Mongabay.co.id

Pulau Pongok, Pulaunya Tanaman Obat

 

 

Baca sebelumnya: Potensi Laut Menjanjikan Pulau Pongok dan Wisata Bangkai Kapal Tua

**

 

Pulau Pongok bersama Pulau Celagen masuk wilayah Kecamatan Kepulauan Pongok, Kabupaten Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung. Luas keduanya, beserta perairan, sekitar 9.212,8 hektar. Pulau Pongok bukan hanya kaya lautnya tetapi juga daratannya. Terutama, sejumlah tanaman obat.

Masyarakat di Pulau Pongok, menetap di sejumlah dusun yaitu Dusun Pantai, Dusun Air Kruis, Dusun Laut, Dusun Air Sagu, Dusun Baru, Dusun Padang Bola, dan Dusun Padang Keladi.

“Di sini dikenal dukun kampung atau tabib, untuk mengobati penyakit dalam maupun luar serta sakit biasa atau karena kekuatan magis. Pasiennya juga dari luar pulau,” kata Rumiyah [56], dukun obat kampung di Desa Pongok, Senin [28/02/2022].

Sebelumnya, dari dapur rumahnya, Rumiyah membawa secangkir rebusan tanaman obat, serta kotak berisi beragam akar kayu.

Guna menjaga kesehatan, masyarakat Pulau Pongok terbiasa mengonsumsi tanaman yang dihasilkan dari hutan, kebun, atau yang dirawat di pekarangan rumah.

“Proses pembuatan obat itu dengan mengambil akar-akaran tanaman, kemudian dicincang, dicuci, lalu dijemur 3-4 hari sampai kering,” lanjutnya.

“Kami jarang ke puskesmas [Pusat Kesehatan Masyarakat] atau rumah sakit, karena kami menggunakan tanaman obat alami ini. Kalau pun ke puskesmas, jika tidak mempan, larinya ke dukun kampung,” kata Rumiyah.

Kemas [30], pegawai Puskesmas Desa Pongok menjelaskan, tanaman obat memang dianjurkan sebagai alternatif. “Masyarakat masih memanfaatkan sebagai salah satu alternatif pengobatan,” katanya, awal Maret 2021.

Pihaknya, jelas Kemas, juga mendorong masyarakat untuk menggalakkan TOGA [Tanaman Obat Keluarga]. “Sebagai inisiatif masyarakat menanam obat mandiri di pekarangan rumah dan puskesmas mendukung kegiatan ini.”

 

Buah mengkudu yang memiliki khasiat untuk kesehatan. Foto: Pixabay/Public Domain/Najibzamri

 

Tidak sembarang

Pengobatan tradisional yang menggunakan ramuan tanaman obat, tidak sembarang dilakukan.

“Saat pengobatan, dilarang makan kacang tanah, sayur nangka, sayur kol, dan jantung pisang. Dikhawatirkan terkena sesak napas,” kata Rumiyah.

Menurut dia, ada sejumlah tanaman obat yang terbukti keampuhannya. Sebut saja ilalang [Imperata cylindrical], keletak [Melastoma polyanthum], mengkudu [Morinda citrifolia], nangka [Artocarpus heterophyllus], pinang [Areca catechu], pelaik [Alstonia scholaris], katis [Carica], jeluk antu [Polyscias diversifolia lowry], akar kuning [Fibraurea tinctoria lour], dan kekempit [Clerodendrum sp.].

Rumiyah yang sudah 16 tahun menjadi dukun kampung, menjelaskan pengetahuan obat-obatan yang dimilikinya diajarkan orangtuanya. Sementara, orangtuanya belajar dari leluhurnya.

“Cari ke hutan atau kebun lalu diolah secara tradisional, itu bisa menyembuhkan,” ujarnya.

 

Tanaman mengkudu banyak ditemukan di kebun masyarakat Pulau Pongok. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tanaman obat

Ketika COVID-19 berkecamuk, masyarakat Pulau Pongok mengonsumsi obat tradisional, yang dapat menangkal atau meningkatkan daya tahan tubuh.

“Saya minum air rebusan ramuan tanaman obat. Begitu juga warga yang lain,” kata Rumiyah.

“COVID itu kan semacam demam. Masyarakat lebih mengonsumsi jahe [Zingiber officinale] dan kunyit [Curcuma longa]. Jahe dirajang kemudian direbus dan diminum. Sementara kunyit dihancurkan, direbus, lalu diminum,” kata Winda Lestari [24], warga Desa Pongok.

Saat menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi Palembang, Winda pernah meneliti tentang tanaman obat di kampungnya dengan judul “Etnobotani Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Desa Pongok Kecamatan Kepulauan Pongok Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Bangka Belitung”.

Dari penelitian tersebut, sekitar 98 persen masyarakat di Pulau Pongok mengetahui atau memahami tanaman obat tradisional.

“Pengobatan tradisional digunakan sejak dahulu, efektif sampai sekarang,” ujarnya.

