Mongabay.co.id

Perubahan Iklim, Alarm dari Kerusakan Alam

 

Krisis iklim menjadi isu besar yang sedang hangat diperbincangkan, salah satunya di tataran organisasi keagamaan. Melalui kegiatan Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan kesadaran tentang penyelamatan lingkungan dan alam akibat pembangunan yang sangat kapitalistik itu sesungguhnya dimulai ketika muncul gerakan zero growth di tahun 70-an.

Haedar menyebut bumi masih ada banyak persoalan serius seperti badai, kelaparan, laut yang sekarat, udara yang tidak bisa dihirup, wabah akibat pemanasan global, bahkan juga ambruknya ekonomi, terjadinya konflik akibat iklim.

Semuanya terkait dengan perubahan iklim global hasil atau produk negatif dari kebijakan-kebijakan manusia di berbagai negara.

“Alam dan lingkungan kita sedang berada di alarm oleh perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang sudah berlangsung lama, seiring dengan proses modernisasi dan pembangunan yang dilakukan oleh setiap bangsa dan negara, atau secara berjamaah ditingkat global,” terang Haedar dalam seminar bertajuk “Perubahan Iklim dan Kesalehan Ekologi” yang diselenggarakan secara daring dan luring di Universitas Muhammadiyah Pontianak, Sabtu (09/04/2022).

Dia bahkan membandingkan kondisi saat ini dengan buku tentang The Uninhabitable Earth karya David Wallace Well yang bercerita tentang masa depan ketika bumi tidak lagi bisa dihuni oleh manusia. Karena manusia di era ini dengan segala alam pikirannya yang post modern, berparadigma iptek, namun sangat instrumental dan pragmatis.

Akhirnya melahirkan ancaman yang luar biasa dari perubahan iklim yang total, bahkan melebihi ancaman bom atau berbagai macam bentuk produk ancaman hasil manusia secara langsung. Hingga sampai pada kesimpulan yang pesimistik bahwa kehidupan berada di ambang kepunahan, menyerupai kiamat.

baca : Laporan IPCC Terbaru: Perubahan Iklim Ancam Kesejahteraan Manusia dan Kesehatan Bumi

 

Sungai Bengawan Solo saat mengalami kekeringan di musim kemarau panjang. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, karena ambisi-ambisi berlebihan dari pengambil keputusan yang ingin membangun legacy, mercusuar kota hebat, pembangunan raksasa, secara sadar atau tidak, yang tidak sama dalam mencermati alam. Hasil akhirnya adalah alam dan lingkungannya menjadi rusak, termasuk di dalamnya, makhluk hidup, tanaman, dan berbagai macam ciptaan Allah sampai pada jasad atau makhluk yang tidak bisa dilihat karena kecilnya.

Dalam menyikapi, memandang, dan serta memperlakukan alam, lanjut suami dari Siti Noordjannah Djohantini ini, disebutkan ada tiga paradigma dalam persepektif Al-Qur’an. Pertama yaitu paradigma kekhalifahan yang berfungsi untuk memakmurkan bumi dan jangan sampai merusak. Kedua paradigma fasadah, yaitu hasrat, naluri, dan kemampuan ingin merusak.

Manusia jika sudah merasa sudah digdaya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan kekuasaan jika tidak mempunyai kontrol teologis keagamaan dan spiritual yang tinggi, maka dia akan menuruti hawa nafsunya, termasuk hawa nafsu yang berlebihan di dalam mengeksploitasi alam.

Berikutnya adalah paradigma nifak (hipokrit), dimana ada alam pikiran, ilmu, cara pandang, ada paradigma orang personal atau institusi, atas nama pembangunan, tetapi sejatinya merusak.

“Hidup tidak sekedar urusan dunia, fisik lahiriah, infrastruktur, dan hal-hal yang bersifat saintifik, tapi juga ada sesuatu yang bersifat ruhani, spiritual, dan metafisik. Bagi kami kaum beragama, setelah hidup di dunia itu adalah hidup di akhirat,” pungka Haedar.

 

Tanggung Jawab Bersama

Pada kesempatan yang sama, ekonom senior dan tokoh lingkungan hidup, Prof. Emil Salim menjelaskan, ada tiga krisis yang dihadapi di dunia sekarang ini, krisis pertama yang sedang dihadapi dunia yaitu virus COVID-19.

Berikutnya adalah perubahan iklim yang dimulai sejak revolusi industri. Akibat pencemaran industri itu hingga saat ini iklim di dunia mengalami kenaikan suhu bumi.

Pencemaran industri ini, lanjut Emil, perlu dikendalikan agar di tahun 2050 kenaikan gas rumah kaca (a.l.CO2) menjadi net zero sum atau jumlah pencemaran udara nol, hal itu seperti yang disepakati dunia dalam pertemuan Paris Agreement 2015.

