Mongabay.co.id

Pulau Rupat Terancam, Terbebani Izin Ekstraktif di Darat dan Laut

 

 

 

 

Pulau Rupat di Riau, terancam hancur kala pulau kecil dengan ekosistem gambut ini penuh izin ekstraktif dan berskala besar. Walhi Riau mendesak, pemerintah evaluasi dan mencabut izin-izin perusahaan di Pulau Rupat dan menetapkan ekosistem Rupat sebagai kawasan lindung, menyalurkan ke hutan kelola rakyat serta pengakuan wilayah tangkap nelayan tradisional.

Tuntutan ini tertuang dalam lembar fakta dan disampaikan dalam diskuis, bertajuk Pulau Kecil Rupat: Dihancurkan di Darat, Dirusak di Laut, belum lama ini di Riau.

Temuan Walhi Riau dari olah data spasial dan hasil verifikasi lapangan, ada tiga jenis investasi industri ekstraktif oleh tujuh perusahaan di daratan pulau kecil itu. Antara lain, perusahaan hutan tanaman industri (HTI), PT Sumatera Riang Lestari (SRL).

Sisanya, perusahaan sawit, seperti PT Marita Makmur Jaya (MMJ), PT Sarpindo Graha Sawit Tani (SGST), PT Panca Citra Rupat (PCR), PT Bina Rupat Sepang Lestari (BRSL), PT Sumber Mutiara Indah Perdana (SMIP) dan satu lagi tidak diketahui namanya.

Perusahaan-perusahaan itu menguasai lebih dari separuh daratan Rupat atau sekitar 61,7 %, secara legal maupun ilegal. Rupat merupakan pulau kecil sekitar 152.455 hektar. Lebih 70% daratan merupakan ekosistem gambut, fungsi budidaya 67.947 hektar dan fungsi lindung 50.038 hektar.

“Rupat sebagai pulau kecil yang punya kekhususan dan mayoritas daratan merupakan ekosistem gambut mengalami berbagai ancaman,” kata Riau Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi.

Tak hanya di darat. Laut sekitar pulau rupat juga terancam karena penambangan pasir oleh PT Logo Mas Utama (LMU). Perusahaan ini mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi sejak 2017. Perusahaan beroperasi tanpa memperbarui dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang telah kadaluarsa.

Azlaini Agus, tokoh masyarakat Riau sekaligus mantan Wakil Ketua Ombudsman RI, mengatakan, izin penambangan pasir laut di Rupat tak hanya dimiliki LMU. Pada masa reformasi, dia bersama aktivis Riau pernah menuntut moratorium perizinan tambang pasir di pulau yang terletak di Kabupaten Bengkalis ini.

Setelah UU otonomi daerah, katanya, Gubernur Riau Saleh Djasit (1998-2003), pernah hentikan sementara aktivitas pengerukan pasir di Rupat. Azlaini belum dapat memastikan apakah izin-izin itu masih berlaku atau dicabut saat ini.

Dia tidak ingin perusahaan penambang pasir lain mendapatkan penyesuaian izin, seperti LMU. “Bila semua izin beroperasi, dua tahun saja, Rupat diprediksi tenggelam seluruhnya. Satu izin saja sudah merusak beting dan terumbu karang tempat ikan bertelur.”

Menurut Boy, pulau kecil bukan untuk aktivitas tanaman industri, sawit dan tambang. Seharusnya, prioritas untuk konservasi, pendidikan, pelatihan, penelitian, pengembangan, budidaya laut, pariwisata dan lain-lain. Hal ini, katanya, sesuai dengan UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

“Perusahaan itu tidak berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, justru memberi ancaman pada lingkungan maupun masyarakat adat dan lokal,” ucap Boy.

 

Operasi kapal tambang pasir di Perairan Rupat. Foto:Walhi Riau

 

Konflik dan rusak lingkungan

Aktivitas perusahaan di Rupat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Pulau ini langganan kebakaran hutan dan lahan, abrasi kian mengikis daratan serta penurunan permukaan tanah akibat masuknya air asin melalui kanal-kanal perusahan yang bermuara ke laut. Termasuk kerusakan terumbu karang dan habitat dugong.

Selain lingkungan, katanya, juga dampak sosial, seperti ancaman keberlanjutan sumber penghidupan masyarakat, ketimpangan penguasaan lahan serta konflik agraria. Bahkan, kata Boy, nelayan Rupat mulai merasakan hasil tangkapan ikan berkurang setelah ada penambangan pasir.

Dia beri catatan negatif atas keberadaan beberapa perusahaan di Rupat. SRL, misal, perusahaan ini menguasai daratan Rupat sekitar 38.000 hektar. Pemerintah pernah menetapkan sebagai perusahaan tak patuh mencegah kebakaran hutan dan lahan pada 2015. Lima tahun kemudian, Walhi kembali menemukan titik api di konsesi SRL.

SRL juga berkonflik dengan masyarakat Suku Akit Hatas, Desa Titian Akar, Kecamatan Rupat, Bengkalis. Keberadaan SRL memisahkan hubungan spiritualitas masyarakat Akit dengan alam. Mereka kehilangan obat-obat tradisional maupun kayu alam, buat perahu dan peti mati setelah hutan diganti dengan akasia.

“Itu mengakibatkan keterancaman keberlanjutan budaya mereka dan menambah beban ekonomi untuk memenuhi kebutuhan adat,” katanya.

