Mongabay.co.id

Jangan Usik Perairan Gelasa Kami

 

 

Perairan Gelasa merupakan laut adat Suku Melayu yang menetap di Koba, Lubuk Besar, Tanjung Berikat, Batu Beriga [Kabupaten Bangka Tengah] hingga Pulau Kelapan [Kabupaten Bangka Selatan]. Selama ratusan tahun perairan ini dijaga adat. Perairan ini membentang dari Pesisir Koba [Barat], Pulau Gelasa [Utara] hingga Pulau Kelapan [Selatan]. Luasnya sekitar 80 ribu hektar.

“Perairan Kelasa [Gelasa] ini menghidupi Suku Melayu sejak ratusan tahun lalu. Hubungan kami harmonis. Kami menjaga laut, dan laut memberi kami kehidupan,” kata Cik Jali [54], tokoh masyarakat adat di Dusun Tanjung Berikat kepada Mongabay Indonesia, Senin [11/04/2022].

Dijelaskan dia, banyak larangan selama melaut di Perairan Gelasa. Misalnya, tidak boleh membawa pisang dan telur ayam atau bebek, karena penunggu laut akan muncul saat naik perahu atau kapal. Pantang larang ini juga diberlakukan pada hampir semua masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung.

Selain itu, lanjutnya, dilarang juga menangkap dan membunuh sejumlah biota dan mamalia di Perairan Gelasa. Misalnya, penyu hijau [Chelonia mydas], penyu belimbing [Dermochelis coriaceae], penyu sisik [Eretmochelys imbricata], lumba-lumba hidung botol [Tursiops truncatus], dugong [Dugong dugon], hiu paus [Rhincodon typus], serta merusak terumbu karang sebagai rumah ikan.

“Jika dilanggar, dipastikan akan ada kesialan, bencana, kesusahan atau malapetaka bagi si pelakunya,” kata Cik Jali.

Saat menangkap ikan, tidak boleh menggunakan bom ikan atau memasang jaring di wilayah terumbu karang.

“Kami juga dilarang menangkap cumi-cumi [Loligo chinensis] dan sotong [Sephia sp] dengan jaring. Harus dengan pancing,” jelasnya.

Baca: Gelasa, Pulau Perawan Bertabur Terumbu Karang Purba

 

Batuan granit yang terlihat jelas di Pulau Gelasa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Taber laot

Setiap tahun, kisaran April-Mei, masyarakat yang terhubung dengan Perairan Gelasa, melakukan taber laot.

Dikutip dari Kamus Bahasa Melayu Bangka-Indonesia terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan – Balai Bahasa Kepulauan Bangka Belitung tahun 2018, “taber” artinya ritual adat dilakukan untuk membuat suatu kondisi lebih baik. Sementara “laot” artinya laut.

Jadi, taber laot merupakan ritual adat yang tujuannya untuk mengembalikan kondisi menjadi lebih baik.

“Tujuannya sebagai ungkapan rasa syukur [Tuhan], tolak bala [musibah], dan diberikan kelimpahan hasil laut,” kata Cik Jali.

Setelah taber laot, selama tiga hari masyarakat yang terhubung dengan Perairan Gelasa dilarang beraktivitas ke laut. Mereka itu dari Koba, Lubuk Besar, Tanjung Berikat, Batu Beriga, hingga Pulau Kelapan.

“Jika dilanggar, terjadi malapetaka atau kehilangan nyawa,” jelasnya.

Taber laot dilakukan di Desa Batu Beriga, yang dipimpin seorang dukun. “Taber laot ini menghadirkan lumba-lumba yang mewakili tujuh tanjung di Pulau Bangka,” lanjut Cik Jali.

Baca juga: Mangrove Pulau Gelasa yang Penting untuk Bumi

 

Laut di sekitar Pulau Gelasa terus dijaga Suku Melayu di Tanjung Berikat dan sekitarnya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Upacara berupa pelepasan perahu [jong] yang dihias dan diisi sejumlah sajian. Seperti ayam panggang yang ditaburi dua helai daun ati-ati [Coleus Amboinicus] dan selasih [Ocimum basillicum]. Selesai upacara dilakukan doa dan makan bersama.

Tradisi taber laot hampir dilakukan berbagai Suku Melayu di Kepulauan Bangka Belitung. Dalam catatan Mongabay Indonesia, selain di Batu Beriga, taber laot juga dilakukan Suku Melayu dan Suku Laut, seperti di Pantai Tanjungputat, Pejem, Tuing [Kabupaten Bangka], Desa Kurau dan Desa Kurau Barat [Kabupaten Bangka Tengah], Desa Rambat [Kabupaten Bangka Barat], serta di Pulau Belitung.

 

Seorang nelayan menunjukkan hasil tangkapannya di sekitar Pulau Gelasa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sarat sejarah

Di masa lalu Tanjung Berikat ramai dikunjungi para pedagang mancanegara. Sebab wilayah ini pusat perdagangan rempah, seperti cengkih [Syzygium aromaticum L.] dan lada [Piper nigrum].

Tanjung Berikat yang berada di muara Selat Gaspar [memisahkan Pulau Bangka dan Pulau Belitung] di Pulau Bangka, dulunya merupakan sentra tanaman cengkih dan lada.

