Mongabay.co.id

Terulang Lagi: Pipa Gas Panas Bumi Sorik Marapi Bocor, Puluhan Warga Keracunan

 

 

 

 

 

Terjadi lagi kebocoran pipa gas pembangkit panas bumi PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) 24 April lalu. Pipa bocor itu berada di Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Sekitar 21 orang keracunan dan dilarikan ke rumah sakit.

Lumpur panas menyembur ke langit hingga 40 meter dan menggenangi area di sekitar lokasi proyek. Praktis warga panik karena lokasi berdekatan dengan pemukiman penduduk. Mereka berlari menjauh namun ada juga yang tergeletak dan bergelimpangan di jalan lalu mendapat pertolongan warga lain.

Dugaan kuat lumpur panas yang keluar bersama gas beracun hidrogen sulfida (H2S) terhirup warga desa yang menyebabkan mereka keracunan.

Beberapa waktu kemudian, satu mobil ambulans datang dan mengevakuasi warga korban diduga terhirup racun dari pipa bocor itu.

Peristiwa yang terjadi Minggu pagi sekitar pukul 9.00-14.50 WIB hingga kini semburan lumpur panas yang keluar bersama gas beracun masih terjadi.

Data Kepolisian Resort Mandailing Natal, setidaknya ada 21 warga dilarikan ke rumah sakit diduga keracunan gas ini.

Mengantisipasi korban jiwa kepolisian dibantu pemerintah desa dan warga lain mengevakuasi masyarakat yang tinggal dekat pembangkit ini.

Aparat kepolisian langsung mengamankan lokasi dan melakukan penyidikan.

AKBP HM Reza Chairul Akbar Sidiq, Kapolres Mandailing Natal pada Minggu mengatakan, sudah menyetop seluruh operasional di geothermal Sorik Marapi. Mereka juga membantu menghentikan luncuran lumpur panas yang keluar dari pipa bocor. Dugaan sementara, kebocoran terjadi ketika perusahaan melakukan mengebor di sumur 2.

“Laboratorium forensik Polda Sumut masih terus bekerja pendalaman kasus ini. Penyidikan masih dilakukan, hasilnya segera disampaikan,” kata Reza.

 

Baca juga: Kebocoran Gas Beracun di Pembangkit Panas Bumi Sorik Marapi, 5 Orang Tewas

 

Untuk para korban yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Panyabungan, katanya, diduga keracunan dengan ciri-ciri mual muntah pusing dan lemas.

Ke-21 orang yang jadi korban keracunan ini, empat laki-laki, 17 perempuan, satu bayi enam bulan. Para korban terus mendapat perawatan intensif dari pihak rumah sakit.

Muhammad Jakfar Sukhairi, Bupati Mandailing Natal menyesalkan kejadian terus terulang di pembangkit listrik panas bumi ini.

Pemerintah daerah meminta ada tindakan pemerintah pusat mengkaji ulang pembangkit ini. Apabila, kasus ini terus terjadi tak menutup kemungkinnan mereka menghentikan pembangkit ini walau keputusan ada di pusat.

Peristiwa ini, katanya, menyisakan banyak ketakutan dan kekhawatiran bagi masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi. Ada rasa takur dan khawatir ancaman terhirup gas beracun.

Pengelola pembangkit Sorik Marapi belum bisa memberikan penjelasan terkait kebocoran pipa gas sampai menyemburkan lumpur panas.

Saat memberikan penjelasan kepada pemerintah daerah yang meninjau lokasi, Yani Purnomo, supervisor SMGP menyatakan, fokus utama mereka menghentikan semburan lumpur panas yang keluar dari pipa. Juga mengatasi hal-hal yang tak diinginkan selanjutnya.

Mereka juga belum bisa menyampaikan penyebab utama dan akan ada investigasi lebih lanjut.

 

Baca juga: Temuan ESDM soal Gas Beracun Sorik Marapi

Warga yang keracunan gas karena pipa bocor pembangkit panas bumi Sorik Marapi. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Kebocoran pipa gas di panas bumi Sorik Marapi sudah berulang kali. Gas hidrogen sulfida yang keluar terhirup warga yang tinggal tak jauh dari pembangkit hingga menyebabkan keracunan. Bahkan, kejadian 25 Januari 2021, lima orang tewas terhirup gas beracun.

Selain memakan korban jiwa, puluhan warga juga dilarikan ke rumah sakit. Pada 6 Maret 2022, kebocoran gas dari pipa juga terjadi, sedikitnya 52 orang jadi korban dan dilarikan ke rumah sakit.

Tak sampai 30 hari, pipa gas bocor lagi mengeluarkan semburan lumpur panas bercampur gas beracun dan memakan korban 21 orang.

Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Edy Rahmayadi mendatangi SMGP di Desa Sibanggor Tongah, Kecamatan Puncak Sorikmarapi, 27 April ini. Dia melihat situasi dan bertemu warga terdampak.

