Mongabay.co.id

Dulu Penambang, Kini Pelestari Terumbu Karang

 

Sore yang mendung di awal Februari, Muhdar membersihkan perahunya di pesisir Menanga Baris, Desa Gunung Malang, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dari tempatnya berdiri terlihat kapal ferry yang sedang melepas jangkar di sekitar perairan Labuhan Kayangan. Anak-anak bermain, sementara para perempuan duduk bergosip. Beberapa nelayan lainnya memperbaiki jaring.

Otot-otot di tangan Muhdar menjadi bukti dia pekerja keras. Wajahnya terlihat tegas dengan kulit terpanggang matahari. Selama setahun terakhir ini Muhdar lebih banyak mencari ikan, ketimbang membawa tamu wisatawan. Muhdar adalah satu diantara puluhan nelayan di pesisir timur Lombok yang menyambi jadi pembawa wisatawan. Dia membawa wisatawan keliling di sekitar pesisir itu hingga ke kawasan Gili Petagan, Kondo, dan Bidara. Tapi sejak pandemi Covid-19 sangat sedikit tamu yang dia bawa.

Kegiatan membawa wisatawan ini sudah cukup lama dilakoni Muhdar, tepatnya sejak dia tobat menjadi pemburu terumbu karang. Muhdar adalah satu diantara puluhan warga di sepanjang pesisir Desa Gunung Malang hingga Desa Padak Guar, Kecamatan Sambelia yang dulunya berprofesi mencari terumbu karang. Dengan perahu kecil bermesin ketinting Muhdar membelah laut. Membawa linggis kecil, karung, dan ember. Mencari waktu tepat, biasanya pagi atau menjelang sore. Kadang juga malam hari. Mencegah terlihat petugas.

Di tahun 1990-an Desa Gunung Malang dan Desa Padak Guar memang dikenal sebagai lokasi pembuatan kapur untuk melapisi tembok sebelum dicat. Bahan pembuatan kapur itu dari terumbu karang. Bukan terumbu karang mati. Tapi terumbu karang yang masih hidup.

Saya pernah ke kawasan ini tahun 2007 dan 2008, menyaksikan proses pembuatan kapur dari terumbu karang. Di kampung-kampung berdiri bangunan untuk pembuatan kapur. Setiap hari asap mengepul dari proses pembakarang terumbu karang. Di satu halaman rumah tumpukan terumbu karang bisa seukuran bangunan rumah type 21. Di halaman rumah lain, tumpukan terumbu karang bisa memenuhi fuso. Kondisi ini berlangsung bertahun-tahun. Muhdar adalah salah satu saksi, dan pelakunya.

“Setiap hari kami turun cari karang ,’’ kata Muhdar mengingat masa-masa itu.

baca : Ketika Pemutihan Karang Terjadi Lagi di Lombok

 

Tungku pembakaran terumbu karang untuk bahan kapur tembok di Desa Gunung Malang, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, NTB. Keberadaan tungku ini menjadi bukti ekploitasi terumbu karang. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Satu kali turun Muhdar bisa membawa pulang 4 karung terumbu karang. Jika mencari lebih jauh, bisa mendapatkan lebih banyak. Apalagi jika berani di sekitar Gili Petagan, Gili Kondo, Gili Bidara bisa dapat lebih banyak lagi. Di sekitar Gili Kapal juga menjadi lokasi favorit, asalkan bisa mencari waktu yang tepat. Pada tahun 2000-an mulai dilakukan sosialisasi dan operasi dari petugas. Sudah mulai dilarang mengambil terumbu karang. Tapi masyarkat bergeming. Kebutuhan perut menjadi faktor utama. Masyarakat tidak takut petugas. Apalagi jumlah mereka banyak. Jika ada Satpol PP mau melakukan razia mereka kompak akan menghalangi.

“Dulu di gili-gili itu kami ambil karang. Lebih banyak dulu karang ketimbang yang sekarang,’’ katanya.

