Mongabay.co.id

Potensi Laut Menjanjikan Pulau Pongok dan Wisata Bangkai Kapal Tua

 

 

Pulau Pongok merupakan satu dari delapan pulau kecil berpenghuni di Kabupaten Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung. Pulau seluas 8.613 hektar itu, dihuni keturunan Suku Melayu dan Suku Sawang dengan jumlah penduduk sekitar 3.264 jiwa.

Aktivitas masyarakatnya terbagi dua, yaitu nelayan dan petani. Bagi nelayan, ikan prioritas tangkapannya adalah bilis [Mystacoleucus Sp.], dencis [Sardina Sp.], dan juga teri [Anchoa mitchilli, Engraulis mordax, Engraulis ringens]. Ikan tersebut akan diawetkan sebelum dijual ke Pulau Bangka dan Belitung. Sementara ikan yang bukan prioritas tangkapan, seperti tongkol [Euthynnus affinis] langsung dijual ke warga Pulau Pongok.

Sementara, tanaman utama pertanian di sini adalah padi dan palawija. Selain dijual, dijadikan juga sebagai sumber pangan keluarga.

Secara geografis, Pulau Pongok dikelilingi Laut China Selatan [utara], Selat Gaspar [timur], Laut Jawa [selatan] dan Selat Pongok [barat].

 

Bangkai kapal di sisi barat Pulau Pongok sudah tertutup terumbu karang. Foto: Baharudin/Mongabay Indonesia

 

Kapal bagan

Bagan ikan di perairan Pulau Pongok, bukanlah bangunan seperti rumah panggung di laut atau bagan tancap, tapi menggunakan kapal.

Kapal bagan adalah kapal yang dilengkapi jaring angkat, digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil. Ikan ini merupakan jenis yang berada di permukaan air seperti tembang [Sardinella fimbriata], layang [Decapterrus kurroides], dan lisong [Auxis rochei]. Cara kerja kapal bagan tidak berbeda dengan bagan tancap, yaitu mengumpulkan ikan menggunakan jaring dan penerangan lampu [malam hari].

Keuntungan kapal bagan adalah mudah dipindahkan atau mobile. Namun, biaya pembuatan satu kepala bagan lebih mahal dibandingkan bagan tancap, kisaran Rp500 juta. Sementara bagan tancap maksimal Rp200 juta.

Di Pulau Pongok terdapat sekitar 30 kapal bagan. Pemiliknya adalah pengusaha ikan yang juga memiliki gudang penampungan.

Penghasilan ikan dari bagan kapal sepanjang tahun tidak menentu.

“Jika lagi panen, bisa mencapai 15-20 ton per kapal [per bulan]. Kapal bagan beroperasi 3-4 hari di laut saat bulan gelap, dan biasanya bermalam di pulau lain,” kata Junaidi [45],  nelayan di kapal bagan, awal Maret 2022.

 

Kapal bagan yang berlabuh di sekitar perairan Pulau Pongok. Foto: Nadya Syasri Aryani/Mongabay Indonesia

 

Mangrove, padang lamun, dan terumbu karang

Pulau Pongok memiliki tiga ekosistem: mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Semua kondisinya relatif baik.

Berdasarkan pantauan, selama satu minggu [27 Febuari – 4 Maret 2022], vegetasi mangrove terdiri dari jenis Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Bruguiera cylindrica, dan Sonneratia caseolaris.

Pada ekosistem ini ditemukan juga biota seperti kerang darah [Anadara subcrenata], keong [Clithon retropictum], common periwinkle [Litorina littorea], dan black dog whelk [Ilyanassa obsolete].

Ekosistem lamun [seagrass] di Pulau Pongok, di laut dangkalnya terdapat tumbuhan berbunga [Angiospermae]. Sementara, spesies Enhalus acoroides yang mendominasi. Sejumlah biota hidup yang ada seperti Meretrix meretrix [kepah], Pugilina ternatana [seperti siput gonggong, tapi cangkangnya lebih ramping dan berwarna kemerahan], dan Hemifusus tuba [seperti siput gonggong, tapi cangkangnya lebih ramping dan berwarna putih].

 

Gugusan karang yang masih dalam kondisi baik di sekitar Pulau Pongok. Foto: Nadya Syasri Aryani/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana dengan terumbu karang? Di sini beraneka jenis dan warna seperti cokelat, merah, merah muda, hijau, dan kuning. Jenis yang mendominasi antara lain karang meja atau Acropora tabulate [ACT], Acropora branching [ACB], Coral Branching (CB), karang kol atau Coral foliose [CF], serta batu karang atau Coral massive [CM].

Selain itu, ditemukan juga jenis Acropora Encrusting [ACE], Acropora Submassive [ACS], Coral Encrusting [CE], Coral Heliopora [CHL], Coral Millepora [CME], Coral Mushroom [CMR], Coral Submassive [CS], Coral Tubipora [CTU],  dan Dead Coral (DC).