“Tapi, setelah banyak kebun cengkih dijadikan lokasi penambangan timah serta harganya anjlok di masa Orde Baru, banyak kebun yang hilang. Kebun lada juga hilang dikarenakan harganya turun. Saat ini, semua kebun cengkih dan lada menjadi kebun sawit atau ditambang timah,” kata Atok Supri [55], tokoh adat Dusun Tanjung Berikat.

Dulunya, masyarakat yang menetap di Dusun Tanjung Berikat hidupnya dari kebun dan laut. “Tapi setelah banyak warga kehilangan kebun, terpaksa hanya hidup dari laut, sekitar 90-an kepala keluarga,” jelasnya.

 

Bentang savana yang terdapat di ujung pantai Panjung Berikat, dulunya dijadikan permukiman dan perkebunan cengkih. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Di masa perang kemerdekaan, Tanjung Berikat merupakan lokasi perang yang menyebabkan kekalahan dari pihak Belanda. “Banyak kapal dan prajuritnya yang hancur dan mati karena perlawanan masyarakat.”

Sejarah perjuangan masyarakat di Tanjung Berikat melawan Belanda, ditandai pemerintah dengan sebuah Tugu Perjuangan atau Pahlawan Tanjung Berikat.

Tapi, jauh sebelumnya, saat Kesultanan Palembang menguasai Pulau Bangka, dikenal tokoh Datuk Berembun yang didaulat menjaga dusun [kampung] Tanjung Berikat hingga ke Pulau Kelasa [Gelasa].

“Kami percaya yang berperang melawan Belanda itu bukan rakyat, tapi pasukan jin. Sebab rakyat di Tanjung Berikat tidak memiliki meriam atau senjata api yang dapat merusak kapal atau menembak prajurit,” kata Atok Supri.

Mat Angin [54], warga Desa Batu Beriga, yang belasan tahun menjadi pemburu benda berharga dari bangka kapal di Kepulauan Bangka Belitung, memperkirakan terdapat 18 lokasi [situs] kapal karam.

 

Perairan Gelasa yang merupakan laut adat Suku Melayu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menolak

Berdasarkan sejumlah pemberitaan, Thorcon Indonesia berencana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir berbasis thorium atau PLTT [Pembangkit Listrik Tenaga Thorium] di Indonesia.

Kepulauan Bangka Belitung, wilayah yang menjadi target tapak PLTT.  Sementara Pulau Gelasa dan perairannya, sebagai calon lokasi PLTT di provinsi yang sebagian besar wilayahnya perairan [6,5 juta hektar].

“Kami jelas menolak. Jangan usik laut adat kami. Tidak ada keuntungan buat kami [PLTT], dan mungkin bagi masyarakat di Pulau Bangka ini. Kalau demi kebutuhan listrik bagi masyarakat di [Kepulauan] Bangka Belitung itu alasan yang dicari-cari. Masih ada sumber energi lain yang lebih aman dan tidak membuat kami cemas, misalnya tenaga surya yang banyak digunakan kapal-kapal kami [nelayan] di sini,” kata Cik Jali.

 

Perairan Selat Gaspar yang tenang namun kerap diterpa badai. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, jika PLTT itu dibangun, kami percaya kampung atau dusun di sini akan tergusur. Seperti Tanjung Berikat, Batu Beriga, Lubuk Besar, serta kampung-kampung di pulau-pulau kecil.

“Perusahaan [PLTT] itu bukan hanya menghilangkan kehidupan kami di laut, juga mengancam keberadaan kampung kami,” ujarnya.

Cik Jali menjelaskan selama setahun terakhir, belum pernah ada pihak yang menjelaskan rencana pembangunan PLTT tersebut.

“Memberi tahu pun tidak, apalagi kami ditanya setuju atau tidak. Saya pastikan tidak ada masyarakat di Tanjung Berikat, kampung terdekat dengan Pulau Kelasa [Gelasa] yang setuju. Penambangan timah laut saja ditolak di sini,” katanya.

 

 

Penolakan juga disampaikan Ismu Bai [38], warga Dusun Tanjung Berikat.

“Kami di sini sudah hidup tenang, damai, dan disejahterakan dari hasil laut. Tolong jangan ganggu kehidupan kami dengan kehadiran perusahaan itu.”

Dijelaskan Ismu Bai, sejumlah nelayan di Tanjung Berikat dan Batu Beriga, mengetahui adanya penelitian di sekitar Pulau Gelasa, dilakukan akademisi dari sejumlah universitas di Pulau Bangka dan Jawa.

“Terdengar sepintas soal rencana pembangunan perusahaan tersebut. Tapi, terus terang mereka tidak pernah menjelaskannya, apalagi bertanya apakah kami setuju atau tidak. Kami ini masyarakat terdekat Pulau Gelasa. Tapi mungkin yang ditanya warga desa lain, yang jauh dari sini,” katanya.

Kami tahunya hidup dari laut ini. Berapa pun ganti rugi yang mungkin kami terima, pasti akan habis.

“Laut memberi jaminan kehidupan. Para datuk penjaga laut pasti mendukung keinginan kami. Mereka akan marah jika laut rusak,” tegas Mat Angin.

 

Exit mobile version