Pencari terumbu karang lainnya Amaq Rusdi pun memiliki kisah yang sama dengan Muhdar. Dia mencari terumbu karang sejak masih sangat muda, hingga berkeluarga. Dia lupa berapa tahun melakoni usaha itu. Dia mencari terumbu karang tiga sampai empat kali seminggu. Mengambil terumbu karang di sekitar perairan Selat Alas. Saat itu masyarakat berani karena penegakan hukum masih rendah. Selain itu petugas juga terbatas. Mereka juga tahu jadwal petugas mau melakukan operasi. Sangat jarang ada yang tertangkap. Kalau pun ditahu mengambil terumbu karang biasanya hanya diingatkan.

Tapi lama kelamaan pemerintah mulai menggencarkan aksi. Selain rutin sosialiasi, pemerintah mulai menyasar para pembeli kapur dari bahan terumbu karang. Mulai menyasar ke para pembuat kapur. Masyarakat yang mengambil terumbu karang adalah posisi paling bawah. Di atas mereka ada pengepul, ada pemilik usaha pembuatan kapur, dan toko pembeli. Pemerintah mulai menyasar semua rantai itu. Ada penolakan keras. Terutama dari masyarakat yang mengambil terumbu karang.

“Sampai dikasi sapi untuk berhenti ambil karang,’’ kata Muhdar.

Semakin lama ruang gerak semakin sempit. Penegakan hukum mulai dilakukan. Satu persatu tidak ada lagi toko bangunan yang berani menampung kapur dari terumbu karang. Pemilik usaha pembuatan kapur mulai menutup usaha. Para pencari terumbu karang pun perlahan berhenti.

“Saya jadi buruh bangunan saat banyak razia itu,’’ kenang Amaq Rusdi.

baca juga : Terumbu Karang Seluas Setengah Lapangan Bola Rusak Akibat Kapal Kandas

 

Burung-burung terbang di atas mangrove Gili Petagan, Desa Padak Guar, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur. Dulu pohon mangrove ditebang untuk bahan kayu bakar. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Pariwisata Membuka Mata

Tahun 2000-an sebenarnya sudah ada aktivitas wisata di kawasan itu. Salah satu agen perjalanan membawa tamu liburan ke pulau-pulau kecil di kawasan itu. Pulau-pulau kecil (gili) itu berpasir putih dengan kekayaan terumbu karang yang berlimpah. Bahkan setelah bertahun-tahun dieksploitasi terumbu karang di kawasan yang dikenal dengan Petarando itu masih menjadi spot snorkeling terbaik di perairan Lombok.

Saat itu para pencari terumbu karang kadang bertemu dengan wisatawan, tapi mereka cuek saja. Belum ada terpikir jika pariwisata bisa menjadi alternatif pekerjaan. Pariwisata saat itu belum booming di Lombok, apalagi Lombok Timur. Kadang para pencari terumbu karang ini melihat aneh para wisatawan yang liburan ke pulau-pulau kecil itu. Hanya berenang dan berjemur.

Tapi keadan terbalik ketika seluruh kegiatan pengambilan terumbu karang dan produksi kapur berhenti. Sekitar tahun 2010 sudah berakhir. Pada saat bersamaan mulai ramai wisatawan lokal yang berkunjung ke pesisir Gunung Malang dan Padak Guar. Apalagi pada hari-hari libur. Awalnya beberapa wisatawan keliling naik perahu, lalu minta diantar ke pulau-pulau kecil. Seiring dengan mulai maraknya media sosial, kawasan ini terkenal, banyak postingan di media sosial. Semakin ramai wisatawan. Muhdar mengambil peluang itu.

“Kalau ingat masa-masa itu ya kami menyesal juga. Sekarang ini justru takut kalau karang rusak, wisatawan tidak betah,’’ kata Muhdar.

Kepala Desa Padak Guar Tarmizi bilang aktivitas pariwisata berkembang di pesisir Kecamatan Sambelia sejak tahun 2010. Sebelum itu masih ada aktivitas pengambilan terumbu karang untuk pembuatan kapur. Saat itu masyarakat belum berpikir pariwisata. Selain menangkap ikan, mengambil terumbu karang adalah aktivitas lainnya.

