Mongabay.co.id

1001 Cerita Duka Masyarakat Pesisir

 

Pasirnya ditambang. Lautnya direklamasi dan tercemar. Mangrovenya dibabat. Warganya dikriminalisasi. Abrasi dan banjir rob menghantui sepanjang musim. Ikan tangkap kian sulit, ekonomi jadi terjepit. Krisis air bersih. Pemerintah seakan menutup mata kasus yang mengancam keselamatan warga dan lingkungan. Pemerintah lebih sering jadi pahlawan kesiangan setelah warga berupaya perbaikan dengan swadaya.

Andai dibukukan, itulah diantara beberapa persoalan di pesisir yang cocok jadi daftar isi buku berjudul “1001 Cerita Duka Masyarakat Pesisir” yang diceritakan Asmania, aktivis Perempuan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta dan Novika Inda aktivis Remis Bengkulu dalam diskusi virtual bertajuk ‘Krisis Iklim dan Penyelamatan Pesisir’ oleh Extinction Rebellion Indonesia, Selasa (22/3/2022) lalu.

Asmania mengatakan, Pulau Pari terdampak krisis iklim dan tercemar sampah kiriman, puncaknya di bulan April dan Mei. “Banjir rob melanda Pulau Pari dalam 10 tahun belakangan. Padahal sebelumnya tidak pernah terjadi. Air masuk ke rumah warga, khususnya di bagian barat. Air mandinya sudah asin. Pulau Pari kecil, tapi diperebutkan oleh korporasi. Luasnya hanya 42 hektar. Dengan jumlah penduduk 435 KK. Terdiri dari Satu RW 4 RT,” ungkapnya.

Selain bergantung pada hasil laut, masyarakat setempat juga kelola wisata untuk menambah pendapatan. Wisatawan diarahkan untuk tanam mangrove sebagai bentuk kepedulian pada lingkungan. Masyarakat setempat tanam mangrove untuk meminimalisir dampak krisis iklim. Termasuk di kawasan pantai Rengge, yang abrasinya cukup parah. Dia bilang, warga setempat mulai sadar dan mengurangi penggunaan plastik dan sudah ada petugas dari Suku Dinas Lingkungan Hidup (Sudin LH) untuk bersih-bersih di pantai.

baca : Siapa Pemilik Pulau Pari Sebenarnya?

 

Senja di Pantai Perawan,Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

“Jujur, saya bukan anti pemerintah. Tapi sejak awal kasus di Pulau Pari, saya lihat pemerintah seakan menutup mata. Kami berkebun untuk ketahanan pangan, meski tak ada sentuhan pemerintah. Ketika berhasil kelola pantai, tiba-tiba pemerintah dari Pokdarwis datang memuji dan minta kerjasama lengkap dengan saran ini itu, yang akhirnya minta untuk klaim keberhasilan itu bagian dari program mereka. Padahal, perempuan Pulau Pari sedari awal mengelola dengan swadaya,”

Perempuan setempat kelola hasil laut menjadi bakso ikan, kerupuk ikan. Juga mengolah rumput laut, tapi berhenti sejak adanya reklamasi resort. “Sebagian wilayah diklaim PT Bumi Raya Pari Asih. Sampai sekarang mereka belum bisa bikin apa-apa. Justru warga masih diadu domba dan jadi korban. PT Bumi Raya menggerakkan anak perusahaannya, mengkriminalisasi warga,”

Novika Inda, juga cerita persoalan di Pesisir Seluma, Bengkulu. Menurutnya, ombak di perairan setempat tak menentu. Tangkapan pun tidak stabil. Nelayan remis atau pigi sudah mulai resah. Dulu, remis besar saja yang diambil, sekarang yang kecil pun diambil saking terbatas. Dia menduga, ketidakstabilan pola tangkap itu karena krisis iklim dan akibat aktivitas tambang pasir.

“Pesisir Seluma terdampak aktivitas tambang pasir besi oleh PT Pamia yang bergejolak pada 2010. Meskipun dimenangkan oleh masyarakat, tetap ada korban. 6 orang ditangkap dengan tuduhan pengrusakan dan dipenjara selama 6 bulan. Kasus terbaru, menimpa ibu-ibu bergerak melawan menggantikan bapak-bapak sebagai antisipasi agar kejadian 2010 terulang. Tapi justru ibu-ibu itu jadi korban juga,”

baca juga : Bengkulu Makin Sering Dilanda Banjir, Mengapa?

 

Bengkulu harus siap menghadapi potensi bencana alam yang bisa terjadi di darat maupun laut. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Masyarakat pernah protes ke kabupaten dan provinsi. Tapi dari sekian tuntutan, sampai sekarang belum ada tanggapan. Termasuk resomasi. Ada beberapa yang direspon, misal pemerintah menghimbau PT. Faming Levto Bakti Abadi untuk menghentikan aktivitas pertambangan. Kenyataanya, aktivitas tetap jalan. Dia menilai fakta itu menunjukkan bahwa seakan-akan pemerintah dilangkahi.