Soal desakan masyarakat menutup operasional pengeboran di lokasi yang menyebabkan warga keracunan gas, kata Edy, bukan solusi tepat. Perlu ada jalan keluar agar kedua kepentingan tak merugikan satu sama lain.

“Kalau ditutup, tidak jalan pembangunan. Bukan itu solusinya. Tetapi bagaimana rakyat ini tidak korban, energi ini bisa kita ambil.”

Melky Nahar,  Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) 26 April lalu mengatakan, dalam ekstraksi panas bumi, air panas dan uap mengeluarkan gas hydrogen sulfide (H2S), yang bersifat korosif.

Dalam konsentrasi rendah, katanya, bisa mengiritasi mata, hidung, tenggorokan dan sistem pernapasan seperti mata perih dan terbakar, batuk, dan sesak napas. Pada penderita asma bisa jadi tambah berat penyakitnya.

Pemaparan berulang maupun jangka panjang, katanya, dapat menimbulkan gejala: mata merah, sakit kepala, fatigue, mudah marah, susah tidur, gangguan pencernaan, dan penurunan berat badan.

Dalam konsentrasi sedang, katanya, bisa menyebabkan iritasi mata dan pernapasan berat seperti batuk, susah bernapas, penumpukkan cairan di paru, sakit kepala, pusing, mual, muntah, mudah marah.

Ketika konsentrasi tinggi, ucap Melky, bisa menyebabkan syok, kejang, tidak bisa bernapas, tak sadar, koma, berujung kematian.

“Dampak kesehatan akibat H2S ini terjadi berulang di wilayah kerja panas bumi Mandailing Natal, Dieng, Mataloko, Ulumbu, Rimbo Panti, dan masih banyak WKP lain di Indonesia, ” katanya.

Metode fracking dalam ekstraksi panas bumi juga sangat berbahaya, mengingat potensi panas berada di perut bumi dipaksa keluar dengan menyemburkan air dan zat kimia untuk membocori tanah. Pencemaran, katanya, terjadi akibat larutan hidrotermal mengandung kontaminan seperti Arsenik, Antimon, dan Boron.

Belum lagi, air yang ditarik terus-menerus untuk keperluan geothermal itu bisa menyebabkan kepadatan tanah berkurang.

Sisi lain, terjadi thermal pollution karena panas yang diekstrak keluar dapat menyebabkan sekeliling lokasi PLTP kering. Bahkan, katanya, untuk proses pendinginan pipa juga berdampak luas kepada masyarakat.

 

Petugas foressik Polda Sumut ke lokasi kebocoran gas. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Ketika struktur tanah tidak stabil dan mengalami kekeringan, kata Melky, potensi bencana longsor pada musim hujan makin besar.

Seharusnya, kata Melky, dengan jatuh korban warga ini jadi peringatan bagi sektor panas bumi untuk memperbaiki diri.

Dengan kejadian berulang itu, katanya, mestinya tak sekadar memberikan sanksi berupa pemberhentian sementara, tetapi mencabut permanen izin SMGP. Lakukan investigasi terhadap perusahaan, dan penegakan hukum, baik korporasi, maupun pejabat pemberi izin.

Selain itu, lakukah pemulihan menyeluruh atas kerusakan, mulai kesehatan, ruang hidup seperti lahan pertanian, sumber air, dan lain-lain.

Kejadian di Sorik Marapi itu, katanya, mesti jadi momentum bagi pemerintah segera mengevaluasi seluruh proyek panas bumi di Indonesia. Kalau dibiarkan, katanya, tinggal menunggu kapan akan terjadi peristiwa serupa.

 

Keliru

Klaim geothermal sebagai energi terbarukan, atau energi “bersih” dia nilai keliru. Klaim itu, katanya, bersadarkan asumsi kalau panas dalam lapisan magma selalu tersedia.

Secara teknis, air yang bersumber dari hujan akan meresap ke dalam batuan di bawah tanah hingga mencapai batuan reservoir. Air ini kemudian terpanaskan oleh magma yang menjadi sumber panas utama hingga berubah menjadi air panas atau uap panas (fluida thermal) dengan kisaran temperatur 240-310’C.

Fluida thermal bisa untuk membangkitkan energi listrik. Caranya, pengeboran dan mengalirkan fluida thermal untuk menggerakkan turbin dan memutar generator hingga menghasilkan energi listrik.

Fluida thermal diinjeksikan kembali ke dalam reservoir melalui sumur reinjeksi untuk menjaga keseimbangan fluida dan panas hingga sistem panas bumi berkelanjutan.

Proses inilah, katanya,  yang menganggap panas bumi sebagai energi terbarukan.

Semburan lumpur di Sorik Marapi, yang menyebabkan puluhan warga keracunan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

*******

Exit mobile version