“Ya termasuk orang tua kami juga dulu ambil karang,’’ katanya.

baca juga : Pemulihan Terumbu Karang di Tengah Pandemi COVID-19

 

Meja besi yang ditumbuhi terumbung karang hasil transplantasi di Gili Bidara. Selama bertahun-tahun dieksploitasi untuk pembuatan kapur, kondisi terumbu karang di kawasan ini rusak. Butuh 10 tahun lebih untuk merehabilitasi. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Saat ini kawasan Petagan Bidara Kondo (Petarando) dikenal sebagai spot snorkeling favorit di Lombok Timur. Butuh waktu 10 tahun lebih kondisi di kawasan itu pulih. Selain itu masyarakat melalui Pokmaswas dan Pokdarwis gencar melakukan rehabilitasi terumbu karang dan hutan mangrove. Setiap tahun dilakukan penanam mangrove di Gili Petagan. Saat yang sama dilakukan transplantasi terumbu karang di sekitar Gili Kondo dan Gili Bidara. Kondisi saat ini memang belum seperti kondisi puluhan tahun silam. Tapi setidaknya saat ini tidak ada lagi kegiatan eksploitatif.

“Sekarang justru masyarakat menjaga,’’ katanya.

Hasil penelitian yang dilakukan Wawan Sudarmawan (20019) menyebutkan kondisi Gili Kondo terdapat serpihan atau pecahan karang (rubel ) sebanyak 5,90%, berpasir(sand) sebanyak 9,85% , berlumpur sebanyak 2,75 %. Hasil penelitian mahasiswa perikanan Univesitas Gunung Rinjani itu mengidentifikasi jenis terumbu karang Acropora digitata sebanyak 15,71%, jenis karang Acropora brancing sebanyak 4,19%.

Jenis terumbu karang Sisdes ratra sinderal sebanyak 3,19%, jenis karang Acropora donaei sebanyak 2%. Jenis karang Coral masive sebanyak 2,23%, jenis karang Acropora prostratra sebanyak 0,3%. Jenis karang Acropora humilis sebanyak 2,8% , jenis karang Acropora munti culosa sebanyak 0,6%.

Jenis karang Coepitose sebanyak 1,72%, jenis karang Corembose sebanyak 2,16%. Jenis karang Hibno poroid sebanyak 0,60%, kemudian jenis karang Coral brancing sebanyak 27,39%. Berdasarkan kondisi terumbu karang menunjukkan 63,14% ini berarti indikator kondisi terumbu karang dalam keadaan baik.

“Selain melakukan patroli rutin kami juga rutin melakukan rehabilitasi bersama komunitas,’’ kata Ketua Pokdarwis Petarando Herman.

baca juga :  Sisi Positif Wabah Corona Bagi Terumbu Karang Indonesia

 

Terumbu karang yang sehat di perairan Gili Petarando menjadi tembak berbiak ikan. Kawasan ini adalah salah satu spot terbaik untuk snorkeling dan diving. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Pendampingan di Padak Guar dilakukan oleh NGO dan pemerintah. Selain sosialisasi secara terus menerus, peningkatan kapasitas kelompok dalam mengelola sumber daya alam juga menjadi motivasi menjaga kawasan. Setiap tahun semakin banyak nelayan, termasuk mantan pencari terumbu karang membuka usaha wisata. Ada yang berjualan di beberapa lokasi yang ramai dikunjungi wisatawan lokal, ada juga yang membuka usaha perjalanan wisata. Menyediakan perahu wisata lengkap dengan perlengkapan snorkeling.

“Kawasan ini spot terbaik untuk diving, ada belasan titik,’’ kata Herman yang pernah menyelam hampir di semua lokasi penyelaman di Pulau Lombok.

Herman bilang pariwisata adalah penyelamat kawasan perairan Gili Petarando. Walaupun aktivitas pengambilan terumbu karang berhenti, destructive fishing menjadi tantangan. Pengeboman, penangkapkan ikan berlebih, penggunan potas, maupun pengambilan kayu di hutan mangrove menjadi tantangan. Tapi sejak ramai wisatawan, semua pihak menjaga kawasan itu. Selain itu dengan ramainya aktivitas wisata, banyak yang memantau tindakan pelanggaran.

“Sejak pariwisata banyak program pemerintah daerah dan pusat di sini,’’ katanya.

 

Perahu yang membawa wisatawan sandar di Gili Kondo. Dulunya nelayan yang membawa tamu ini adalah pelaku pengambilan terumbu karang untuk bahan kapur. Pariwisata membuka mata mereka bahwa terumbu karang lebih menghasilkan uang jika kondisinya bagus. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version