Mongabay.co.id

Menelisik Ancaman Transisi Energi di Indonesia

 

Transisi energi dianggap menjadi solusi utama untuk mengurangi emisi global. Hal tersebut dikarenakan suplai energi global untuk kebutuhan listrik dan transportasi selama ini masih disumbang oleh bahar bakar fosil, yang merupakan penyumbang terbesar emisi global dan perubahan iklim [Natural Resource Defense Council, 2021].

Sedangkan perubahan iklim berisiko menyebabkan bencana-bencana iklim, seperti banjir dan kekeringan, kelangkaan pangan, kesehatan, kebakaran hutan, dan peningkatan permukaan air laut. Bagi Indonesia situasinya menjadi lebih buruk karena secara geografis sangat rentan terhadap perubahan iklim [Standard dan Poor’s, 2014].

UN Climate Change Conference Tahun 2021 [COP 26] di Glasgow, Skotlandia, menetapkan target mitigasi emisi global yang ambisius. Pakta Iklim Glasgow menyepakati untuk menahan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius [sesuai dengan Paris Agreement], pengurangan emisi sebesar 45% pada tahun 2030 dan global net zero emission pada tahun 2050.

Sedangkan Pemerintah Indonesia memasang target pengurangan emisi sebesar 29% [unconditional] dan 41% [conditional dengan bantuan internasional] pada tahun 2030 sebagaimana tertulis pada Updated Nationally Determined Contribution RI Tahun 2021. Pemerintah Indonesia juga menarget untuk mencapai net zero emission pada 2060.

Dikutip dari The Welding Institute Global, energi hijau adalah jenis energi yang bersumber dari sumber daya alam seperti cahaya matahari, angin, dan air yang proses pembakarannya tidak menghasilkan efek gas rumah kaca di atmosfer. Sebagai sebuah sumber energi, energi hijau diproses dengan teknologi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya, angin, panas bumi, dan hydro [air].

Saat ini 80% suplai energi global masih didominasi oleh fossil fuel. Sebaliknya, hanya 20% porsi energi hijau. Oleh karenanya, perjalanan menuju energi hijau masih sangat panjang.

Dalam implementasinya, Presiden Jokowi dalam S20 Gigh Level Policy Webinar on Just Energy Transition tahun 2022 mengatakan bahwa tiga tantangan terbesar transisi energi, yaitu akses ke energi bersih, pendanaan yang besar, dan kemampuan riset dan teknologi. Di samping itu, transisi energi memiliki tantangan lain terkait aspek lingkungan dan sosial, seperti dampak kerusakan lingkungan, kesenjangan sosial, dan ketergantungan.

Baca: Presidensi G20, Bagaimana Keseriusan Indonesia Lakukan Transisi Energi?

 

Saat ini suplai energi global masih didominasi energi fosil. Bagaimana dengan Indonesia? Foto: Pixabay/Public Domain/mary1826

 

Dampak kerusakan lingkungan

Salah satu kontribusi terbesar Indonesia bagi transisi energi global saat ini adalah dengan menyediakan bahan baku untuk industri kendaraan listrik dan biofuel.

Berdasarkan investigasi DW Documentary, perusahaan manufaktur di Eropa dituntut oleh EU untuk mengakhiri kendaraan berbahan bakar bensin dan solar pada tahun 2035 dengan memproduksi mobil listrik.

Pada produksi mobil listrik, logam tanah jarang memiliki peran penting. Sebagai contoh, Neodymium berfungsi untuk menghidupkan mobil dengan mengubah energi listrik menjadi energi mekanik. Baterai, yang terdiri dari cobalt dan graphite juga menjadi elemen penting bagi mobil listrik.

Tidak hanya mobil, logam tanah jarang juga digunakan pada setiap magnet untuk menggerakkan turbin pada energi angin dan unsur penting bagi teknologi energi surya. Pada intinya, energi hijau tak bisa bekerja tanpa logam tanah jarang.

Beragam jenis logam tanah jarang tersebut berasal dari Kongo, Australia, Chili, Bolivia, China dan Indonesia. Indonesia sendiri menjadi produsen kunci dari nikel, zirkonium, dan timah. Sekarang, negara-negara di seluruh benua memproduksi ratusan juta ton logam tanah jarang.

Akan tetapi, penambangan logam tanah jarang belum sepenuhnya ramah lingkungan. Misalnya, di China, penambangan graphite dilakukan dengan tidak ramah lingkungan, mengeksploitasi buruh, dan menggusur pemukiman penduduk [DW Documentary, 2022]. Di Indonesia, pertambangan nikel juga masih mengandung pro dan kontra karena proses penambangan yang tidak ramah lingkungan, alih fungsi lahan subur, dan sengketa lahan [Alauddin et al, 2016].

Selain nikel dan logam tanah jarang, kerusakan lingkungan di Indonesia juga disebabkan oleh biofuel. Pemerintah Indonesia telah merampungkan target penggunaan biofuel dari bahan bakar diesel sebesar 30% pada tahun 2021 [Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, 2021].

Permasalahannya adalah 30% biofuel tersebut diproduksi dari sawit. Sedangkan sawit sedang menjadi sorotan dunia karena telah menyebabkan deforestasi jutaan hektar hutan di Indonesia, dan menyebabkan bencana-bencana iklim seperti kebakaran hutan, banjir, dan kekeringan. Perkebunan sawit juga menyimpan banyak masalah terkait perebutan lahan dengan masyarakat lokal.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, penting untuk memastikan bahwa penambangan bahan baku bagi sumber energi hijau dilakukan dengan metode yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta tidak mencederai hak-hak publik.