Bioata laut yang hidup pada terumbu karang juga terlihat, seperti bintang laut berduri [Acanthaster planci], bulu babi [Diadema setosum], lola [Trochus niloticus], kima [Tridacna crocea, ikan badut [Amphiprion ocellaris], dan lili laut [Thalassometridae Sp.].

“Terumbu karangnya masih baik. Banyak biota laut hidup di terumbu karangnya,” kata Muhammad Rizza Muftiadi, peneliti terumbu karang dari Universitas Bangka Belitung.

 

Kima yang ditemukan di sekitar perairan Pulau Pongok. Foto: Nadya Syasri Aryani/Mongabay Indonesia

 

Farid Kamal Muzaki, Fachril Muhajir, Galdi Ariyanto dan Ratih Rimayanti, dalam penelitian berjudul “Kondisi Terumbu Karang di Perairan Bangka Provinsi Bangka Belitung” tahun 2010,  menjelaskan kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Pongok dalam dalam kategori baik. Nilainya kisaran 72,07– 73,04 persen.

Tapi, saat ini, ada terumbu karang di Pulau Pongok yang terlihat rusak, misalnya, di Pantai Batu Tambun. Kerusakan terlihat pada lapisan pertama.

“Rusak akibat bom ikan,” kata Kamal [40], seorang guru di Desa Pongok.

Dijelaskan Kamal, selain bom ikan, kerusakan juga disebabkan pukat harimau dan racun ikan. “Belum ada upaya pencegahan secara ketat. Selain itu, para pelakunya, yang kebanyakan nelayan dari luar Pulau Pongok, melakukannya malam hari, sehingga warga tidak dapat mencegah,” lanjutnya.

Menurut Rizza, kerusakan terumbu karang itu dapat dicegah melalui aturan atau kesepakatan bersama antara nelayan dengan masyarakat desa. Kesepakatan itu, berikutnya ditetapkan menjadi Perdes [peraturan desa] Pongok. Aturan tersebut disertai sanksi bagi yang melanggar.

“Misalnya, memberi warna atau tanda khusus pada kapal nelayan [kapal bagan] dari Pulau Pongok. Dengan begitu, dapat diketahui kehadiran kapal nelayan dari luar yang sekaligus dipantau aktivitasnya,” tutur Rizza yang juga Ketua Simbang Institut.

 

Bulu babi dan bintang laut berduri yang hidup di sekitar perairan Pulau Pongok. Foto: Nadya Syasri Aryani/Mongabay Indonesia

 

Bangkai kapal tua

Selama ratusan tahun, perairan Pulau Pongok merupakan bagian jalur perdagangan, dari masa Kedatuan Sriwijaya hingga pemerintahan Hindia Belanda. Sementara Pulau Pongok, sering dijadikan pelarian para prajurit perang, yang kapalnya hancur atau terbakar.

Ini dibuktikan adanya bangkai kapal tua di lima titik. Dua titik di sekitar Batu Mandi [barat daya] dengan kedalaman 7-15 meter, serta tiga titik di sekitar Karang Unus, Gusung Jungkung, dan Pembuangan Kapal [tenggara] pada kedalaman sekitar 22 meter.

Titik kapal karam di Karang Unus dan Gusung Jungkung, dipercaya masyarakat Pulau Pongok, merupakan bangkai kapal dagang China dan Portugis.

Menurut Junaidi, yang pernah menyelami bangkai kapal di Gusung Jungkung, kapal tersebut terbuat dari kayu dan bagian dalamnya dilapisi lempengan kuningan. Sementara, pada titik lainnya, terdapat tiga kapal terbuat dari besi, yang dipercaya masyarakat sebagai peninggalan Perang Dunia II.

 

Terumbu karang yang hidup di perairan Pulau Pongok. Foto: Nadya Syasri Aryani/Mongabay Indonesia

 

Agus Sudaryadi, arkeolog bawah air, dari Balai Pelestarian Cagar Budaya [BPCB] Jambi yang wilayah kerjanya meliputi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka-Belitung, dalam artikel berjudul Kapal Tenggelam di Perairan Pulau Pongok Kabupaten Bangka Selatan, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung”, menjelaskan, di Perairan Pulau Pongok, ditemukan lima titik kapal yang telah disurvei.

“Ada tujuh kapal yang tenggelam,” jelasnya.

Dengan kondisi tersebut, keberadaan bangkai kapal dapat dilihat melalui diving dan snorkeling. Snorkeling dilakukan pada perairan dangkal [3-6 meter], sementara diving pada laut yang kedalamannya mencapai 20 meter. Sementara, posisi bangkai kapal kuno berada di kedalaman kisaran 7-22 meter.

 

* Nadya Syasri Aryani, mahasiswa Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi [FPPB] Universitas Bangka Belitung. Mengikuti pelatihan jurnalisme lingkungan yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Universitas Bangka Belitung, 24-26 Januari 2022.

 

 

Exit mobile version