Mongabay.co.id

Pemerintah Kena Somasi, Jokowi Larang Ekspor Bahan Baku dan Minyak Goreng

 

 

 

 

 

Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia, tetapi di dalam negeri minyak goreng sawit sempat langka kemudian tersedia tetapi harga tinggi. Kemudian, pekan lalu, Kejaksaan Agung mengumumkan empat tersangka ‘mafia minyak goreng.’ Merespon persoalan minytak goreng sawit ini, Koalisi Masyarakat Sipil beranggotakan Sawit Watch, Perkumpulan HuMa, Walhi Nasional, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Greenpeace Indonesia dan Public Interest Lawyer Network (Pilnet) mengirimkan somasi terbuka kepada pemerintah Jumat (22/4/22).

Somasi ini khusus menyasar Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.

“Kondisi ini menyengsarakan rakyat. Pemerintah tidak melakukan kewajiban khusus perlindungan hak asasi manusia di sini,” kata Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch usai menyerahkan somasi terbuka di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat (22/4/22).

Dalam dokumen somasi, kelompok masyarakat sipil menilai kelangkaan minyak goreng sawit membuat konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang pakai bahan ini menurun dan memperparah perekonomian negara.

Pemerintah dinilai gagal mengontrol harga dan ketersediaan minyak goreng sawit. Ironisnya, kondisi ini jadi alasan melepas harga minyak goreng sesuai mekanisme pasar.

Imbasnya, masyarakat dan pelaku usaha kecil dan menengah dirugikan dengan harga tinggi. Masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, katanya, makin terjepit sementara tak ada peningkatan penghasilan bagi mereka.

Ketimpangan sosial ini pun memakan korban jiwa. Sebagaimana yang terjadi di Berau, Kalimantan Timur, seorang Ibu meninggal karena antre minyak goreng sawit.

Kelompok masyarakat sipil mendesak pemerintah melakukan dua langkah mendesak. Pertama, penanggulangan kelangkaan dan harga minyak goreng tinggi. Kedua, keseriusan dalam pencegahan kejadian serupa di masa depan.

“Dua hal ini menurut kami harus dilakukan segera,” ucap Andi Muttaqien, Deputi Direktur Advokasi Elsam.

Mereka bilang, pertama, pemerintah harus serius mengimplementasikan amanat dari Pasal 33 ayat 3 UUD’45 di mana bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kedua, pemerintah harus serius memprioritaskan pemenuhan kebutuhan minyak goreng [sawit] dalam negeri dibandingkan pemenuhan kebutuhan ekspor.

Ketiga, harus ada langkah dalam menetapkan kembali harga eceran tertinggi terhadap produk minyak goreng [sawit] di tingkat peritel modern maupun tradisional.

 

Kelompok masyarakat sipil yang somasi pemerintah karena kelangkan minyak goreng sawit, belakangan pasokan tersedia tetapi harga tinggi. Foto: Richaldo H/ Mongabay Indonesia

 

Untuk poin keseriusan mencegah kelangkaan dan harga minyak goreng [sawit] tinggi, menurut kelompok masyarakat sipil ini ada enam poin.

Pertama, presiden, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian memenuhi kebutuhan minyak goreng di seluruh Indonesia dan monitoring berkala untuk memastikan hal ini.

Kedua, presiden, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian segera evaluasi dan pengawasan terhadap sistem distribusi minyak goreng [sawit] di seluruh Indonesia.

Ketiga, presiden, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian diminta mengevaluasi struktur industri minyak goreng Indonesia. Juga memastikan tak ada lagi struktur pasar terkonsentrasi seperti saat ini hingga persaingan sehat bisa terwujud.

Keempat, Komisi Pengawas Persaingan Usaha diminta pemeriksaan dan penegakan hukum aktif atas indikasi praktik persaingan usaha yang tak sehat pada industri sawit, khusus produk turunan minyak goreng.

Kelima, presiden, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian diminta melakukan penertiban kegiatan usaha dan perdagangan tak berizin perdagangan.

Keenam, presiden, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian diminta mencari solusi terbaik demi kepentingan nasional. Prioritasnya, pemenuhan kebutuhan dalam negeri untuk minyak goreng rumah tangga dan UMKM.

Dokumen somasi itu diserahkan langsung ke bagian surat-menyurat Kementerian Perdagangan sekitar pukul 10:20 WIB. Kelompok masyarakat sipil ini akan menunggu respons pihak terkait dalam 14 hari.

