Mongabay.co.id

Bertanggung Jawab dalam Memanfaatkan Ruang Laut

 

Indonesia semakin fokus untuk menata dan mengelola kawasan konservasi di seluruh wilayah laut yang ada saat ini. Langkah tersebut dilakukan, karena kawasan konservasi sudah menjadi tulang punggung pada ekosistem laut dan pesisir yang berkontribusi pada kehidupan secara umum.

Keputusan untuk fokus melaksanakan konservasi di atas perairan laut, karena ada sumber daya kelautan dan perikanan yang harus dijaga dan dilestarikan. Untuk bisa mendapatkan hasil tersebut, diperlukan perawatan ekosistem yang ada di laut serta pesisir dengan komitmen kuat.

Salah satu contoh fokus tersebut saat ini sedang dijalankan di perairan laut yang secara administrasi masuk ke dalam wilayah Provinsi DKI Jakarta. Ibu Kota Negara (IKN) tersebut menjadi satu-satunya di dunia yang memiliki 113 pulau.

Asisten Deputi Pengelolaan Ruang Laut dan Pesisir Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Muh. Rasman Manafi mengatakan, untuk bisa memaksimalkan peran kawasan konservasi laut, Pemerintah akan melaksanakan integrasi penataan ruang darat dan laut.

Upaya tersebut dilaksanakan di DKI Jakarta melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Rencana integrasi tersebut diharapkan bisa mewujudkan penataan ruang darat dan laut untuk pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang berkelanjutan.

baca : Ini Target Pemerintah Selesaikan Rencana Zonasi Pemanfaatan Ruang Laut Indonesia

 

Pemandangan udara dari dermaga kapal peti kemas di pelabuhan industri Tanjung Priok, Jakarta. Foto : shutterstock

 

Perlunya melakukan pengelolaan kawasan konservasi laut, karena itu sudah mennadi tolok ukur keberlanjutan pemanfaatan sebuah kawasan pesisir dan laut. Dengan demikian, itu akan memberi jaminan keberlanjutan sumber daya alam dan jasa di laut dan pesisir.

“Kalau tidak kita jaga itu akan memberikan dampak negatif paling utama sangat dekat pencemaran,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.

Menurut dia, kehadiran kawasan konservasi laut bisa menjadi wadah kolaborasi antar pihak dan diterapkan melalui kerja sama pengelolaan bersama. Skemanya, bisa melalui monitoring sumber daya penting kawasan yang menjadi target konservasi, pemberdayaan masyarakat, dan pemanfaatan.

Bentuk kerja sama tersebut akan menjadi penyambung dari kegiatan yang sudah direncanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pengelolaan kawasan konservasi di Taman Nasional Kepulauan Seribu.

“Kalau ini bisa dilaksanakan, upaya kita untuk merealisasikan laut kita sehat akan terwujud,” tutur dia.

Sebagai provinsi yang memiliki banyak keunggulan di Indonesia, DKI Jakarta juga sudah membuat rencana untuk memasukkan indeks kesehatan laut Indonesia (IKLI) ke dalam rencana strategis (Renstra) mereka. Langkah tersebut patut untuk diapresiasi oleh banyak pihak.

DKI Jakarta memasukkan IKLI ke dalam renstra dengan merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia Tahun 2021-2025. Tujuannya, agar keberlanjutan pengelolaan laut bisa terus berlangsung dengan baik.

baca juga : Kawasan Konservasi Perairan, Kunci Pengelolaan Ekosistem Laut dan Pesisir

 

Perjalanan menuju Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Bagi Muh. Rasman Manafi, apa yang dilakukan DKI Jakarta akan menjadi tonggak bersejarah untuk inisiatif upaya pengelolaan kawasan konsercasi dan laut berkelanjutan. Langkah tersebut seharusnya bisa diikuti lebih jauh lagi di tingkat nasional.

Dia mendorong provinsi lain untuk bisa mengikuti jejak DKI Jakarta karena akan berdampak positif untuk pengelolaan ekosistem laut dan pesisir. Tetapi, dia menilai bahwa pergeraka percepatan pengukuran melalui IKLI tersebut akan sangat bergantung pada komitmen kepala daerah dan organisasi di bawahnya.

Sebelum DKI Jakarta, langkah serupa sudah dilakukan oleh Bali dan itu menjadi capaian strategis bagi provinsi. Terutama, karena penerapan IKLI menegaskan bahwa provinsi sudah memiliki indikator rencana ruang dan kebijakan lautnya.

Dengan menerapkan IKLI untuk mengukur indikator kesehatan laut, DKI Jakarta juga dinilai sudah berada di jalur yang tepat. Terlebih, karena provinsi tersebut memiliki potensi ekonomi biru yang tak kalah besar seperti halnya potensi yang ada di seluruh Indonesia.

Namun, terpenting adalah bagaimana DKI Jakarta bisa tetap menyeimbangkan kegiatan pemanfaatan ruang laut dengan sangat baik, sehingga keberlanjutan pengelolaan ekosistem laut dan pesisir bisa tercapai pada waktu yang sama.

“Jika tidak bisa mengendalikan kegiatan pemanfaatan, maka visi untuk mewujudkan blue economy juga tidak bisa tercapai,” tegas dia.

perlu dibaca : Seperti Apa Pemanfaatan Ruang Laut di Perairan Laut Nasional?

