Mongabay.co.id

Mangrove Pulau Gelasa yang Penting untuk Bumi

Pulau Gelasa yang begitu indah dan kaya biota laut.

 

Pulau Gelasa [220,83 hektar], yang berada di Perairan Gelasa, Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung, memiliki ekosistem hutan daratan, hutan pesisir, mangrove, padang lamun, dan terumbu karang.

Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan pada Sabtu [26/03/2022], ekosistem mangrove di Pulau Gelasa atau yang di masa lalu disebut Pulau Kelasa atau Pulau Gaspar, ditemukan di bagian timur pulau dengan luasan sekitar 2,75 hektar.

Mangrove di Pulau Gelasa, secara geomorfologi tumbuh di kawasan berbentuk teluk, tipe substrat jenis pasir dengan pecahan karang. Terdapat tiga spesies yang membentuk formasi ekosistem mangrovenya, yakni bakau [Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata], yang mendominasi secara berkelompok. Selain itu juga, ditemukan bakau hitam [Aegiceras corniculatum] yang tumbuh ke arah laut.

Ekosistem mangrove di Pulau Gelasa merupakan ekosistem mangrove sejati [true mangrove], keberadaannya berasosiasi dengan lamun terutama spesies Cymodocea serrulata, serta berbagai jenis karang.

Secara morfologi tanaman mangrove yang tumbuh di Pulau Gelasa termasuk mangrove dewasa. Tapi uniknya, speies mangrove terlihat pendek dan memiliki Diameter at Breast Height [DBH] yang relativ kecil.

Mangrove di Pulau Gelasa dalam kategori dewasa, dibuktikan adanya propagule yang hanyut dan ditemukan banyak pohon Rhizophora apiculata yang sedang berbuah [Desember-Maret]. Secara teori, famili Rhizophoraceae mulai berbunga pada usia 3-4 tahun.

Sebagai informasi, morfologi spesies Rhizophora apiculata ini cenderung memiliki bentuk tinggi dengan karakteristik tipe akar khas. Berupa, akar tunjang yang sudah cukup lebat dan saling berkait dengan pohon lain.

Baca: Gelasa, Pulau Perawan Bertabur Terumbu Karang Purba

 

Ekosistem mangrove Pulau Gelasa tumbuh di terumbu karang mati. Foto: [Drone] Muhammad Rizqi Ramadhani/Mongabay Indonesia

 

Mengapa?

Pendek dan kecil tanaman mangrove di Pulau Gelasa, dugaan saya karena adanya keterkaitan antara laju dan tingkat pertumbuhan yang lambat pada ekosistem mangrove. Faktor ekologis terutama, pengaruh dari substrat dasar perairan.

Mengutip Duarte et al. [1998], menyatakan bahwa lumpur merupakan salah satu faktor pertumbuhan tinggi dan diameter dari tanaman, yang dipengaruhi ketersedian hara yang terdapat dalam kandungan lumpur.

Kurniawan et al. [2019] menyebutkan, hutan mangrove dapat tumbuh pada substrat dasar pasir, lumpur, koral maupun batu-batuan, namun pertumbuhan terbaik terdapat pada susbtrat dasar lumpur. Pada susbtrat dasar lainnya, pertumbuhan umumnya kurang baik dan cenderung lambat.

 

Ekosistem mangrove Pulau Gelasa berasosiasi dengan terumbu karang. Foto: [Drone] Muhammad Rizqi Ramadhani/Mongabay Indonesia

 

Tetap penting

Meskipun pertumbuhannya tidak baik, secara ekologis mangrove di Pulau Gelasa memiliki fungsi penting bagi ekosistem di sekitarnya. Sebut saja sebagai primary productivity, shelter and feeding ground, spawning and nursery ground, nutrient export, polutant trap, carbon sink.

Degradasi ekosistem mangrove akan menyebabkan peningkatan potensi yang berdampak negatif pada kesehatan terumbu karang di dalam kawasan [Dharmawan dan Pramudji, 2014]. Sebab, ekosistem mangrove kaya akan sedimen yang terendapkan di lantai hutan.

