- Berdasaran data Yayasan Hutan dan Lingkungan Aceh, hingga akhir tahun 2018 telah terjadi pengurangan tutupan hutan di TN Gunung Leuser hingga 33.702 hektar.
- Di Kabupaten Aceh Tenggara kerusakan taman nasional terjadi hampir di semua kecamatan yang berbatasan langsung dengan hutan konservasi, seperti Kecamatan Leuser, Babul Rahmah, Lawe Alas, Tanah Alas, dan Ketambe. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Aceh Selatan dan Gayo Lues.
- Selain menimbulkan bencana air bandang, kerusakan TNGL pun mengganggu kegiatan sektor wisata. Sebagian besar wisatawan yang datang mengaku kecewa dengan kondisi hutan yang telah gundul.
- Pihak otoritas BBTNGL menyebut untuk menekan perambahan, dilakukan program hutan kemitraan. Namun, konsep ini hanya berlaku untuk lokasi yang telah dirambah lama, bukan yang baru.
Tutupan hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terus berkurang, penyebabnya, selain illegal logging, juga karena perambahan untuk lahan perkebunan. Hampir semua perambahan kawasan di hutan konservasi warisan dunia itu terjadi berdekatan dengan permukiman.
Data peta Geographic Information System (GIS) yang diolah oleh Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA) menyebut, hingga bulan Desember 2018, dari total 625.115 hektar luas TNGL di Provinsi Aceh, hingga Desember 2018 tutupan hutan hanya 591.413 hektar, atau telah terjadi pengurangan tutupan hutan hingga 33.702 hektar.
Setiap tahun, kehilangan tutupan hutan di TNGL akibat perambahan dan berbagai kegiatan ilegal lainnya terus meningkat. Hasil perhitungan HAKA, pada tahun 2016 luas tutupan hutan TNGL yang hilang mencapai 460 hektar, pada tahun 2017 naik menjadi 624 hektar, lalu pada tahun 2018, TNGL kehilangan tutupan hutan mencapai 807 hektar.
Di Kabupaten Gayo Lues, kerusakan TNGL terparah terjadi di Kecamatan Putri Beutong, dimana pemukiman penduduk berbatasan langsung dengan taman nasional.
Sedangkan di Kabupaten Aceh Tenggara kerusakan taman nasional terjadi hampir di semua kecamatan yang berbatasan langsung dengan hutan konservasi, seperti Kecamatan Leuser, Babul Rahmah, Lawe Alas, Tanah Alas, dan Ketambe. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Aceh Selatan.
Pembiaran oleh Aparat?
Sejumlah masyarakat di Aceh Tenggara dan Gayo Lues menyebut, perambahan TNGL terjadi secara terang-terangan karena staf TNGL tidak bekerja dengan baik dan terkesan membiarkan pengrusakan warisan dunia itu terjadi.
“Mereka tahu ada perambahan di TNGL, tapi mereka tidak berupaya cegah. Akibatnya masyarakat semakin berani melakukan perambahan,” sebut Usman, salah seorang warga Putri Beutong, Gayo Lues, (18/01).
Menurut Usman, pembiaran yang dilakukan oleh staf BBTNGL berdampak buruk pada kepercayaan masyarakat pemerintah dalam mengelola hutan, khususnya hutan yang masuk dalam kawasan Taman Nasional.
“Coba lihat, perambahan taman nasional terjadi dimana-mana. Apa pernah datang orang TNGL melarang? Kalau dibiarkan, masyarakat pasti akan tambah bandel. Satu orang buka hutan untuk kebun tidak ditangkap, yang lain pasti ikut,” ungkapnya.
Mulyadi warga Kecamatan Babul Rahmah, Aceh Tenggara menyebut hal serupa. Saat masyarakat membuka hutan untuk kebun, -termasuk kebun kelapa sawit, petugas BBTNGL seolah tak tampak.
“Mereka baru sibuk penegakkan hukum dan penertiban kalau tanaman warga sudah hampir panen, atau tanamannya sudah besar. Orang ditangkap dan kebun dimusnahkan, ya pasti masyarakat jadi marah, karena mereka sudah capek urus kebun.”
Dia menunjuk, perambahan di TNGL terjadi terang-terangan dan kasat mata, bahkan didekat jalan nasional seperti terlihat di Kecamatan Putri Beutong.
