Mongabay.co.id

Tutupan Hutan TNGL Berkurang Akibat Perambahan dan Alih Fungsi Kawasan

Tampak kondisi TNGL yang rusak akibat perambahan di wilayah Aceh Tenggara, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Luas tutupan hutan di Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL] berkurang.

Data yang dirilis Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA] periode Juni 2020 hingga  Juli 2021 menunjukkan, tutupan hutan TNGL di wilayah Aceh berkurang sekitar 666 hektar.

“Hilangnya tutupan hutan umumnya karena pembalakan liar, perambahan, dan alih fungsi kawasan,” jelas Manager Geographic Information System [GIS] HAkA, Lukmanul Hakim, awal April 2022.

Hasil perhitungan HAKA, pada 2016 luas tutupan hutan TNGL yang hilang mencapai 460 hektar. Berikutnya, pada 2017 naik menjadi 624 hektar, lalu pada 2018, TNGL kehilangan tutupan hutan mencapai 807 hektar.

Peta GIS yang diolah HAkA hingga Desember 2019 menunjukkan, total tutupan hutan TNGL yang hilang mencapai 34.277 hektar.

Data tersebut merupakan hasil interpretasi citra satelit yang kemudian dianalisis tim HAkA dengan batas Taman Nasional Gunung Leuser.

Baca: Peta Ungkap Tutupan Hutan TN Gunung Leuser di Aceh Terus Berkurang

 

Tampak kondisi TNGL yang rusak akibat perambahan di wilayah Aceh Tenggara, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Umumnya, perambahan mudah terlihat karena lokasinya yang tidak jauh dari jalan dan sungai.

Rasyidin, warga Kecamatan Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, mengatakan kawasan TNGL yang berada di Gayo Lues, tak luput dari perambahan, terutama di Kecamatan Putri Betung.

“Putri Betung terletak di dalam kawasan TNGL. Permukiman ini muncul karena kurang ketatnya patroli,” ungkapnya.

Rasyidin mengatakan, awalnya di Kecamatan Putri Betung hanya beberapa keluarga yang tinggal untuk berkebun. Namun, berkembang menjadi satu kecamatan dengan sembilan desa:  Gumpang, Gumpang Lempuh, Kute Lengat Sepakat, Marpunge, Meloak Sepakat, Putri Betung, Ramung Musara, Singah Mulo, dan Desa Uning Pune.

“Akhirnya terjadi perambahan untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan,” ujar ayah tiga anak ini.

Perambahan TNGL juga terjadi di Kabupaten Aceh Tenggara, terutama di kawasan Desa Serakut, Kecamatan Leuser, untuk dijadikan kebun jagung. Permukiman masyarakat dengan TNGL hanya dipisahkan oleh batas alam yaitu, Sungai Alas-Singkil, sungai terbesar dan terpanjang di Aceh.

“Kami sudah cukup lama membuka kebun, tidak pernah ada yang melarang. Kalau kebun kami masuk taman nasional, pasti dilarang sejak awal,” ungkap Kardi, masyarakat di Kecamatan Leuser.

Baca: Pembalakan Liar di TNGL Memang Nyata

 

Kayu yang ditebang di hutan TNGL. Perambahan dan pembalakan liar merupakan ancaman utama kelestarian TNGL. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kebutuhan lahan

Munar Muhardian, mahasiswa Program Studi Magister Konservasi Sumberdaya Lahan, Pascasarjana Universitas Syiah Kuala [2021], dalam tesisnya “Analisis Kebutuhan Lahan di Wilayah Enclave Taman Nasional Gunung Leuser Kabupaten Gayo Lues, Studi Kasus Kecamatan Putri Betung” menjelaskan kawasan budidaya di wilayah enclave atau di Kecamatan Putri Beutong sudah tidak cukup. Akibatnya, terjadi perambahan di TNGL seluas 4.776,97 hektar.

“Tekanan penduduk terhadap lahan pertanian di Kecamatan Putri Betung menunjukkan, kebutuhan lahan untuk hidup dalam 20 tahun mendatang mencapai 6.117,15 hektar,” jelasnya.

Kecamatan Putri Betung, seluruhnya berada dalam kawasan TNGL, sehingga pemerintah mengalokasikan kawasan budidaya yang jumlahnya mencapai 2.772,91 hektar dengan SK Nomor: 103 tahun 2015, yaitu enclave Gumpang seluas 1.795,99 hektar dan enclave Marpunge seluas 976,92 hektar.

“Jumlah masyarakat yang terus bertambah, menyebabkan kebutuhan lahan juga bertambah. Sementera, wilayah enclave sudah tidak mampu menampung jumlah penduduk,” ungkapnya.

Solusi yang bisa dilakukan pemerintah, menurut Munar, adalah sebagian masyarakat di kecamatan dialihkan mata pencahariannya, dari pertanian dan perkebunan ke ekonomi kreatif. Pilihan lainnya adalah memindahkan mereka ke kecamatan lain seperti Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues.

“Jika masyarakat bertambah, kebutuhan lahan juga meningkat dan sasaran lahan yang mereka rambah adalah kawasan TNGL,” jelasnya.

Baca: Hutan Leuser Rusak Akibat Perambahan dan Pembalakan Liar

 

Ancaman pembukaan lahan di wilayah TNGL untuk dijadikan kebun jagung memang ada. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Mongabay memberitakan, upaya penegakkan hukum oleh tim BBTNGL terhadap pelaku illegal logging di Kabupaten Aceh Tamiang, telah dilakukan akhir September 2021.

Saat itu, tim monitoring menangkap enam pelaku, yaitu dua warga Kecamatan Seruway, inisial AR [42] dan seorang remaja [17]. Tim juga menangkap empat pelaku, yaitu MR [38] warga Kampung Bukit, serta M [53], AGR [19], dan F [20] yang merupakan warga Desa Tenggulung. Semua pelaku merupakan warga Kabupaten Aceh Tamiang.

Namun, upaya penegakkan hukum gagal setelah puluhan masyarakat mengamuk dan menyerang petugas BBTNGL, serta merusak kendaraan bermotor. Mereka meminta pelaku dibebaskan, barang bukti berupa kayu yang telah dibelah juga diambil paksa.

Baca juga: Akankah Tiga Taman Nasional Situs Warisan Dunia Ini Keluar dari Status Bahaya?

 

Penutupan jalan liar yang berada di batas Taman Nasional Gunung Leuser dilakukan, sehingga akses para pelaku kejahatan dapat diminimalisir. Foto: Forum Konservasi Leuser

 

Secara administrasi, TNGL berada di dua provinsi, yaitu Aceh [meliputi Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, serta Gayo Lues] dan Sumatera Utara [meliputi Kabupaten Langkat dan Karo].

Luas TNGL adalah 830.268,95 hektar, di Aceh sekitar 624.913,81 ha [75,27%] dan di Sumatera Utara sekitar 205.355,14 ha [24,73%]. Angka tersebut mengacu Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 6589/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 28 Oktober 2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Sebagian Taman Nasional Gunung Leuser Provinsi Aceh serta Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.4039/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 28 Mei 2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Sebagian Taman Nasional Gunung Leuser di Provinsi Sumatera Utara.

Pembalakan liar, perambahan, serta perburuan merupakan masalah utama yang masih terjadi di taman nasional yang terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera tersebut.

 

 

Exit mobile version