Mongabay.co.id

DAS Rusak, Biang Konflik Manusia dengan Buaya Muara di Bangka Belitung

 

 

Mas’ud [40], warga Desa Kayu Besi, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, bersyukur lantaran selamat dari serangan buaya muara [Crocodylus porosus].

Kejadiannya, suatu malam pada 2018, pria yang biasa disapa Ed, bermaksud mengambil hasil tangkapan dari pancingan rawai milikinya di Sungai Aliran dekat rumahnya. Naas, ketika tangan kirinya masuk ke air untuk meraih rawai, seekor buaya muara menyambarnya.

Tubuhnya terjatuh ke sungai. Sekitar 30 menit, Ed terombang-ambing diseret buaya muara. Dalam kondisi sadar, dia berulang kali ditarik buaya yang bobotnya sekitar 500 kilogram ke sungai.

Saya diselamkan ke sungai, diputar-putar. Saya diangkat ke permukaan kemudian diselamkan lagi. Saya sadar, meskipun saya susah bernapas,” kata Ed, dijumpai di rumahnya di Desa Kayu Besi, Bangka Minggu [13/03/2022].

“Saya terus istigfar nyebut nama Allah SWT, sambil terbayang anak saya waktu itu yang masih kecil, bagaimana kalau saya mati,” lanjutnya.

Ed kemudian diseret sang predator ke tepi sungai berlumpur. Dengan tenaga tersisa, saya tusuk matanya pakai jari tangan kanan saya. Kelemahan buaya ada pada matanya,jelasnya.

Sang predator pun melepaskan gigitannya. Bersamaan itu, sejumlah nelayan memukul tubuh buaya dengan kayu. “Saya dilarikan ke rumah sakit,” katanya.

Empat hari Ed menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Provinsi [RSUP] Bangka Belitung. Lengannya kirinya selain robek, engselnya juga lepas. Sekitar tiga bulan Ed memulihkan diri.

Konflik buaya muara dengan manusia di Kepulauan Bangka Belitung, bukan hanya membuat manusia dan buaya muara terluka. Beberapa kasus menyebabkan kematian keduanya.

 

Buaya muara [Crocodylus porosus] yang berada di Pusat Penyelamatan Satwa [PPS] Alobi Foundation Bangka Belitung di Air Jangkang, Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Konflik manusia dengan buaya muara terjadi karena rusaknya habitat buaya di daerah aliran sungai [(DAS]. Foto: Cici Nasya Nita/Mongabay Indonesia

 

109 kasus

Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Selatan Wilayah Bangka Belitung, angka konflik manusia dengan buaya muara di Bangka Belitung sejak 2016 hingga 2021 mencapai 108 kasus. Dilaporkan, sebanyak 20 orang meninggal dan 88 orang terluka.

Awal 2022, seorang penambang ilegal di Desa Riding Panjang, Kabupaten Bangka, meninggal diserang buaya muara. Konflik manusia dengan buaya muara pun menjadi 109 kasus.

Enam tahun terakhir, kasus terbanyak terjadi pada 2019 yakni 28 kejadian, yang sebagian besar terjadi di Kabupaten Bangka dan Belitung Timur.

“Kebanyakan korban konflik buaya muara adalah penambang. Mungkin, satu faktor penyebab karena habitatnya rusak. Ini membuat buaya kehilangan pakan alami,” kata Ahmad Fadhli, Kepala Resort Konservasi Wilayah Bangka, BKSDA [Balai Konservasi Sumber Daya Alam] Sumatera Selatan, Jumat [04/03/2022].

Menurut dia, rata-rata, penambang yang beraktivitas di habitat buaya menjadi korban. Hampir seluruh daerah aliran sungai [DAS] di Kepulauan Bangka Belitung merupakan habitat buaya.

“Kadang kami terkendala dalam menangani, sebab kepercayaan masyarakat sekitar DAS kalau ada konflik antara buaya muara dengan manusia, buaya harus dibunuh. Apalagi bila ada korban [manusia], nyawa harus dibayar nyawa,” jelas Fadhil.

Hingga saat ini, belum ada angka pasti jumlah populasi buaya muara di Pulau Bangka. Namun, data BKSDA Sumsel Wilayah Bangka menyatakan ada 24 kantong habitat yang tersebar di tiga kabupaten, yakni Bangka, Bangka Tengah, dan Bangka Selatan.

