim Mas. Pada 2016 Walhi Jambi pernah melayangkan surat aduan mengenai konflik lahan di BBS. Pasca pengaduan, penjualan minyak sawit BBS sempat tersendat, sekarang kembali pulih.

Chermaine Yap, Corporate Communications Musim Mas, mengatakan, kasus BBS ditutup pada April 2020. “Kami belum mendengar keluhan dari masyarakat terhadap BSS,” katanya.

Namun, Musim Mas akan terus memantau situasi sosial dengan BBS dan masyarakat setempat yang kemungkinan terjadi masalah, dan akan menghubungi BBS secara berkala.

BBS, katanya, telah berkomitmen berkomunikasi dan bekerja sama dengan masyarakat setiap kali ada keluhan tentang masalah ini.

Sedang Wilmar mengaku selama ini telah berkomitmen sesuai kebijakan nol deforestasi, nol gambut, dan nol eksploitasi (NDPE) di rantai pasoknya, terutama terkait aspek eksploitasi.

“Wilmar telah mengadopsi berbagai panduan FPIC—free, prior and informed consent—yang menjadi acuan,” jawab Wilmar.

 

Sogo, desa di pinggir Sungai Kumpeh, Muarojambi, Jambi, yang berkonflik dengan perusahaan sawit. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Apabila terjadi potensi pelanggaran terhadap kebijakan NDPE, Wilmar memiliki mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan, dan akan melakukan investigasi.

“Hasil dari investigasi akan menjadi acuan bagi Wilmar untuk menentukan konsekuensi status supplier.”

Dwi Nanto Manajer Kampanye dan Advokasi Walhi Jambi akan kembali melaporkan BBS ke Wilmar dan Musim Mas. Menurut dia, BBS membuat laporan palsu atas situasi konflik yang terjadi di Sogo, Seponjen, Pulau Tigo dan Kelurahan Tanjung.

“Bohong kalau bilang masalah dengan warga sudah selesai. Kenyataanya, konflik masih terjadi sampai hari ini.”

Selama ini, katanya, proses penyelesaian berlangsung tertutup hingga sulit menemukan titik temu. Perusahaan juga selalu bertahan pada apa yang mereka inginkan.

Dwi minta, pasokan minyak sawit untuk dua perusahaan raksasa itu dihentikan sampai masalahan lahan BBS dengan masyarakat selesai.

Walhi Jambi sudah mengadukan konflik BBS pada Panitia Khusus (Pansus) Konflik Lahan DPRD Jambi. Sayangnya, dari 24 desa yang dilaporkan berkonflik dengan perusahaan HTI dan sawit, hanya dua yang diterima untuk diselesaikan.

“Hanya di Desa Lubuk Madrasah dan Desa Sungai Paur di Kabupaten Tebo yang berkonflik dengan PT WKS.”

Dalam Forum Group Discussion (FGD) Februari lalu, Ketua Pansus Konflik Lahan, Wartono Triyan Kusumo menyebut, selama enam bulan terakhir menerima 105 pengaduan, hanya 25 kasus jadi prioritas karena keterbatasan waktu.

Saya beberapa kali mencoba menghubungi Wartono, tetapi pesan dan telepon saya tak direspon.

 

***

 

Belasan tahun, sengkarut lahan BBS dengan masyarakat tak kunjung selesai. Mediasi yang difalitasi tim terpadu juga mandek pada 2019 setelah warga memutuskan menempuh jalur hukum.

“Rombongan bang Antoni (Sekdes Sogo) sewa penasehat hukum, mereka mutuskan lewat jalur hukum,” kata Rio Septian, Pelaksana Seksi Penanganan Masalah Aktual Kesbangpol Muaro Jambi,.

“Fungsi tim terpadu ini memediasi, kalau warga sudah mutuskan lewat jalur hukum, selesai tugas kito, soalnyo itu bukan ranah kito lagi.”

Belakangan kelompok Antoni dikabarkan terima ganti rugi, masing-masing keluarga dapat kompensasi Rp1,7 juta. Sampai saat ini masih ada tujuh warga Sogo bertahan menolak kompensasi.

“Sekitar pertengahan tahun inilah orang tu terimo duit,” kata Henderiansyah, warga yang bertahan.

Kito sudah berjuang 10 tahun lebih, tibo-tibo menyerah.”

Sudah tiga kali pergantian Bupati Muaro Jambi, tetapi konflik lahan di Desa Sogo, Seponjen, Pulau Tigo dan Tanjung, belum juga selesai.

Roni terus bertahan karena ingin anak-anaknya punya kebun. Dia tak punya kebun lagi.

“Hidup di Kumpeh ini nak jadi apo kalau dak punyo kebun,” katanya.

 

 

********

Exit mobile version