Ketika hutan mangrove mengalami kerusakan sebagai akibat adanya aktivitas dan kegiatan manusia di sekitarnya, maka sedimen lepas dan terlarut dalam perairan dengan jumlah yang sangat banyak. Secara konsisten, masuk ke ekosistem lamun maupun terumbu karang karena pengaruh pasang surut, sehingga meningkatkan kekeruhan perairan.

Selanjutnya, penetrasi cahaya yang berkurang. Laju fotosintesis dari lamun dan zooxanthella yang terdapat di karang akan berkurang kemudian terganggu [Nontji, 2002].

Sebagai gambaran, luas mangrove di Indonesia sekitar 3,3 juta hektar, dan sekitar 8,6 persen dalam kondisi rusak. Sementara, lahan yang berpotensi menjadi hutan mangrove kurang lebih sebesar 750 ribu hektar.

Luasan mangrove di Kepulauan Bangka Belitung sekitar 64 ribu hektar [Peta Mangrove Nasional, 2021]. Merujuk data Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sekitar 36 ribu hektar atau sekitar 60 persen mengalami kerusakan. Kondisi tersebut menjadikan Kepulauan Bangka Belitung sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang dilakukan rehabilitasi mangrove oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove [BRGM] pada 2021 lalu.

Menurut Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM, dinamika ekosistem mangrove secara nasional diproyeksikan dalam dua skenario. Pertama, adalah Scenario net deforestasi. Pada 2024 diperkirakan terjadi kehilangan mangrove seluas 51.272 hektar, dan pada 2030 seluas 128.180 hektar. Kedua, adalah Skenario gross deforestasi. Pada 2024 diperkirakan terjadi kehilangan mangrove seluas 104.456 hektar, serta pada 2030 seluas 261.140 hektar.

 

Ekosistem mangrove di Pulau Gelasa yang masa lalu disebut Pulau Kelasa. Foto: [Drone] Muhammad Rizqi Ramadhani/Mongabay Indonesia

 

Konservasi

Pulau Gelasa memiliki ekosistem laut dan pesisir yang masih terjaga dengan baik. Atau, konektivitas antar ekosistem [mangrove, padang lamun dan terumbu karang] yang terdapat di pulau tersebut masih sangat baik.

Jika luas mangrove hanya 2,75 hektar, maka berdasarkan penelitian Wahyu Adi di Pulau Gelasa [2019], luas padang lamun mencapai 41,99 hektar dan terumbu karang sekitar 125,57 hektar.

Selain melindungi daerah pesisir dari abrasi, tanaman mangrove mampu menyerap emisi yang terlepas dari lautan dan udara. Dengan cara penyerapan karbon untuk proses fotosintesis, lalu  hasil dari fotosisntesis menghasilkan oksigen, yang dilepaskan ke atmosfer dan terlarut ke perairan. Tingginya kandungan oksigen di perairan mencirikan tingginya kelimpahan organisme fitoplankton yang membuat perairan menjadi subur.

Apabila perairan subur, maka ikan dan biota yang ada di perairan tersebut dapat hidup dengan baik. Begitu pun sebaliknya, apabila oksigen di perairan rendah maka ikan dan biota di perairan akan mengalami kematian karena kekurangan oksigen [Kurniawan et al., 2019].

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Karyati et al [2021] di Pulau Belitung, mangrove jenis Rhizophora mucronata merupakan jenis yang paling besar dalam mengikat CO2 di udara dengan nilai serapan 441,8 gram per pohon. Sedangkan jenis Rhizophora apiculata dapat mengikat serapan CO2 dengan nilai serapan 217,28 gram per pohon.

Rhizophora mucronata merupakan jenis yang paling besar dalam mengikat serapan CO2 di udara dengan nilai serapan 937,45 ton CO2 per hektar, dan jenis Rhizophora apiculata dapat mengikat serapan CO2 dengan nilai serapan 491,76 ton CO2 per hektar.

 

Ekosistem hutan pantai di Pulau Gelasa didominasi pohon ketapang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata ditemukan tumbuh alami di Pulau Gelasa. Jika dilihat pada kawasan Pulau Gelasa, merupakan daerah tangkap nelayan tradisional yang dapat dicirikan tingginya aktivitas nelayan. Tentunya, kegiatan ini menyebabkan polusi udara yang dikeluarkan dari mesin, sehingga fungsi mangrove sebagai pengikat karbon di kawasan Pulau Gelasa sangat diperlukan.