Safran, masyarakat Kecamatan Lawe Alas, Aceh Tenggara juga mengakui hal yang sama. Menurutnya, kegiatan illegal dalam TNGL bukan hanya perambahan, tapi juga illegal logging dan perburuan satwa liar seperti burung dan mamalia yang terjadi secara sistematis.
“Hanya sesekali petugas BBTNGL patroli atau lakukan operasi penangkapan. Padahal illegal logging itu bukan hanya libatkan warga Aceh Tenggara, tapi juga dari luar seperti dari Sumatera Utara.”
Kerusakan hutan TNGL di Aceh Tenggara dan Gayo Lues pun tak urung mengundang bencana. Banjir bandang telah berkali-kali menghantam sejumlah kecamatan di Aceh Tenggara dan Gayo Lues.
“Banjir bandang yang membawa bongkahan kayu bekas illegal logging adalah bukti hutan TNGL telah rusak,” lanjutnya
Selain dampak langsung bencana, kerusakan dan kegiatan ilegal yang terjadi di TNGL pun mengganggu kegiatan sektor wisata. Sebagian besar wisatawan yang berkunjung kecewa dengan kondisi hutan hujan sumatera yang terus-menerus gundul itu.
“Kami banyak terima keluhan dari wisatawan, baik lokal maupun manca negara. Mereka bilang mereka kecewa lihat hutan Leuser rusak,” sebut Romi, seorang pelaku ekowisata di Aceh Tenggara.
Romi dan sebagian masyarakat di Kecamatan Ketambe, Aceh Tenggara hidup dari menggantungkan diri dari wisata. Ada yang mengelola atau memiliki penginapan, ada juga yang bekerja sebagai pemandu wisata, hingga menjadi asisten penelitian.
“Ketika lihat hutan banyak yang rusak, bahkan ada yang minta uang mereka kembali. Mereka bilang, buat apa bayar mahal-mahal jika hutan tidak dijaga dari kerusakan.”
Romi menyebut, wisatawan yang berkunjung ke Leuser memang harus membayar biaya mahal dan beragam proses. Mulai dari izin Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (Simaksi), tiket masuk, hingga pemandu wisata.
Padahal, sebagai bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), TNGL memiliki potensi alam yang luarbiasa, bahkan dapat disebut sebagai surganya keragaman hayati. Keunikan Leuser telah menarik perhatian banyak peneliti dan wisatawan baik asing maupun lokal.
Wilayah ini merupakan habitat berbagai jenis mamalia, burung, reptil amphibi, ikan dan invertebrata. Ada 130 jenis mamalia dan primata. Seperempat total jumlah jenis mamalia di Indonesia ada di kawasan ini.
Program Hutan Kemitraan
Saat dihubungi Adhi Nurul Hadi, Kepala Bidang Teknis Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) menyebut, pihaknya telah berusaha menekan perambahan dan kegiatan illegal logging di paru-paru dunia itu.
“Kita terus melakukan berbagai pendekatan dengan masyarakat sehingga hutan TNGL tidak lagi dirambah untuk dijadikan kebun baru,” katanya.
Dia bilang, saat ini dibeberapa lokasi TNGL juga telah dilakukan perhutanan sosial melalui konsep hutan kemitraan, merujuk pada hutan yang dikelola bersama-sama dengan masyarakat. Tapi konsep hutan kemitraan ini hanya berlaku untuk lokasi yang telah dirambah lama, bukan yang baru.
“Hutan TNGL yang telah rusak, sebagian dikembalikan fungsinya menjadi hutan. Sementara yang berdekatan dengan permukiman penduduk dikelola oleh masyarakat dengan cara menanam tanaman hutan yang bisa dimanfaatkan hasilnya selain kayu.”
Tanaman hutan itu sebutnya seperti jengkol, petai, durian, dan beberapa tanaman buah atau yang daunnya bisa dipanen masyarakat.
“Harapannya dengan kegiatan seperti ini, masyarakat tidak lagi buka lahan di dalam hutan TNGL.”
Adhi pun menampik jika BBTNGL disebut tak berbuat apa-apa. Jelasnya, dalam beberapa bulan ini Polisi Hutan BBTNGL rutin lakukan kegiatan patroli dan monitoring. Pelakunya pun diproses secara hukum yang berlaku.
“Jika ditemukan kegiatan ilegal dalam TNGL, tetap akan ditindak, dan barang bukti serta pelaku diserahkan kepada penegak hukum, baik diproses ke kepolisian maupun kepada Balai Penegakkan Hukum KLHK,” tutupnya.