Mongabay.co.id

Zulkifli, Penggerak Panen Air Hujan dari Ternate

 

 

 

 

Hujan belum turun dalam sepekan, namun tanki yang menampung air hujan di Kantor Camat Ternate Utara, KotaTernate, Maluku Utara, masih terisi penuh.

Air itu bersumber dari panen air hujan yang ditampung untuk kebutuhan di kantor itu. Ia bisa buat masak, mandi dan keperluan lain.

Karena pemanfaatan air hujan ini, air ledeng atau air dari perusahaan daerah air minum (PDAM) hanya sebagai cadangan kalau air dalam empat tanki profil—tempat menampung air hujan itu–habis.

Kantor kecamatan ini satu contoh yang memanen air hujan.

“Air di sini surplus karena pemanfaatan air hujan untuk semua kebutuhan di dalam kantor ini,” kata Rustam Malang, staf di Kantor Camat Ternate Utara 19 April lalu.

Bahkan, katanya, biaya operasional untuk air di kantor sudah berkurang jauh. Mereka hanya membayar abonemen rekening PDAM. Air itu, katanya, tak hanya buat kebutuhan sehari hari, kalau ada kelebihan juga dikembalikan ke untuk mengisi air tanah.

Ada bak besar berukuran 5×2 dibangun di belakang kantor.

Gerakan memanen air hujan yang mulai dari kantor camat ini diinisiasi Zulkifli. Dia adalah pegawai di Ternate yang sebelumnya camat di Ternate Utara.

Zulkifli, sudah sekitar tujuh tahun berusaha melakukan penyadaran sekaligus menggandeng berbagai pihak di Ternate untuk memanfaatkan air hujan tak sekadar buat konsumsi juga mengembalikan ke tanah.

Dia menggagas gerakan “sedekah” air hujan ke banyak kalangan. Zulkifli konsisten mengkampanyekan penting memanen dan menabung air hujan karena selama ini terbuang percuma hingga lebih bermanfaat.

Aksi ini tak hanya menyentuh masyarakat umum, tetapi mengajak pemerintah, pengusaha dan elemen masyarakat lain bersama memanfaatkan potensi alam yang datang setiap saat ini.

Sedekah air hujan mulai 2015 dan dinamai “Gerakan Memanen dan Menabung Air Hujan Kecamatan Ternate Utara” atau (Gemma Camrata).

“Yang dimaksud gerakan sedekah itu bukan airnya. Tetapi menggugah para pihak turut serta bersedekah atau mendonasikan kelebihan dana untuk membangun sarana instalasi pemanfaatan air hujan,” katanya.

Upaya ini mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang namun ia mampu mendorong kesadaran berbagai pihak memanen dan menabung air hujan.

Berkat aksi ini, dia dinominasikan sebagai penerima penghargaan Kalpataru pengabdi lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Dia bersaing dengan nominator lain dari beberapa wilayah di Indonesia.

Kesibukan Zulkifli di Pemerintah Kota Ternate tak membatasi dia untuk melakukan kegiatan lain yang bermanfaat bagi masyarakat.

“Awal sekali saya lakukan saat sebagai Camat Ternate Utara 2015,” katanya.

 

Baca juga : Memanen Air Hujan ala Romo Kirjito

Sumur yang dibuat untuk menampung air kelebihan dari tangki. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Krisis air

Berawal dari prihatin dengan ketersediaan air di Ternate yang makin berkurang. Diawali krisis air di Ake Gaale. Kelurahan Sangaji Kota Ternate Utara. Sumber mata air ini tak hanya berkurang, juga kena intrusi air laut.

“Ake Gaale itu satu sumber air tanah di Ternate Utara yang diambil PDAM untuk kebutuhan air warga Ternate.”

Sebagai camat, ketika tahu ada masalah ini dia pun mengikuti pertemuan dengan berbagai pihak membahas masalah air tanah. Dari situ dia paham, ternyata air tanah itu sumber daya alam yang tak bisa tersedia terus menerus.

Ia bisa habis atau bisa berlebihan tergantung perlakuan manusia melalui konservasi.

“Pada 2015, saat krisis air itu baru orang sadar ternyata perlu dibangun sumur resapan. Waktu itu, di Kecamatan Ternate Utara tidak ada anggaran. Belum tahu bagaimana membuat sumur resapan. Yang orang tahu buat rembesan air,” katanya.

Karena krisis air makin serius, kemudian cari anggaran kelurahan untuk pembuatan sumur resapan.