Baca: Hati-hati dengan Transisi Energi Bersih

 

Indonesia memiliki potensi energi surya yang dapat dimaksimalkan. Foto: Shutterstock

 

Dampak kesenjangan sosial

Bjorn Lomborg dan Michael Shellenberger, dua skeptical environment, berpendapat bahwa ambisi negara-negara di dunia untuk mencapai global net zero emission pada 2050 terlalu ambisius dan membuang banyak uang. Dikutip dari International Energy Agency, setidaknya 3.942 miliar Dollar diinvestasikan untuk proses transisi energi sepanjang 2020 – 2030.

Padahal, uang tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah-masalah sosial lain yang juga urgent, seperti kelaparan, ketidaktersediaan air bersih, gizi buruk dan penyakit menular, ketimpangan pendidikan, dan kemiskinan global. Masalah-masaah tersebut khususnya terjadi di negara miskin dan berkembang.

Kritik tersebut juga didudung oleh pandangan bahwa selama melakukan proses transisi, bencana iklim tetap terjadi dan harus dihadapi oleh publik global. Masyarakat yang lebih sejahtera, memiliki pengetahuan, dan teknologi lebih mampu menanggulangi bencana iklim ketimbang mereka yang miskin, tidak terdidik, dan tidak memiliki teknologi.

Oleh karenanya, ketimbang hanya fokus pada mitigasi bencana iklim melalui transisi energi, tidak kalah penting untuk menekankan pada pentingnya peningkatan kapasitas adaptasi. Kapasitas adaptasi merespons perubahan iklim sangat terkait dengan tingkat kesejahteraan, pengetahuan, dan kepemilikan teknologi. Oleh karenanya, negara-negara, sektor swasta, dan NGO juga harus berfokus pada peningkatan kapasitas adaptasi dalam menghadapi bencana iklim.

Penekanan pada kemampuan adaptasi juga dapat membuat mitigasi bencana iklim menjadi lebih efektif. Sebagai contoh, Bjon Lomborg dalam tulisan berjudul Climate Change Calls for Adaptation, pada The Wall Street Journal, mencatat bahwa tahun 2000 terdapat 3,4 juta penduduk bumi terkena banjir dan membutuhkan biaya 11 miliar Dollar untuk mitigasi atau setara 0,05 GDP Global.

Tanpa adaptasi, pada tahun 2100 sebanyak 187 juta penduduk bumi terkena banjir dengan total biaya recovery sebesar 55 miliar Dollar. Sebaliknya, dengan meningkatkan kemampuan adaptasi, pada tahun 2100 hanya 15 ribu penduduk yang terkena banjir dengan biaya mitigasi 38 miliar Dollar.

Baca: Laut Belitung yang Selalu Diperebutkan

 

Mobil listrik yang dirancang sebagai kendaraan masa depan. Foto: Pixabay/Public Domain/andreas160578

 

Dampak ketergantungan

Dalam kuliah tamu bertajuk “Politik Transisi Energi Eropa dan Krisisi Ukraina” yang diselenggarakan Departemen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, pada 2 Maret 2022, Nanang Indra Kurniawan menyampaikan bahwa ketergantungan Eropa pada gas Rusia menjadi daya tawar utama bagi Rusia untuk terhindar dari sanksi Internasional akibat invasinya ke Ukraina.

Sekitar 40% gas alam Eropa disuplai dari Rusia dan Eropa berkepentingan untuk menjaga ketersediaan dan harga gas dari Rusia. Akibat ketergantungan tersebut, Eropa sangat berhati-hati dalam merespons invasi Rusia.

Berkaca dari kasus Eropa dan Rusia, ketergantungan juga mengancam proses transisi energi di banyak negara di dunia.

Di era fossil fuel, ketergantungan terjadi antara negara pemasok dengan penyuplai. Akan tetapi, di era energi hijau, setiap negara berpotensi mengembangkan sumber energinya sendiri-sendiri, sesuai kapasitas dan potensi energi terbarukan yang dimiliki.

Kemampuan untuk melakukan transisi energi sangat ditentukan oleh pembiayaan, SDM, dan teknologi. Dengan kemampuan yang tidak seimbang dan skema pembiayaan yang belum jelas, transisi energi berpotensi menyebabkan ketergantungan baru ketika negara berkembang tertinggal dari negara maju.

Pada saat negara maju mencapai target lebih cepat, mereka memiliki power untuk mengontrol negara berkembang melalui tawaran bantuan pembiayaan, tawaran suplai energi, dan lain sebagainya. Ketergantungan baru ini merupakan salah satu dampak yang harus diwaspadai Indonesia dan negara-negara berkembang dalam proses transisi energi.

Kesimpulannya, transisi energi harus memastikan suplai energi tersedia dan terjangkau bagi publik. Jika tidak, proses transisi berpotensi menyebabkan kelangkaan atau kenaikan harga energi. Kelangkaan energi akan mengganggu hampir keseluruhan aspek kehidupan dan menyebabkan krisis di mana-mana. Selain itu, transisi energi juga harus memastikan aspek keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial bagi seluruh penduduk bumi.

Terakhir, pembiayaan transisi energi pun harus dilakukan dengan adil. Negara dan perusahaan  yang lebih banyak menyumbang karbon harus menyumbang lebih besar dalam transisi energi global dan berpartisipasi aktif dalam pengembangan kapasitas adaptasi masyarakat di negara miskin dan berkembang.

 

* Eko Bagus Sholihin, penulis buku “Merebut Laut: Kontestasi Wacana Lingkungan dan Tambang di Belitung Timur dan pengajar di UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan. Tulisan ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version