Mongabay.co.id

Darurat Mikroplastik di Sungai Jawa, Aktivis Lingkungan Somasi Para Gubernur

 

Tingkat kerusakan dan pencemaran sungai di Pulau Jawa makin parah, bahkan dalam kategori sakit atau sudah darurat. Sementara dalam penanganannya, Pemerintah dianggap gagal dalam menjaga kebersihan dan kelestarian sungai.

Hal ini yang mendasari sejumlah kelompok pemerhati lingkungan mengajukan gugatan terhadap Gubernur di Pulau Jawa, diantaranya yaitu Gubernur Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Direktur Eksekutif Enviromental Conservation Organization (Ecoton), Prigi Arisandi dalam telekonferensi pers di Jakarta, Selasa (14/04/2022), menganggap, para gubernur ini lalai dan membiarkan sungai-sungai penting di Pulau Jawa menjadi tercemar dan rusak. Sungai-sungai besar yang dimaksud itu adalah sungai Brantas, Bengawan Solo, Citarum dan Ciliwung.

Menurut Prigi, selain lalai pemerintah juga tidak bisa mengelola sampah di darat dengan baik. Selain itu, industri-industri dibiarkan membuang limbah mereka tanpa diolah.

Dalam risetnya di lapangan, Prigi menyebut, bahkan kondisi empat sungai besar di Pulau Jawa saat ini sudah tercemar sampah mikroplastik yang bisa membahayakan makluk hidup, karena telah masuk ke dalam rantai makanan.

“Selain limbah domestik, industri-industri juga turut menyumbang mikroplastik di sungai. Untuk itu, kita merasa untuk melakukan litigasi atau menggugat para Gubernur di Jawa,” kata Prigi, sapaan akrabnya.

baca : Sungai Masih jadi Tempat Buang Sampah Plastik, Belajar dari Pengelolaan di Australia

 

Prigi Arisandi dari Ecoton saat mengambil sampel mikroplastik di Sungai Ciliwung di kawasan kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, Rabu (13/04/2022). Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sumber mikroplastik di sungai tersebut, kata dia, bermula dari limbah pabrik tekstil dan pabrik daur ulang kertas. Jika di beberapa titik bantaran Sungai Berantas ada pabrik gula dan kertas, di Bengawan Solo ada pabrik kain tekstil.

Sedangkan di Citarium ada Majalaya yang mempunyai 500 industri dengan produk-produk ekspor, sedangkan sisa limbahnya dialirkan ke dalam sungai.

Padahal keberadaan sungai-sungai tersebut selain dijadikan bahan baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) juga digunakan sebagai sumber irigasi bagi kawasan pertanian yang menyuplai lebih dari 50 persen stok pangan nasional, sehingga ada ancaman yang serius terhadap kesehatan masyarakat.

 

Mikroplastik di Tubuh Ikan

Selama ekspedisi Prigi selalu menemukan berbagai macam timbulan sampah di sungai-sungai besar di Pulau Jawa. Selain sampah kemasan sachet berbagai produk, tas kresek, stereofoam, sedotan, botol juga menemukan popok. Bahkan kerapkali juga menjumpai kasur di sungai.

Setelah diteliti, ada kandungan mikroplastik dari 20-120 per 100 liter air. Sedangkan mikroplastik adalah plastik berukuran kecil sekitar 5 milimeter. Jenisnya beragam. Ada fiber, foam, fragmen, dan filamen. Sementara yang banyak ditemukan di sungai Pulau Jawa yaitu fiber. Yang kedua adalah jenis filamen dan fragmen.

“Kita menemukan 75 persen di perairan kita itu mengandung mikroplastik, sisanya adalah plankton. Artinya kemudian ada kekhawatiran ikan yang ada di sungai-sungai ini juga mengandung mikroplastik,” katanya.