Kalau tak ada respons, mereka berencana melakukan langkah hukum lebih serius. “Kami akan melakukan gugatan melawan hukum ke PTUN Jakarta,” kata Judianto Simanjuntak dari Pilnet.

 

 

Larangan ekspor

Pada hari sama dengan somasi kelompok masyarakat sipil, Presiden Joko Widodo menyatakan, melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng hingga waktu yang akan ditentukan kemudian.

Keputusan itu kata presiden keluar setelah memimpin rapat tentang pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, terutama berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng dalam negeri.

“Dalam rapat itu saya putuskan pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng,” katanya, lewat akun sosial media, Twitter dan Facebook-nya.

Dalam video berdurasi 58 detik itu Jokowi menyebut pelarangan berlaku mulai 28 April 2022.

“Saya akan terus pantau pelaksanaan kebijakan ini agar ketersediaan minyak goreng dalam negeri melimpah dan harga terjangkau.”

 

Serius perbaikan tata kelola

Kelangkaan dan harga minyak goreng sawit tinggi harus jadi momentum memperbaiki tata kelola sawit. Apalagi, penetapan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Indrasari Wisnu Wardhana, sebagai tersangka ‘mafia minyak goreng’ turut membuktikan karut marut pengelolaan industri sawit.

Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka ‘mafia minyak goreng’. Tiga lainnya, MP Tumanggor, selaku Komisiaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia, lalu Stanley MA, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup. Kemudian, Pierre Togar Sitanggung adalah General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas.

Mereka berempat ini terjerat dalam kasus penerbitan izin persetujuan ekspor yang diduga menyalahi aturan.

“Jadi terlihat masalah industri sawit ini dari hulu ke hilir,” kata Rambo.

Dia meminta perhatian, hanya fokus pada masalah minyak goreng semata. Minyak goreng, katanya, hanya bagian dari rantai—sebagai produk akhir– yang tak lepas dari masalah hulu.

 

Indonesia produsen sawit nomer atu dunia tetapi di dalam negeri minyak goreng sawit sempat langka, lalu harga naik. Tata kelola industri sawit dari hulu ke hilir, perlu dipertanyakan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Masalah paling krusial di hulu, katanya, adalah konglomerasi atau penguasaan lahan besar-besaran oleh segelintir perusahaan. “Ketika di hulu ada konglomerasi, tidak heran di hilir gampang dilakukan hal sama.”

Dia katakan, penyebab utama penguasaan lahan sawit raksasa ini berasal dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/2013 yang memberikan batas penguasaan lahan untuk perkebunan sawit sampai 100.000 hektar per provinsi. Hanya ada pengecualian bagi koperasi, perusahaan negara atau perusahaan perseroan terbuka (go public).

“Perusahaan go public inilah yang dikontrol dan dikuasai berbagai pihak. Ini kan indikasi konglomerasi di lahan,” katanya.

Konglomerasi lahan ini, kata Rambo mempermudah monopoli minyak sawit mentah (crude palm oil). Buktinya, bisa terlihat dari minyak goreng banjir ketika pemerintah melepas harga ke pasaran.

Dia meminta, pemerintah berani membuka data kebijakan domestic market obligation (DMO) 20% yang diterapkan bagi perusahaan eksportir minyak goreng.

Pada dasarnya kebijakan DMO 20% ini mewajibkan eksportir mengalokasikan 20% ekspor mereka untuk kebutuhan dalam negeri. Data ini tertutup hingga publik tak bisa mengawasi.

“Siapa saja yang ekspor, 20% ditaruh di mana? Kita harusnya bisa cek itu. Kita tidak tahu itu.”

Keterbukaan data seperti ini penting agar publik tak kaget dengan ada ekspor sawit di tengah kelangkaan melanda dalam negeri.

Sudah sejak lama masalah transparansi menjadi pekerjaan rumah. Padahal, kata Rambo, transparansi sangat penting dalam perbaikan tata kelola industri sawit yang karut marut ini.

“Selama ini, kita bergelap-gelap ria berkenaan dengan itu.”

Semangat keterbukaan data ini sebenarnya ada di dalam Instruksi Presiden (Inpres) tentang Moratorium Sawit yang berakhir tahun lalu. Seharusnya, moratorium sawit diperpanjang untuk review perizinan yang belum berjalan maksimal.

Andi Muttaqien pun menyuarakan hal sama. Dia menilai, pemerintah tak jalankan serius moratorium sawit. Hal itu bisa terlihat dari tak ada evaluasi menyeluruh capaian kebijakan itu.

 

Exit mobile version