Berdasarkan informasi dari para nelayan, Pulau Gelasa merupakan tempat bertelurnya biota laut seperti penyu. Jenis yang ditemukan antara lain penyu hijau [Chelonia mydas].

Penyu memanfaatkan perairan sekitar Pulau Gelasa untuk mencari makan, sekaligus membuat sarang untuk bertelur. Ini diduga karena Pulau Gelasa memiliki karakteristik yang sesuai bagi keberlangsungan hidupnya.

Topografi pantai yang landai dengan hamparan pasir yang berasal dari pecahan batu karang, iklim tropis, suhu, kelembaban, kedalaman laut yang dangkal, dan kerapatan serta dominasi vegetasi yang sesuai, membuat tempat ini menjadi habitat asli sekaligus tempat bertelur penyu.

 

Jejak penyu di sekitar pesisir pantai Pulau Gelasa. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Biota lain yang menggunakan perairan Pulau Gelasa sebagai area hidupnya adalah Dugong [Dugong dugon]. Berdasarkan hasil penelitian  Farhaby dan Supratman [2021] di Kabupaten Bangka Tengah, pernah terlihat dugong di sekitar Pulau Gelasa, walaupun frekuensinya relatif rendah. Hal ini diduga dengan keberadaan lamun di perairan sekitar Pulau Gelasa. Lamun merupakan makanan bagi dugong.

Rendahnya  perjumpaan dengan dugong di wilayah perairan seluruh dunia mengakibatkan statusnya, sama seperti penyu hijau, tercatat dalam Red List IUCN [International Union for Conservation of Nature and Natural Resources]. Langkanya kemunculan dugong dapat disebabkan beberapa faktor. Di antaranya reproduksi, perburuan oleh manusia, dan kondisi habitat yang terancam rusak [UNEP, 2002].

Pada perairan Pulau Gelasa juga terlihat lumba-lumba hidung botol [Tursiops truncatus]. Satwa yang masuk kategori dilindungi, termuat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Selain itu, berdasarkan status Perdagangan Internasional yang diatur oleh CITES [Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora], lumba-lumba hidung botol masuk Appendiks II, yaitu jenis yang statusnya belum terancam tetapi akan terancam punah apabila dieksploitasi secara berlebihan.

 

Pulau Gelasa memiliki luas 220,83 hektar. Foto: [Drone] M. Rizqi Rama/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat yang menetap di pesisir timur di Kabupaten Bangka Tengah, yang berprofesi sebagai nelayan, memanfaatkan perairan Pulau Gelasa sebagai kawasan tangkap tradisional dengan cara yang arif, yakni tidak menggunakan alat tangkap berbahaya bagi lingkungan.

Lumba-lumba hidung botol, bagi para nelayan sangat membantu. Sebab perilaku uniknya yang melompat berkelompok di atas permukaan air, saat mengejar kelompok ikan sebagai sumber pakannya, dipahami para nelayan sebagai indikator adanya kelompok ikan pada sebuah wilayah. Di perairan Pulau Gelasa, lumba-lumba hidung botol menjadi sahabat para nelayan.

Dengan fakta tersebut, sebaiknya perlu dilakukan kajian lebih mendalam terkait kemungkinan dimasukannya Pulau Gelasa dan perairannya sebagai kawasan konservasi. Sebab, diduga kuat banyak biota laut maupun mamalia laut yang memanfaatkan kawasan tersebut sebagai feeding ground dan spawning serta nursery ground.

Keindahan Pulau Gelasa, serta misterinya yang masih belum terkuak, akan membuat banyak peneliti tertarik untuk melakukan riset, terkait ekosistem laut dan pesisirnya.

 

* Arthur Muhammad Farhaby, peneliti mangrove dari Universitas Bangka Belitung, mengikuti Ekspedisi Pulau Gelasa yang diadakan Mongabay Indonesia dan Universitas Bangka Belitung [25-27 Maret 2022]. Tulisan ini sebagai refleksi Hari Bumi.

 

Daftar Pustaka

 

 

Exit mobile version