“Di masa kawin atau bulan kawin periode Desember dan Januari, buaya muara akan lebih agresif. Apalagi sang betina yang lebih berpotensi untuk menyerang manusia,” katanya.

 

Buaya muara merupakan predator puncak yang tangguh dan mudah beradaptasi. Foto: Cici Nasya Nita/Mongabay Indonesia

 

58 buaya konflik dievakuasi

Langka Sani, Ketua Yayasan Konservasi Pusat Penyelamatan Satwa [PPS] Alobi Foundation Bangka Belitung, mengatakan sebanyak 58 individu buaya muara yang berkonflik telah dievakuasi dan direhabilitasi di PPS Alobi.

“Kami berdiri tahun 2014. Buaya yang dievakuasi dominan dari Kabupaten Bangka karena banyak habitat rusak di sana. Buaya yang dievakuasi umumnya hasil tangkapan warga.”

Buaya yang dievakuasi tidak semuanya selamat, pasalnya pancing yang biasa digunakan warga untuk menangkapnya melukai organ dalam perut.

“Saat ini di PPS Alobi ada 28 individu yang direhabilitasi,” katanya.

PPS Alobi hanya mampu menampung sekitar 40 individu, maka perlu perhatian pemerintah, agar dibuatkan penangkaran atau penampungan buaya muara konflik.

“Untuk menghindari konflik, habitatnya jangan dirusak. Penting juga ada tempat penangkaran buaya konflik sebelum ditetapkan sebagai zona pelepasan,” katanya.

 

Sungai di daerah Riding Panjang, Bangka, yang pernah terjadi konflik buaya dnegan manusia. Ada aktivitas tambang tak jauh dari sungai tersebut. Foto: Cici Nasya Nita/Mongabay Indonesia

 

Rusaknya habitat

Hellen Kurniati, Peneliti Ahli Utama bidang Herpetofauna Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN], menyarankan, buaya yang pernah menyerang manusia dievakuasi dan dipindahkan ke penangkaran.

“Sekali buaya memangsa manusia, maka akan mencari manusia lagi. Jangan dilepaskan di alam lagi,” ujarnya, Sabtu [12/03/2022].

Dia menyatakan, buaya di Bangka Belitung adalah buaya muara dengan adaptasi tinggi. Jenis ini termasuk satwa dilindungi berdasarkan P.106/MENLHK/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.

“Buaya muara itu dapat hidup di air laut sampai ke hulu sungai. Ada empat jenis buaya di Indonesia, buaya muara paling besar hingga 10 meter dan agresif atau ganas. Kemudian buaya Siam [Crocodylus Siamensis], buaya Irian [Crocodylus Novaeguineae], buaya sapit atau senyulong [Temistoma Schlegelii],” katanya.

Semakin besar ukuran predator ini, mangsanya akan semakin besar seperti mamalia. Konflik manusia dengan buaya terjadi karena rusaknya habitat buaya yang bersinambungan dengan rusaknya DAS.

“Banyak konflik karena habitat buaya rusak, dirambah manusia, sehingga tidak bisa hidup berdampingan lagi,” katanya.

 

Potret aktivitas pertambangan timah inkonvensional di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

20.687 hektar DAS rusak

Berdasarkan data Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung [BPDASHL] Baturusa Cerucuk, Kepulauan Bangka Belitung memiliki 833 DAS dengan luasan sekitar 1,6 juta hektar.

Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.306/MENLHK/PDASHL/DAS.0/7/2018 tentang Penetapan Lahan Kritis Nasional, di Kepulauan Bangka Belitung tercatat sekitar 20.687 hektar lahan kritis atau kerusakan DAS.

Rinciannya, di Kabupaten Bangka [4.832 hektar], Kabupaten Bangka Barat [4.006 hektar],  Kabupaten Bangka Selatan [4.630 hektar], Kabupaten Bangka Tengah [1.776 hektar], Kabupaten Belitung [977 hektar], serta Kabupaten Belitung Timur [4.189 hektar].

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung [BPDASHL] Baturusa Cerucuk memperkirakan, setelah lima tahun terakhir akan ada penambahan lahan kritis di Kepulauan Bangka Belitung. Sebab, aktivitas penambangan kian marak.

“Hampir semua penyebab lahan kritis di Kepulauan Bangka Belitung karena aktivitas penambangan timah, dan itu paling masif di banyak tempat,” kata Tekstiyanto, Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung [BPDASHL] Baturusa Cerucuk, Jumat [11/03/2022].