“Waktu itu digelar rapat dengan para lurah bahas anggaran kelurahan langsung disampaikan perlu penggunaan dana untuk membangun satu sumur resapan satu kelurahan. Akhirnya, pada 2015 itu setiap kelurahan bangun satu sumur resapan. Ada 14 kelurahan.”

Setahun setalah bikin 14 sumur resapan, tak ada perkembangan atau seakan tak berefek.

Setahun berikutnya, ada usulan ke kelurahan melalui dana pembangunan kelurahan untuk membangun lobang biopori. Alokasinya. sama di tiap kelurahan dibuat puluhan titik biopori menyebar supaya masyarakat atau lembaga lain tahu.

Ternyata, gerakan ini juga belum terlalu berefek dalam pemulihan air tanah.

Pada akhir 2016, ada tim sekolah vokasi Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada (UGM ) datang ke Ternate dipimpin Profesor Agus Maryono. Mereka mau membuat instalasi pemanfaatan air hujan (IPAH).

Waktu itu, mereka bekerja sama dengan salah satu satuan kerja di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Bertepatan juga mereka membangun IPAH di sekolah sekolah, antara lain, SMA Negeri 4 Kota Ternate Utara. Saat bangun mereka undang wali kota.

Dari kegiatan ini baru tahu IPAH ini sangat bagus karena tak hanya menampung air hujan dengan penyaringan sekaligus punya sumur resapan.

 

Baca juga:   Simon Sanjaya, Sang Inovator Air Hujan

Zulkifli (kaos hitam) dan instalasi pemanfaatan air hujan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Setelah itu, wali kota mengundang tim UGM dan bertemu lurah, camat dan Kepala SKPD. Tujuannya, sosialisasi dan simulasi cara membuat IPAH.

“Dari sini gerakan ini saya adopsi untuk panen air hujan di Ternate. Jadi, panen air hujan ini mulai awal 2017 dengan tetap mengusulkan menggunakan dana kelurahan.”

Untuk membuat jaringan IPAH ini awalnya Zulkifli juga awam. Secara otodidak melalui konten YouTube maupun berselancar di internet, bahkan berusaha mengontak tim UGM dan meminta materi.

Akhirnya, dia bisa membuat satu IPAH di rumah warga kurang mampu dan mushala. Dari satu ini, kemudian jadi modal meminta dukungan berbagai pihak untuk donasi membangun IPAH dengan sumur resapannya.

“Kita promosikan Sedekah Air Hujan itu. Ada yang berdonasi untuk pembangunan IPAH. Kalau mereka tertarik berarti akan mendonasikan dana untuk pembuatannya. Kami lalu minta dukungan BUMN, perbankan maupun perusahaan swasta membantu mendonasikan dana,” katanya.

Dari gerakan ini ada permintaan warga Pulau Moti bangun IPAH. Di pulau kecil ini, dari 40 sumur dibangun hanya 20 yang airnya bisa dikonsumsi. Warga pun berinisiatif bangun IPAH.

“Gerakan ini sangat membantu mengurangi beban penggunaan air tanah. Kelebihan lain, saat hujan air akan masuk kembali ke tanah melalui sumur resapan yang dibangun.”

Gerakan penyadaran ini tak berhenti. Zulkifli terus kampanye dan sosialisasi IPAH hingga kini.

Dia pun diundang ke berbagai forum untuk berbagi pengalaman menginisiasi gerakan sedekah air hujan baik lokal maupun nasional.

“Pernah Hari Bakti 2018. saya diundang beberapa balai untuk bicara. Mereka ingin melihat best practice-nya.”

Dia bilang, kesadaran dan kepedulian masyarakat menabung air ini masih minim.

Dalam kampanye dan pendampingan panen air hujan ini dia bilang masih perlu optimalkan lagi, antara lain perlu ada regulasi daerah.

“Konservasi air yang masuk regulasi daerah baru sumur resapan. IPAH belum dilirik. Regulasi bisa perda atau peraturan wali kota yang mengikat kantor dan instansi wajib membangun IPAH di kantor masing masing.”

“[Dengan regulasi] bisa jadi landasan atau dasar siapapun melakukan konservasi air tanah, terutama di daerah yang sulit air di pulau-pulau kecil ini.”

 

Baca juga:  Menabung Air Hujan, Memanfaatkan Saat Kemarau

Zulkifli (baju dinas warna cokelat) di depan IPAH yang dia bangun di Kantor Camat Utara. Foto: Mahmud Ichi

 

 

*******

Exit mobile version