Begitu pula MMJ dan PCR. Kedua perusahaan berkebun persis di sempadan dengan aliran sungai yang mengancam ekosistem mangrove. Menurut Boy, daya tampung Rupat yang makin terbebani perizinan bakal menyebabkan subsidensi makin tinggi. Permukaan air laut terus naik tiap tahun.

“Apabila beban Rupat tidak dikurangi di darat, beberapa belas tahun ke depan kemungkinan Rupat akan tenggelam. Karena ia gambut tapi dibebani izin terlampau besar.”

Belum lagi izin yang dikantongi LMU. Selain memperoleh izin dengan cacat formil, aktivitas pengerukan pasir mengancam kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) dan kawasan strategis pariwisata daerah (KSPD) yakni gugusan pulau kecil sekitar Rupat.

“Kalau pemerintah menetapkan Rupat wilayah strategis pariwisata, kenapa dirusak dengan aktivitas tambang? KESDM harus evaluasi perizinan LMU. Kita juga mendesak mengurangi beban Pulau Rupat dari perizinan sawit dan akasia.”

 

Rumah masyarakat adat Suku Akit di Pangkalan Nyirih, Rupat Selatan. Foto: Made Ali

 

Pemerintah daerah berkirim surat soal pencabutan izin

Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga, Bengkalis, sebenarnya telah berkirim surat ke Gubernur Riau, akhir tahun lalu soal cabut izin LMU. Alasannya, berdasarkan PP 50/2011 dan Perda Bengkalis 2/2021, Rupat dan sekitarnya ditetapkan sebagai KSPN dan KSPK.

Warkah itu juga melaporkan, penambangan pasir laut oleh LMU di hutan produksi terbatas (HPT) Pulau Babi, Kecamatan Rupat Utara, Bengkalis, merusak destinasi wisata di pulau itu. Bahkan, berimbas ke Pulau Beting Aceh serta Pantai Rupat Utara.

Selain itu, juga menurunkan hasil tangkapan nelayan lokal maupun dari Kabupaten Rokan Hilir dan Kota Dumai. Habitat dugong juga turut terancam. Lebih parah lagi, Rupat akan makin cepat tenggelam karena abrasi kian parah.

Penolakan terhadap LMU juga diutarakan sejumlah kelompok masyarakat yang peduli dengan nasib Rupat. Atas dasar itu, Gubernur Syamsuar pun ikut melayangkan surat ke Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), pertengahan Januari lalu.

Dalam surat yang juga ditembuskan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal serta Direktur LMU, Pemerintah Riau menyampaikan beberapa rekomendasi.

Rekomendasi iru antara lain, pencabutan kuasa pertambangan yang telah disesuaikan jadi IUP, pemindahan lokasi penambangan melalui pengajuan izin wilayah baru yang tidak bersinggungan dengan KPSN, KSPD, kawasan konservasi maupun areal fishing ground. Terakhir, Pemprov Riau minta penghentian operasi produksi selama izin belum dicabut atau lokasi penambangan dipindahkan.

Mengutip Tempo.co, Pulau Rupat sebenarnya masuk dalam kawasan strategis nasional tertentu (KSNT). Sekitar 14.133,50 hektar perairan bagian utara diusulkan sebagai kawasan konservasi perairan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah menyiapkan draf rencana zonasi KSNT Pulau Rupat yang sedang diintegrasikan dengan rencana tata ruang perbatasan.

Hasil evaluasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, menemukan LMU belum memiliki persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL). Ini disampaikan saat memantau penambangan pasir laut di Rupat, 14 Februari lalu.

Azlaini Agus mendorong KLHK audit lingkungan di Pulau Rupat. Juga menantang Gubernur Syamsuar membuktikan program “Riau Hijaunya” untuk memulihkan kembali Rupat.

Selama ini, program pro lingkungan yang digaungkan Syamsuar sejak kampanye dan terpilih jadi gubernur dinilai tidak tampak.

Riko Kurniawan, Direktur Paradigma juga beri opsi. Dia usul, peluang memulihkan Pulau Rupat melalui percepatan revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW), dengan terlebih dahulu menyusun dokumen kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).

Sejak Mahkamah Agung menyatakan penyusunan RTRW Riau 2018-2038 bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan, 12 Agustus 2019, hingga kini pemerintah dan DPRD Riau tak kunjung membahas draf RTRW baru. Perda RTRW Riau harus disusun ulang setelah Jikalahari dan Walhi Riau memenangkan gugatan judicial review.

Riko juga mengusulkan, seluruh perizinan di Rupat uji kelayakan lewat jalur pengadilan. Sembari itu, Gubernur Riau harus serius menata perizinan di Rupat melalui Satgas Terpadu Penertiban Penggunaan Kawasan Hutan/Lahan secara Ilegal yang mati suri sejak terbentuk pada 2019.

“Bicara cabut izin, kita dapat belajar dari KLHK yang berani cabut izin LUM di Pulau Tebing Tinggi, Kepulauan Meranti. Gubernur harus didesak perbaiki tata ruang Riau terutama untuk pulau-pulau kecil,” kata Riko.

 

KKP yang menghentikan sementara operasi tambang di pesisir Pulau Rupat. Foto: Walhi Riau

********

 

Exit mobile version