Mongabay.co.id

Suara Perempuan Masih Terabaikan dalam Proyek Pembangunan

 

 

 

 

Perampasan lahan, penggusuran pesisir, penguasaan sumber air oleh skala besar, perempuan paling merasakan dampaknya. Untuk itu, dalam setiap proyek atau pembangunan harus melibatkan perempuan.

Catatan Solidaritas Perempuan menyatakan, sampai saat ini perempuan masih diperhadapkan dengan berbagai situasi yang saling berkaitan buntut dari sistem patriarki dan kapitalisme. Solidaritas Perempuan menilai, negara justru makin menjauhi rakyat. Jargon solusi mengatasi krisis iklim sampai pemulihan pandemi COVID-19 hanya kedok bagi negara untuk memfasilitasi keuntungan segelintir orang.

Komite Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) melalui Conculding Observation yang keluar November 2021 menyebut, tak ada informasi perspektif gender dalam proses pengambilan keputusan pada proyek-proyek pembangunan membatasi partisipasi perempuan terutama perempuan pedesaan. Perempuan Indonesia pun masih belum merdeka dan berdaulat.

Arieska Kurniawatiy, Koordinator Program Badan Esekutif Solidaritas Perempuan menilai, banyak pembangunan pemerintah hingga sekarang tanpa melalui persetujuan perempuan. Terutama perempuan-perempuan yang berada di garis depan pembangunan.

Padahal, perempuan lekat dengan alam dan lingkungan hingga mereka akan menerima dampak langsung kalau pembangunan menyebabkan kerusakan lingkungan seperti pencemaran air. Pembangunan, katanya, juga berdampak pada ruang hidup dan pangan para perempuan.

 

Para aktivis usai takshow Solidaritas Perempuan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Konsolidasi

Ada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 26/2018 menyebutkan, perlu pelibatan perempuan dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin lingkungan dalam proyek pembangunan.

Ketentuan ini, katanya, dilemahkan UU Cipta Kerja, yang melihat partisipasi publik adalah penghambat bagi pembangunan hingga mereka susutkan.

Partisipasi publik, termasuk perempuan perlu, katanya, karena kelompok perempuan merupakan bagian dari masyarakat terdampak.

“Konsolidasi penting terutama di tingkat-tingkat kampung, agar kampung terjaga, permasalan bisa diketahui,” kata Ari di sela Talkshow sekaligus peluncuran Catatan Tahunan (Catahu) Solidaritas Perempuan di Tebet Barat, Jakarta 21 April lalu.

Catahu bertajuk “Geliat Perjuangan Perempuan Melawan Dominasi Kuasa di Tengah Pemulihan Palsu Negara” ini juga sebagai upaya mengingat kembali semangat perjuangan Kartini.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, seharusnya proyek pembangunan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam prosesnya, masyarakat lokal selalu jadi korban dalam proyek pembangunan, seperti dihadapi Wadon Wadas, perempuan Pubabu, dan perempuan Wawonii yang harus berhadapan dengan korporasi. Negara, katanya, justru memfasilitasi aparat yang seringkali melakukan kekerasan dan kriminalisasi.

Alih-alih mengubah pendekatan penanganan krisis iklim, kata Uli, negara justru menerapkan kebijakan berfokus pada upaya hilir, seperti pembangunan PLTA Poso Energy berdampak masif terhadap kehidupan perempuan. Selain kehilangan air bersih, para perempuan juga banyak kehilangan mata pencaharian.

Untuk itu, katanya, mengubah situasi ini perlu gerakan rakyat. Kunci paling efektif dan kuat, salah satunya gerakan tingkat desa dan kota terorganisir dengan baik.

“Kalau melihat posisi negara sudah fix memfasilitasi perampasan, memfasilitasi konflik, dan memfasilitasi permarjinalan perempuan.

Uli bilang, sudah saatnya masyarakat tak lagi bertumpu kepada pemerintah, karena sudah terlihat terang benderang bagaimana mereka mengurus kebijakan. Membuat UU juga berwatak eksploitatif.

 

Aksi warga termasuk perempuan Wadas protes penambangan di desa mereka untuk material bangun bendungan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Waspada solusi palsu

Khalisah Khalid, dari Greenpeace Indonesia mengatakan, dalam konteks demokratisasi proyek energi berkelanjutan, misal, sebenarnya ada banyak prinsip jadi pegangan pemerintah, salah satunya, pemenuhan hak masyarakat di sekitar.

Kalau masyarakat adat, katanya, perlu ada hak atas free prior informed consent (FPIC). Seharusnya, Alin, sapaan akrabnya, masyarakat juga mendapatkan informasi cukup terkait baik dan buruknya proyek pembangunan. Pada akhirnya masyarakat bisa menilai dan bebas menentukan setuju atau tidak atas pembangunan di wilayah mereka.

Sejauh ini, katanya, banyak proyek mengatasnamakan krisis iklim itu jauh dari kepentingan masyarakat. Bahkan, hak-hak mereka cenderung terabaikan. Untuk itu, katanya, perlu dorongan kuat kepada pemerintah agar beralih dari energi kotor menuju ke energi berkelanjutan dan berkeadilan.

Alin berharap, masyarakat tak terjebak pada solusi-solusi palsu yang sebenarnya untuk kepentingan investasi. Dia contohkan, di sektor Kehutanan misal mekanisme karbon trading yang ujung-ujungnya adalah bisnis.

Padahal, satu sisi sebagian masyarakat di akar rumput sebenarnya punya cara tersendiri dalam menghadapi krisis iklim, secara kolektif mereka bisa membangun ide-ide kreatif.

 

Fatria, salah satu perempuan Wowanii, yang berjuang menolak tambang. Dia meneteskan air mata usai mendengar pernyataan Lukman Abunawas yang akan mencabut 15 IUP di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

*********

Exit mobile version