Mongabay.co.id

Jalan Panjang Karst Rammang-Rammang menuju Ekowisata

 

Ketika menyebut Kabupaten Maros di Sulawesi Selatan, maka yang tergambar di benak masyarakat umum adalah pelayanan Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin.

Selanjutnya tak jauh dari bandara, sekitar 15 menit dari ibukota Kabupaten Maros akan ditemukan objek wisata yang sudah lazim dikunjungi yakni taman wisata alam Bantimurung yang terkenal dengan keindahan alam dan air terjunnya dilengkapi dengan kupu-kupu eksotik.

Dari lokasi Taman Nasional Bantimurung Bulu Saraung ini, jika ditarik garis lurus ke arah selatan, maka akan terlihat hamparan pegunungan batu kapur/ batu gamping (karst) sepanjang 46.200 hektare (462 km2) dari Kabupaten Maros hingga Kabupaten Pangkep.

Gugusan karst yang berada di Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan ini tercatat sebagai kawasan karst terbesar dan terindah kedua di dunia setelah China.

Kawasan Karst Maros-Pangkep juga memiliki 268 gua yang terdiri dari stalagmit dan stalaktit yang indah dan 89 di antaranya merupakan gua prasejarah yang memiliki lukisan batu.

Kawasan geopark Maros-Pangkep tersebut di salah satu “site”nya, terdapat Dusun Rammang-Rammang dan Dusun Salenrang di Kecamatan Bontoa yang sebelum 2015 belum ada yang melirik.

baca : Wisata Alam Rammang-rammang: Dibangun Aktivis, Diresmikan Menteri

 

Loket masuk kawasan ekowisata Rammang-rammang. Foto : Suriani Mappong

 

Hal itu dikemukakan warga Rammang-Rammang, Iwan Dento yang menjadi penggagas cikal bakal Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di Kabupaten Maros untuk pertama kalinya.

“Jadi Rammang-Rammang itu sebagai tempat wisata, sebenarnya tidak ada launching atau peresmian khusus,” kata Iwan yang ditemui akhir Maret 2022.

Menurut dia, proses awal dari wisata karst Rammang-Rammang itu dipicu adanya aksi penolakan warga setempat atas ekstraksi tambang yang ada di Dusun Rammang-Rammang dan Dusun Salenrang.

Lelaki berperawakan bersahaja ini mengatakan, pariwisata bagi mereka sebenarnya adalah sebuah konsep tanding atau cara pandang yang mendorong soal pengelolaan kawasan karst yang selama ini dinilai sangat monoton.

Pasalnya, ketika melihat kawasan karst, maka yang dipikiran adalah itu obyek komoditi, obyek yang hanya bisa dieksploitasi dengan kegiatan-kegiatan ekstraktif.

Padahal, idealnya pariwisata itu didorong pada konsep pemanfaatan kawasan karst yang berkelanjutan. Karena itu, pemilihan konsep pariwisata itu harus sangat hati-hati, karena kalau salah konsep, maka pariwisata bisa bersifat eksploitatif dan bisa merusak juga.

Konsep yang berfokus pada pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dan tidak mengubah keasrian dan keasliannya itulah yang kemudian disebut ekowisata.

menarik dibaca : Iwan Dento, Sang ‘Hero’ Penyelamat Karst Rammang-rammang

 

Kawasan ekowisata Rammang-Rammang merupakan bagian dari kawasan geopark Maros-Pangkep. Foto : Suriani Mappong

 

Dengan mempertegas konteks perbedaan desa wisata dengan wisata di desa. Sebagai gambaran, Desa wisata adalah orang ketika ke sebuah desa berwisata itu karena memang desanya sudah memiliki potensi untuk dinikmati berwisata.

Sementara berwisata di desa adalah membangun tempat wisata di desa untuk kemudian dinikmati. Penarikan benang merah dari dua konsep tersebutlah yang kemudian menjadi cikal bakal wisata karst Rammang-Rammang yang prosesnya sejak 2007 hingga 2013.

Pada 2013 penantian panjang untuk mendapatkan perlindungan kawasan bagi warga di dua dusun di Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros ini, akhirnya bersambut dengan secercah harapan.

Hal itu ditandai dengan Surat Keputusan Bupati Maros atas pencabutan izin tambang di kawasan karst Rammang-Rammang. Bupati Maros ketika itu dijabat HM Hatta Rahman.

Kemudian itu diperkuat dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sulawesi Selatan No.7 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan daerah Nomor 10 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan jangka Panjang Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008-2028.

Seiring dengan perjalanan waktu, ibarat seorang buta yang meraba-raba kondisi di sekelilingnya dengan menggunakan tongkat seadanya, mencoba mencari arah yang tepat untuk melangkah ke suatu tujuan.

Begitu pula dengan warga di kawasan Rammang-Rammang dalam kurun 2013 hingga 2015 terus melakukan pencarian konsep pengelolaan objek wisata yang lengkap dengan flora dan faunanya.

“Ketika itu kita masih bingung sebenarnya apa yang membuat orang bisa datang ke sini? apa yang bisa dinikmati? Fase itu kami menyebutnya fase eksplorasi,” kata Iwan.