Dijelaskan Winda, masyarakat Pulau Pongok menggunakan akar dari 26 tanaman. Yakni ambung-ambung [Scaevola Taccada], canar [Smilax barbata], ilalang [Imperata cylindrical], kelapa [Cocos nucifera], keletak [Melastoma polyanthum], mengkudu [Morinda citrifolia], Nangka [Artocarpus heterophyllus], Nusa indah putih [Mussaenda philippica A. Rich], mensirak [Ilex cymosa], pecah periuk [Ixora stricta], katis [Carica], pinang [Areca catechu].

Kemudian pelaik [Alstonia scholaris], jeripang ayam [Urena lobata], taik ayam [Lantana camara], tenem [Vatrica], terong asem [solanum ferox], cikmau [Dracaena sp.], jeluk antu [Polyscias diversifolia lowry], kemenen [Trensreomia sp], mengkunyet [Fibraurea tinctoria lour], mentulang [Prismatomeris glabra valento], tebes dalem [Psychotria sarmenttosoides valeton], ubat bau [Uvaria sp, Mer (Breynia racemosa mull. Arg)], dan kekempit [Clerodendrum sp.].

“Semuanya direbus bersamaan, menggunakan dua gelas air. Direbus hingga menjadi satu gelas, lalu diminum. Ramuan obat ini untuk berbagai penyakit, salah satunya keputihan [fluor albus],” kata Winda.

 

Permukiman masyarakat di Pulau Pongok. Foto: Nadya Syasri Aryani/Mongabay Indonesia

 

Dia menjelaskan, daun srikaya [Annona squamosa] yang dijarem [kompres] di kening, dapat menurunkan demam. Daun keramunting [Rhodomyrtus tomentosa] dapat menyembuhkan luka luar atau dalam dengan cara ditempel atau direbus [diminum].

“Kunyit [Curcuma domestica] yang dicairkan, untuk mengatasi flu dengan cara diteteskan ke hidung. Lalu, akar mengkudu [Morinda citrifolia] dapat mengatasi keputihan, pembengkakan di perut, dan melancarkan haid dengan cara direbus, kemudian diminum.”

Henri, peneliti biologi dari Universtas Bangka Belitung mengatakan, kearifan lokal masyarakat Pongok dalam memanfaatkan tanaman obat masih tinggi.

Namun, persebaran tanaman yang berkurang membuat ketersediaan bahan baku obat-obatan juga menipis.

“Tapi perlu kajian lebih lanjut terkait tanaman obat yang mulai sulit. Perlu pendalaman pengetahuan masyarakat juga untuk membudidayakanya,” katanya.

Rumiyah membenarkan bila saat ini mulai sulit mendapatkan tanaman obat di Pulau Pongok. “Misalnya tenem [vatrica], karena kebun sudah ditanami yang bukan tanaman obat. Kecuali yang sudah dibudidayakan di pekarangan.”

 

Gapura yang menunjukkan wilayah Desa Pongok di Pulau Pongok. Foto: Nadya Syasri Aryani/Mongabay Indonesia

 

Potensi

Adung Taupik Hidayat [52], Kepala Desa Pulau Pongok, mengatakan tanaman obat perlu  dilestarikan dengan membuat kebun khusus. Tujuannya, selain dapat digunakan masyarakat sekitar, juga sebagai pemasukan ekonomi bagi Desa Pongok.

“Tanaman obat ini masuk program desa. Hanya saja belum direalisasikan” katanya.

Potensi pemasaran obat-obatan dari Pulau Pongok, lanjut Rumiyah, cukup besar. Sebab dirinya juga menjual ke Malaysia.

“Selain itu, juga ke Jawa dan Kalimantan,” katanya.

Anak Rumiyah, Gina [31], saat ini membuka toko obat di Toboali, Ibu Kota Kabupaten Bangka Selatan. Obat yang dijual merupakan ramuan Rumiyah. Para pelanggan, kebanyakan pasien atau yang pernah berobat dengan dirinya. Sebagian besar dari luar Kepulauan Bangka Belitung.

Tapi, lanjutnya, tujuan menjual tanaman obat ini bukan mencari keuntungan semata. “Kami ingin membantu masyarakat. Bila ada yang berobat tetapi tidak punya uang, kami  tetap membantunya,” katanya.

 

Kapal bagan yang menepi di sekitar Pulau Pongok. Foto: Nadya Syasri Aryani/Mongabay Indonesia

 

Rumiyah berharap, hutan dan kebun di Pulau Pongok tetap terjaga. Tidak terusik oleh aktivitas tambang timah ilegal.

“Kalau hutan rusak, lahan habis, generasi selanjutnya tidak tahu apa-apa. Padahal ini tradisi yang harus dijaga, pengobatan alami yang merupakan bentuk kearifan lokal kami,” tegasnya.

 

* Ricky Kuswanda, mahasiswa Fakultas Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung. Mengikuti pelatihan jurnalisme lingkungan yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Universitas Bangka Belitung, 24-26 Januari 2022.

 

 

Exit mobile version