Akan tetapi dalam laporan Inter-Gevemmental Panel on Climate Change atau IPCC pada bulan Februari 2022 menyimpulkan cita-cita ini tidak dicapai, bahkan kemungkinan besar bahwa net zero sum dipercepat tahun 2040.

baca juga : Tekan Dampak Perubahan Iklim Mulai dari Jamban, Seperti Apa?

 

Petani padi gagal panen akibat kekeringan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Krisis selanjutnya yaitu krisis dehumanisasi ilmu. Menurut Emil, sejak revolusi industri itu terjadi pergeseran pengembangan dari sumber daya energi alami ke energi buatan manusia. Sementara yang diandalkan adalah kemampuan teknologi fisik seperti artificial intelligence atau menggantungkan kemampuan rasionalitas, sehingga religiusitas menjadi terabaikan.

“Perkembangan dunia mengarah keprikehidupan serba mekanik, machinal dan robotic yang serba mekanis tanpa rasa kehidupan budaya, sosial, dan juga agama,” terang pria yang pernah menjabat sebagai Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup ini.

Akibat perubahan iklim itu sebagai negara tropis, kata Emil, Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan seperti kelangkaan air minum, pertanian, pangan, kesehatan, dll. Untuk menghadapi ini diperlukan pendekatan lokal.

Tantangan lainnya yang sering terjadi adalah gempa bumi, tsunami, leutsan gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, cuaca ekstrim, dan gelombang abrasi.

Karena belum tersebarnya ketrampilan dan keahlian sumber daya manusia dalam menghadapi bencana secara merata ini menjadikan tantangan tersendiri, sehingga di tingkat lokal pengembangan sumber daya manusia ini perlu ditingkatkan.

Emil menilai, hakekat krisis kehidupan dewasa ini adalah tidak serasinya perkembangan hidup material dengan spiritualitas manusia. Untuk itu, dia menekankan tantangan dan permasalahan pembangunan bangsa yang sedang dihadapi bersama ini juga menjadi tanggung jawab para cendekiawan muslim untuk mengajak cendikiawan agama-agama lainnya, untuk mengkaji sesuai dengan petunjuk dan ajaran Ilahi pada umat manusia.

baca juga : Perubahan Iklim Ancam Masa Depan Kopi Indonesia

 

Warga melintas di jembatan nelayan dengan latar belakang cerobong asap industri di kawasan pesisir Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Pencemaran industri ini perlu dikendalikan agar di tahun 2050 kenaikan gas rumah kaca (a.l.CO2) menjadi net zero sum atau jumlah pencemaran udara nol. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Upaya Pengendalian

Direktur Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Laksmi Dhewanti mengatakan, Indonesia menunjukkan komitmennya yang kuat, dalam mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Sasaran pokoknya yaitu terwujudnya Indonesia yang asri dan lestari, yaitu membaiknya pengelolaan sumber daya alam, pelestarian lingkungan hidup untuk terjaganya fungsi, daya dukung dan kemampuan alam untuk memulihkan.

Dengan demikian alam dan lingkungan hidupnya bisa mendukung kualitas kehidupan sosial dan ekonomi yang bisa lebih serasi, seimbang dan lestari.

Selain itu, kekayaan keanekaragaman hayati seperti satwa dan tumbuhan juga bisa menjadi nilai tambah bagi bangsa Indonesia. “Kalau kita tidak punya modal, sumber daya alam dengan nilai tambah baik, maka kita tidak akan bisa punya daya saing,” ujarnya.

Agenda berikutnya adalah meningkatkan kesadaran, sikap mental dan prilaku masyarakat. Menurut dia, dalam pengembangan kebijakan dan program selalu berdasarkan ilmu pengetahuan, riset dan inovasi.

Menurut dia, untuk agenda perubahan iklim ini sudah tidak lagi suka rela, tetapi sudah bagian dari kewajiban untuk melakukan upaya penurunan emisi gas rumah kaca dan peningkatan ketahanan iklim.

Di tahun 2022 pemerintah telah melengkapi dengan berbagai macam dokumen perencanaan, panduan dan cara-cara menghitung kinerja agenda perubahan iklim, seperti yang tertuang dalam dokumen Updated Nationally Determined Contribution, Long Term Strategy Low Carbon Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050), Peta Jalan NDC, dan juga melalui kebijakan FOLU Net Sink 2030 yang merupakan panduan bekerja.

“Untuk itu, dalam mencapai visi Indonesia 2045 diperlukan pondasi yang kuat dalam perlindungan lingkungan dan iklim,” kata Laksmi.

Dalam menjalankan program-program itu, lanjutnya, juga dibutuhkan keterlibatan semua pihak, lintas generasi, lintas disiplin maupun sektor, baik itu secara kolektif untuk ikut memikirkan inovasi dan solusi di seluruh bidang kehidupan.

 

Exit mobile version