DAS Baturusa merupakan wilayah yang saat ini dipulihkan. Sekitar 50 persen dari luasan, 63.605,15 hektar, mengalami kerusakan.

Dijelaskan Tekstiyanto, lahan kritis mengakibatkan menurunnya fungsi konservasi, fungsi produksi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

Penurunan fungsi konservasi, yakni lahan tidak mampu lagi menjaga tata air, sumber daya tanah, serta biodiversitas yang hidup di atas lahan tersebut. Penurunan fungsi produksi, yakni lahan tidak mampu lagi sebagai media tumbuh dan berkembang tanaman pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, pemukiman, industri dan juga pariwisata.

“Karena sistem hidrologinya rusak, dari hulu ke hilir, dampak yang paling dikhawatirkan adalah bencana banjir,” katanya.

Penanganan lahan kritis di DAS Kepulauan Bangka Belitung dilakukan dengan melakukan penyusunan arahan rehabilitasi hutan dan lahan [RHL] pada berbagai kelas kekritisan lahan. Tujuannya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan, agar dapat terjaganya daya dukung, produktivitas, serta meningkatkan fungsi hutan sebagai sistem penyangga kehidupan.

“Permasalahan ini cukup complicated, karena timah menjadi sumber penghasilan masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung, dan penunjang sektor ekonomi. Hal yang bisa kami lakukan adalah menanam pohon di lahan bekas tambang dan membagi bibit gratis kepada masyarakat,” jelas Tekstiyanto.

 

Aktivitas tambang timah di Bangka Belitung menjadi salah satu penyebab bencana banjir di Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Implementasi Perda No 10 Tahun 2016

Ketua Forum Daerah Aliran Sungai [DAS] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Fadillah Sabri tidak menampik meningkatnya luasan DAS yang rusak di Kepulauan Bangka Belitung.

“Penambangan [timah] begitu bebas, otomatis [DAS] semakin rusak,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Dia mendesak pemerintah Kepulauan Bangka Belitung serius menangani masalah ini. Terutama mengimplementasikan Perda Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pengelolaan DAS.

“Sudah ada perda, harap dilaksanakan,” ujarnya.

Efredi Effendy, Ketua Komisi III DPRD Bangka Belitung, juga mendesak implementasi Perda Nomor 10 Tahun 2016.

“Kami mendorong agar gubernur menjalankan apa yang menjadi role of the law, sebagai amanat perda. Jangan tebang pilih.”

Pihaknya akan melakukan pengawasan menyeluruh dan menginventarisasi permasalahan agar DAS di Kepulauan Bangka Belitung dapat terjaga baik.

“Kami akan memanggil pihak-pihak terkait dan harus menjadi tanggung jawab bersama. DAS sangat dibutuhkan, harus dipertahankan keberadaannya,” katanya.

Elly Rebuin, Staf Khusus Gubernur Bangka Belitung Bidang Lingkungan dan Pembangunan,  menuturkan pemerintah sudah berusaha mengimplementasikan Perda Nomor 10 Tahun 2016.

“Niatan baik pemerintah tentu sudah ada, menjaga lingkungan. Tetapi di lapangan, misalnya harga timah naik [mendorong maraknya penambangan ilegal], namun kami terus berusaha mengimplementasikan perda,” katanya.

Elly Rebuin mengatakan, rehabilitasi dan adopsi pohon  menjadi upaya untuk menangani kerusakan DAS. Tapi, bukan sebatas menanam, juga memelihara dan mengelola pohon yang sudah ditanam di suatu area rehabilitasi.

“Kami juga fokus pada percepatan reklamasi. Kerusakan lingkungan perlu menjadi perhatian bersama, kita lakukan pendekatan dan sosialisasi dari bawah,” katanya, Kamis [24/02/2022].

Fadillah Sabri melanjutkan, Forum Daerah Aliran Sungai [DAS] Bangka Belitung, saat ini fokus memberikan pendidikan dan pemahaman pentingnya menjaga DAS kepada generasi muda. Seperti pada Jambore Relawan Lingkungan dan duta Forum DAS.

“Sudah ada 50 komunitas dengan jumlah 500 orang yang dididik Forum DAS Bangka Belitung,” paparnya.

 

* Cici Nasya Nita dan Andini Dwi Hasanah, Jurnalis Bangka Pos. Mengikuti pelatihan jurnalisme lingkungan yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Universitas Bangka Belitung, 24-26 Januari 2022.

 

Exit mobile version