Jadi ibarat rumah, lanjut dia, pihaknya mencoba mengenali rumahnya, posisi persisnya, di mana dapurnya dan sebagainya.

baca juga : Rammang-Rammang, Keajaiban Alam Berpadu Sejarah Panjang Kehidupan Manusia

 

Padang Ammarrung di kawasan ekowisata Rammang-rammang. Foto : Suriani Mappong

 

Menuju titik terang

Setelah menelaah dan banyak bertukar pikiran dengan pihak terkait, akhirnya pada 2015 Iwan bersama rekan-rekannya dan pemerintah desa membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis).

Selama dua tahun setelah pembentukan Pokdarwis, meski tidak ada percontohan dan tidak mendapat kesempatan melihat dari dekat Pokdarwis di daerah lain, akhirnya pelan tapi pasti sudah ada titik terang untuk pengelolaan objek wisata karst Rammang-Rammang.

Bersama dengan pemerintah daerah setempat, Pokdaswis dan masyarakat menyepakati pengelolaan pariwisata berbasis ekowisata yang mengedepankan konservasi dan pemberdayaan masyarakat baik dalam menjaga lingkungan maupun dalam peningkatan ekonomi.

Menurut Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Maros, Ferdiansyah, pihaknya telah mengedukasi masyarakat soal ekowisata dengan bekerja sama dengan BumDes dan pengelola ekowisata.

Kegiatan tersebut sudah hampir tiga tahun dilakukan di kawasan ekowisata Rammang-Rammang di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Maros.

Khusus di lingkungan sekolah, Disparpora Maros bekerja sama dengan Dinas Pendidikan setempat untuk mengedukasi siswa-siswi di sekolah di wilayah kawasan ekowisata tersebut.

Menurut Ferdiansyah, untuk jenjang sekolah dasar dan lanjutan, pengenalan ekowisata masuk sebagai salah satu muatan lokal ataupun pelajaran umum yang disisipkan untuk mensosialisasikan ekowisata karst Rammang-Rammang itu.

Hal itu dibenarkan salah seorang siswa di SD Rammang-Rammang, Mustari. Dia mengatakan, selain mendapatkan pelajaran umum di sekolah, juga mendapatkan pembelajaran tentang konservasi.

“Dari pembelajaran itu, kami tahu bahwa konservasi intinya adalah pelestarian atau perlindungan agar tetap terjaga atau terpelihara dengan baik,” katanya.

Selain itu, lanjut dia, juga diajarkan upaya memelihara lingkungan atau kawasan karst dengan tidak membuang sampah sembarangan.

baca juga : Merawat Mata Air, Menjaga Pasokan Air Bersih Salenrang

 

Kampung Berua di kawasan ekowisata Rammang-rammang. Foto : Suriani Mappong

 

Sementara itu, RT di Kampung Berua di Kawasan Rammang-Rammang, Darwis juga mengaku untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat, pihaknya bersama kelompok sadar wisata (Pokdarwis) terus-menerus mensosialisasikan untuk tidak mencoret-coret gunung atau batu kapur (karst).

“Termasuk menjaga tanah dan air agar tidak dicemari, ini perlu dijaga sebagai satu-kesatuan eksosistem di kawasan karst Rammang-Rammang,” katanya.

Untuk menjaga dan melestarikan kawasan karst Rammang-Rammang, Bupati Maros HAS Chaidir Syam mengatakan siap duduk bersama dan mengawal bersama dengan seluruh stakeholder.

“Kawasan karst Rammang-Rammang yang sudah diusulkan ke UNESCO sebagai ‘World Heritage’, karena itu kawasan ini harus dijaga bersama,” katanya.

Menyoal upaya perlindungan dan pelesatarian wilayah karst Rammang-Rammang, ia mengaku sangat berhati-hati dalam membuat kebijakan, termasuk membuat fasilitas pendukung di kawasan wisata itu.

Pasalnya, jangan sampai membangun fasilitas pendukung justru akan merusak keasrian ataupun habitat flora dan fauna yang ada di sana.

Selain menjaga alam bersama flora dan faunanya, di kawasan ekowisata juga perlu medorong pemberdayaan masyarakat dari sisi ekonomi.

Karena itu, Pemkab Maros bersama Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan mengandeng BNI Wilayah Makassar untuk membantu pelaku UMKM di kawasan wisata tersebut.

Pihak BNI selain memberikan bantuan modal usaha, juga melakukan pendampingan hingga pemasaran produknya. Meski masih tergolong sangat sederhana, namun ke depan diharapkan dapat terus berkembang, sehingga produksi seperti keranjinan tangan dari anyaman daun lontar tidak hanya untuk pangsa pasar lokal, tetapi juga menembus pasarmancanegara.

Dengan menelaah perjalanan Rammang-Rammang itu, wajar saja jika pengelolaan wisata berbasis ekowisata seperti Rammang-Rammang ini membutuhkan waktu yang tidak seumur jagung.

Butuh kesabaran, kehati-hatian dan bekerja dengan hati,agar semua perencanaan dan strategi di atas kertas dapat diimplementasikan di lapangan, tanpa ada yang dirugikan.

 

 

*Suriani Mappong. Jurnalis LKBN Antara Sulawesi Selatan.

Tulisan ini merupakan seri liputan Rammang-rammang yang didukung   Mongabay Indonesia

Exit mobile version