Berdasarkan riset Ecoton di sungai Bengawan Solo ditemukan hasil kelimpahan rata-rata mikroplastik pada ikan sebesar 20 partikel per ikan, di sungai Brantas 42 partikel per ikan, 68 partikel per ikan di Sungai Citarium, dan di Kepulauan Seribu terdapat 167 partikel per ikan.

baca juga : Siasat Sungai Watch Menghadang Sampah 

 

Pencemaran sungai tersebut berasal dari limbah domestik atau pemukiman sebesar 72,7 persen. Kemudian 17,3 persen limbah perkantoran, dan 9,9 persen itu limbah industri. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Ada kekhawatiran karena banyaknya jumlah partikel di lambung ikan ini, sebab setiap mikroplastik itu mengandung bahan beracun aditif plasticier yang bersifat pengganggu hormon atau endocrine distrupting chemical (EDC)

Selain itu, mikroplastik juga akan mengikat polutan-polutan dan patogen yang ada dalam media air yang bisa terserap ke dalam tubuh ikan yang menelannya. Mikroplastik tidak hanya ditemukan di tubuh ikan, melainkan juga manusia.

Hal itu berdasarkan 103 sampel yang diambil dari feses manusia yang tinggal di sekitar sungai Brantas, Bengawan Solo dan Citarum. Hasilnya, rata-rata ditemukan 17-20 partikel dalam 10 gram fases manusia.

“Kita juga mensyiarkan ke Indonesia, dalam mengelola sungai jangan mencontoh Pulau Jawa yang sudah gagal. Untuk itu, kami juga melakukan ekspedisi di 68 sungai nasional, kita akan melakukan deteksi kesehatan sungai menggunakan 14 parameter mikroplastik,” katanya. Selain itu juga melakukan dokumentasi kearifan lokal yang masih ada dalam mengelola sungai.

 

Tidak Punya Skema Besar

Masalah limbah dan sampah merupakan masalah yang komprehensif, termasuk juga masalah tingkat ekonomi diinternal rumah tangga, khususnya pemukiman yang ada di bantaran sungai. Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Suci Tanjung, menjelaskan kondisi sungai di DKI Jakarta masuk kategori tercemar pada tingkat sedang dan berat.

Hal itu berdasarkan data terakhir dari Dinas Lingkungan Hidup setempat yang melakukan uji coba 120 titik sungai, sementara di Kota Metropolitan sendiri terdapat 13 aliran sungai dan 4 kanal. Padahal data 2014 menunjukkan masih ada 1% bagian sungai yang masuk kategori pencemaran ringan. Artinya, ada peningkatan yang signifikan terhadap pencemaran sungai di Jakarta.

“Tercemarnya ditemukan Escherichia coli tinja, dan juga logam berat yang mengkontaminasi ikan-ikan. Apalagi konsumsi ikan sapu-sapu di Jakarta itu cukup tinggi, bahkan masuk di usaha pangan kecil,” katanya. Karena tercemar logam berat ini akhirnya masuk ke kondisi kesehatan manusia.

Pencemaran itu, lanjut Suci, berasal dari limbah domestik atau pemukiman sebesar 72,7%. Kemudian 17,3% limbah perkantoran, dan 9,9% itu limbah industri.

baca juga : Dimulai, Program Pengurangan Sampah di Laut dari Sungai. Seperti Apa?

 

Kondisi dasar sungai Brantas yang penuh sampah plastik di Sengguruh, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

DLH sendiri mengakui bahwa limbah cair yang dihasilkan oleh industri itu tidak terverifikasikan, sehingga Suci menduga angka limbah industri itu bisa lebih tinggi, apalagi jika dilihat pemanfaatan sungai-sungai oleh pelaku industri juga cukup besar.

Menariknya, di masa pandemic, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah melakukan penelitian di lapangan menemukan 16% sampah yang dihasilkan dari medis, seperti pakaian hazmat, masker, dan face shield.

Sementara, dalam mengatasi pencemaran sungai ini Pemerintah DKI Jakarta dinilai tidak mempunyai skema besar, sehingga dari tahun ke tahun kondisi sungai semakin memprihatinkan. Padahal jika 13 sungai itu bisa dikelola dengan baik seharusnya tidak terjadi krisis air seperti yang terjadi di beberapa kawasan di Jakarta Utara.

Untuk itu, perlu dibangun secara sinergis dalam mengatasi permasalahan sungai. Suci menilai, beberapa kebijakan-kebijakan yang sudah ada itu bagus, hanya saja tidak dibarengi dengan implementasi yang baik.