Abrasi sudah lama terjadi. Kalau tambang pasir itu terus berjalan, tegasnya, warga semakin terancam. “Andai kata dampak abrasi alamiah bisa dirasakan 5 tahun, aktivitas pertambangan pasir dari perusahaan tersebut bisa mempercepat dampak dalam jangka 3 bahkan 1 tahun saja,”

Dia bilang, jarak hutan lindung tersedia untuk penahan abrasi tinggal 50 sampai 100 meter. Pada bulan 7 sampai 10, ombak naik sampai hutan lindung. Novika menduga, kemungkinan dari tahun 2022 ke 2035, jalan lintas pesisir setempat diperkirakan akan habis terkikis ombak.

Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur mengaitkan persoalan pesisir dengan UU Cipta Kerja yang merupakan wujud dari barbarnya politik neoliberal. Karena UU ini melepaskan tanggung jawab negara dalam konteks eksploitasi, terutama sumber daya alam. Contohnya, frasa perizinan diganti persetujuan, yakni dikembalikan ke mekanisme pasar. Maka tidak heran muncul kekerasan, kriminalisasi dan sebagainya. Dia menilai, secara tidak langsung, negara hanya sebagai pelaksana saja.

“UU Cipta Kerja menabrak UU No.32/2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau PPLH. UU Cipta Kerja No.11/2020 itu sudah cacat,” tegasnya.

baca juga : Nasib Nelayan Indonesia ditengah Jepitan Krisis Iklim dan Industri Ekstraktif

 

Kapal pengangkut pasir sedang menyemprotkan pasir untuk megaproyek reklamasi Gurindam 12 di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Foto : F Jailani/Batampos

 

Menurutnya, UU Cipta Kerja cukup manipulatif, tidak melibatkan partisipasi, dan tujuannya berbeda. UU PPLH cukup bagus tapi tidak diterapkan secara maksimal. Sedang UU Cipta Kerja, berseberangan dengan UU Minerba dan juga aturan lainnya.

“Semisal terjadi persoalan di laut, arahnya ke maritim. Misal jadi soal tambang arahnya ke SDM. Artinya, KLHK hanya disuruh urusi hutang. Itu pun nantinya bertabrakan dengan pertanian dan perkebunan. Artinya, ada problem birokrasi yang memang tidak jalan. Apalagi tata peraturan soal sinkronisasi aturan atau UU tidak jalan,”

Dia menilai, pengurangan wewenang pemerintah daerah dianggap menghambat pembuatan aturan. Ketika dampak buruk UU Cipta Kerja terjadi di daerah, maka pemerintah daerah beralasan bahwa kebijakan di pemerintah daerah berdasarkan keputusan pemerintah pusat.

“Adanya UU Cipta Kerja yang terkait, maka akan menambah ancaman dan keterancaman di pesisir. Dan kapasitasnya, tentu bicara daya dukung dan daya tampung. Sekarang keduanya mengalami penurunan. Ditambah ancaman dan keterancaman. Kampung pesisir bisa hilang seperti di Demak, Jakarta Utara. Berkurangnya kawasan mangrove di Nambangan, Surabaya. Terancamnya pulau kecil, terutama di Madura,”

Dalam hal ini, persoalan pesisir masuk dalam pepatah sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah terdampak krisis iklim masih juga terdampak aktivitas pertambangan, minyak lepas pantai belum lagi produksi hulu hilir minyak, yang menyebabkan tumpahan oli seperti kasus di Lampung dan Batubara di Masalembu.

baca juga : Nelayan Resahkan Kapal Pengangkut Batubara yang Kandas Mencemari di Perairan Masalembu

 

Kapal ponton Woodman 37 pengangkut batubara yang terdampar di Perairan Masalembu, Sumenep, Madura saat difoto pada Jum’at (18/3/2021) sore. Foto : Haerul Umam

 

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengatakan krisis iklim yang terjadi salah satu penyebabnya adalah aktivitas manusia. Krisis iklim sangat berdampak bagi pesisir dan pulau-pulau kecil. Ketika abrasi terjadi akibat pengambilan pasir, otomatis berpengaruh pada pola tangkap juga tempat tinggal mereka, dan hal ini menyeramkan.

Dia menyayangkan lahirnya aturan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang didalamnya seakan melegalkan tambang pasir “Di dalam PP No. 85/2021, seakan mengatur bahwa pasir boleh ditambang asal bayar pajak. Seolah aksi itu tidak merusak secara ekologi, dan pajak itu bagian dari kompensasi. Inilah situasi yang kita sebut sebagai frustasi ekonomi. Orang dipojokkan kemudian regulasi semakin kacau,”

Susan contohkan, penambangan pasir untuk pembangunan Makassar CPI di Kodingareng, Makassar. Kasus itu, membuat perempuan nelayan setempat tidak nyenyak tidur di malam hari. Baik takut suaminya hilang atau meninggal di laut.

Rakyat hanya menjadi korban dan penonton dari kerusakan lingkungan, serta bingung mau mengadu kemana. Pajak yang dikontrol lewat PNBP targetnya Rp12 triliun pada 2024. Seberapapun besarnya, kata Susan, tidak akan bisa mengganti kerusakan lingkungan oleh negara.

“Diantara solusi untuk polemik krisis iklim dan upaya penyelamatan pesisir adalah dengan memperkuat mental masyarakat pesisir. Supaya tidak jadi personal bigger yakni gak papa laut dirusak, asal dapat kompensasi. Harusnya, mereka berpikir mandiri bahwa kalau kawasan laut diprivatisasi, harus melawan,” ujarnya.

 

Exit mobile version