 

Senja di Pantai Perawan,Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dorongan Duplikasi

Secara keseluruhan, Muh. Rasman Hanafi menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh DKI Jakarta akan mendukung target luasan kawasan konservasi hingga mencapai 32,5 juta hektare (ha) pada 2030 mendatang.

Tetapi, dia mengingatkan bahwa perluasan kawasan konservasi tidak akan berarti apa-apa jika efektivitas pengelolaan tidak bisa dilakukan dengan baik. Itu berarti, capaian pengelolaan keberlanjutan akan sangat bergantung pada kemauan dan komitmen dari pemerintah daerah dan sumber daya manusia (SDM) yang terlibat.

“Inilah yang menjadi bekal untuk menjamin berlangsung kegiatan pemanfaatan. Jika kita tidak menjaga kawasan yang menjamin keberlanjutannya, maka akan ada zona-zona pemanfaatan yang mati atau bahkan berkurang,” pungkas dia.

Provinsi lain yang juga didorong untuk bisa melaksanakan pemanfaatan ruang laut dengan baik adalah Sulawesi Selatan (Sulsel). Kegiatan tersebut harus bisa maksimal, namun tetap memperhatikan kelestarian ekosistem laut dan pesisir, serta sumber daya kelautan dan perikanan.

Agar kegiatan pemanfaatan ruang laut di Sulsel menjadi tepat dan maksimal, maka seluruh pemangku kepentingan harus memiliki kesadaran akan pentingnya Kegiatan Perizinan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).

Kepala Balai Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar Getreda M. Hehanussa menjelaskan, KKPRL menjadi persyaratan dasar yang harus dimiliki pelaku kegiatan menetap di ruang laut.

Syarat tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Selain itu, pelaksanaan KKPRL juga diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut.

baca juga : Menata Pemanfaatan Ruang Laut untuk Keberkelanjutan Lingkungan

 

Kapal Pengawas Hiu 15 mengamankan 4 rumpon illegal milik nelayan Filipina di wilayah perairan utara Sulawesi Utara, sekitar 3 mil laut pada perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) pada Jumat (10/5/2019). Foto : PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan identifikasi titik indikatif yang dilakukan sampai maret 2022, diketahui terdapat 530 titik penggunaan ruang laut di wilayah Sulawesi. Di antaranya, untuk dermaga, jetty, keramba jaring apung (KJA), permukiman, pelabuhan, tambak, galangan kapal, penginapan, restoran, bangunan pelindung pantai, terminal khusus, dan reklamasi.

Terpisah, Direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Suharyanto mengatakan bahwa kegiatan ruang laut termasuk di dalamnya adalah reklamasi dan itu diatur diatur dalam PP 21/2021.

Selain itu, kegiatan reklamasi juga diatur dalam PP 43/2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah. Pada Pasal 18 disebutkan 2 jenis kegiatan reklamasi, yakni kegiatan yang telah berjalan sebelum adanya regulasi tata ruang dan kegiatan yang dilaksanakan setelah adanya regulasi tata ruang.

Dengan demikian, kegiatan pemanfaatan ruang laut, termasuk reklamasi yang telah dilaksanakan sebelum adanya regulasi tata ruang, tetap harus mengajukan Konfirmasi Kesesuaian Ruang Laut (KKRL) PKKPRL. Karenanya, pelaku usaha wajib segera mengajukan permohonan PKKPRL.

“Ada sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada siapapun yang memanfaatkan ruang laut tetapi tidak memiliki PKKPRL/KKPRL,” tegasnya.

Untuk memulai dan melakukan kegiatan usaha, pelaku usaha wajib memenuhi persyaratan dasar Perizinan Berusaha; dan/atau Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Persyaratan dasar Perizinan Berusaha meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi.

“Menurut UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja, Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Laut digunakan untuk mendapatkan persetujuan lingkungan sebagai dasar Perizinan Berusaha Berbasis Risiko,” pungkasnya.

baca juga : Pengelolaan Ruang Laut Bergantung pada Neraca Sumber daya Laut

 

Aksi nelayan dari Pulau Kodingareng Makassar melakukan aksi penghadangan kapal Boskalis di laut perairan Spermonde, Sulawesi Selatan. Foto: Walhi Sulsel

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada kesempatan berbeda juga menyebut bahwa PKKPRL menjadi prasyarat yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin memanfaatkan ruang laut. Termasuk, untuk kegiatan pariwisata.

Menurut dia, originalitas suatu kawasan laut menjadi sangat penting untuk dipertahankan dan karenanya harus dilakukan tata kelola yang benar. Oleh karena itu, KKPRL menjadi persyaratan dasar yang harus dimiliki pelaku kegiatan menetap di ruang laut.

“Dengan instrumen tersebut, konflik pemanfaatan sumber daya, degradasi kualitas lingkungan, ketidakpastian lokasi investasi, ataupun konflik antar pemangku kepentingan dapat dengan mudah diatasi,” terang dia.

Untuk jangka panjang, kegiatan pariwisata yang berkelanjutan harus lebih diutamakan. Sementara, kegiatan pariwisata yang hanya mengejar keramaian saja, harus dikurangi karena bisa merusak originalitas dan keindahan wilayah destinasi wisata.

 

Exit mobile version