“Akhirnya kita perlu membangun pandangan-pandangan yang kritis terhadap pemerintah untuk mengawal kerja-kerjanya. Pemenuhan hak masyarakat untuk kualitas lingkungan hidup yang sehat harus dijamin oleh mereka,” tegas Suci.

 

Buruknya Tata Kelola

Buruknya tata kelola sampah tidak terlepas dari budaya kumpul-angkut-buang yang hingga sampai sekarang masih ada. Meski begitu, hampir satu dekade ini pengelolaanya dirasa lebih baik. Dari tahun 2016 sampai saat ini dari 514 Kota/Kabupaten 70 diantaranya sudah mempunyai aturan pelarangan kantong plastik sekali pakai.

Hanya dalam implementasinya memang perlu dibarengi dengan pembinaan dan penegaka hukum, sesuai dengan amanat Undang-Undang nomer 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

baca juga : Gerak Cepat Gubernur Khofifah Tangani Sampah Popok di Sungai Brantas, Seperti Apa?

 

Sungai Citarum bertabur sampah di Desa Belaeendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang terpantau beberapa waktu lalu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Rahyang Nusantara, Co-Coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyebut dalam pengelolaan sampah ini ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu pengurangan dan penanganan.

Menurutnya, jika bisa mencegah dari awal kebocoran sungai dari bahayanya sampah bisa dihindari. Selain mendorong pemerintah untuk menjalankan amanat undang-undang tersebut, warga juga bisa menolak wadah atau pun produk dari bahan plastik saat belanja.

Seharusnya, kata Rahyang, produsen juga harus turut bertanggung jawab terhadap sampah plastik yang dihasilkannya, karena banyak Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menjadi korban, alih-alih menggunakan plastik karena lebih hemat, namun kondisi UMKM menjadi tidak sehat.

“Karena adanya mikroplastik di sungai itu jangan sampai ada gerakan boikot ikan nila,” seloroh Rahiyang.

Ketika pengelolaan sampah itu digaungkan, justru pengurangan pada masing-masing dari warga yang harus diperbesar skalanya. Jangan hanya fokus pada daur ulang, karena proses daur ulang ini juga tidak aman dan menyehatkan. Apalagi sekarang ini malah bermunculan teknologi yang justru menimbulkan masalah baru. Ketika plastik dilelehkan juga ada mikroplastiknya.

menarik dibaca : Ketika Sungai Penuh Sampah Kini Jadi Taman Bermain

 

Sungai CIkapancilan yang merupakan anak Sungai CIliwung terus dibersihkan. Sungai bukan tempat sampah tapi sumber air bersih dan kehidupan. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Andaru Setyorini, pendiri Ecoton mengatakan, setidaknya ada lima aspek dalam pemulihan pencemaran dan perbaikan tata kelola sungai. Diantaranya yaitu instrumen hukum peraturan dan kebijakan pengelolaan sampah dan limbah. Berikutnya, kelembagaan formal dari tingkat desa hingga provinsi dalam pengelolaan dan penegakan aturan perlu dikuatkan.

Selain itu, perlu dibangun sarana prasarana pengelolaan sampah dan limbah yang mudah dan dioperasikan, efektif, efisien, rendah emisi dan ramah lingkungan.

Masyarakat dan komunitas peduli sungai juga perlu dilibatkan secara aktif. Hal yang krusial adalah mengalokasikan anggaran memadai untuk seluruh kebutuhan operasional biaya pengelolaan, edukasi, pengawasan dan penegakan hukum.

“Rencana terpadu ini yang masih belum ada, selain koordinasi yang lemah juga tata ruang seringkali tidak sesuai, di kawasan lindung bisa dialih fungsi. Bahkan kawasan yang rawan bencana diokupansi menjadi permukiman,” jelas Andaru.

Akhirnya, lanjutnya, anggaran negara seringkali habis untuk penanggulangan bencana, karena memang terkesan ada pembiaran lokasi-lokasi yang seharusnya tidak ada permukiman di bantaran sungai. Dia bilang, kelemahan dari pengelolaan sungai itu ada pada political will. Sehingga diperlukan leadership yang kuat dalam mereformasi kebijakan pengelolaan sungai, khusunya pengendalian pencemaran.

 

Exit mobile version