Mongabay.co.id

Kepiting Remangok dan Masa Depan Mangrove Pulau Bangka

 

 

Jika berkunjung ke Kota Pangkalpinang, Ibu Kota Kepulauan Bangka Belitung, tepatnya di dekat Jembatan Selindung, yang menghubungkan Pangkalpinang ke Sungailiat, terlihat sebuah patung  kepiting bakau [Scylla serrata] atau disebut kepiting remangok oleh masyarakat Bangka. Bagaimana kondisinya saat ini di tengah kerusakan mangrove?

Tidak jauh dari patung, terlihat sejumlah pondok sederhana, tempat para pedagang menjual kepiting. Para pembelinya, berasal dari berbagai kalangan masyarakat atau ada juga untuk  kepentingan rumah makan.

Dikutip dari tugas akhir Karma, mahasiswa Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Polteknik Pertanian Negeri Pangkep, Kalimantan Timur, berjudul “Pengolahan Abon Kepiting Bakau [Scylla serrata] di CV Dzakwan Food Kalimantan Timur”, dijelaskan bahwa jenis ini memiliki kandungan gizi tinggi. Ada kalsium, protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral dalam tubuhnya.

Berdasarkan penelitian Desi Herka Mayu, Dian Wijayanto, Abdul Kohar Mudzakir, Kurniawan, berjudul “Penentuan Komoditas Unggulan Perikanan Tangkap di Perairan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung”, disebutkan bahwa kepiting [bakau] termasuk komoditas potensial [ekonomi] di perairan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tentunya, selain ikan ekor kuning [Caesio erythrogaster], manyung [Arius Thalassinus], kurisi merah [Nemipterus furcocus], kerapu sunu [Piectropomus leopardus], dan pari [Dasyatis sp.].

 

Kepiting bakau [Scylla serrata], penghuni ekosistem mangrove Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Iis [42], pedagang kepiting remangok yang menetap di Gabek, Pangkalpinang, menjelaskan kepiting yang dijualnya didapatkan dari nelayan sekitaran Pagarawan [Kabupaten Bangka] hingga sejumlah wilayah di sepanjang Jalan Lintas Timur Bangka.

Kepiting banyak dikirim nelayan pada Juli- Desember. “Januari hingga Maret jumlahnya lebih sedikit,” ujarnya, pertengahan Maret 2022.

Pada musimnya [Juli-Desember], harga jual kepiting remangok kisaran Rp80 ribu-Rp120 ribu per kilogram. Tapi saat Januari-Maret, harganya bisa mencapai Rp200 ribu per kilogram untuk ukuran besar, dan Rp150 ribu per kilogram untuk ukuran kecil.

“Satu kilogram ukuran besar minimal dua kepiting, sementara satu kilogram ukuran kecil antara 4-6 kepiting,” jelas Iis.

Kepiting remangok memiliki ciri, kulit luarnya [karapas] hitam agak kemerahan, dan ada dua capit sama besar. Jenis ini seluruh tubuhnya tertutup cangkang. Terdapat enam buah duri di antara sepasang mata dan sembilan duri di samping kiri dan kanan mata.

Kepiting betina dan jantan dapat dibedakan dari organ reproduksi di bagian belakang tubuhnya [abdomen]. Kepiting betina memiliki abdomen lebih lebar, karena berfungsi menyimpan telur.

Namun, kata Masdi alias Bujut [51 tahun], nelayan kepiting remangok asal Perimping, Belinyu [Kabupaten Bangka], membedakannya cukup dari ukuran capit.

“Jantan memiliki ukuran capit lebih besar dibandingkan betina.”

 

Seorang warga menggunakan alat tangkap sederhana untuk mendapatkan udang galah di sekitar mangrove, Sungai Mendo, Desa Labuh Air Pandan, Kabupaten Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kearifan

Nelayan di Pulau Bangka, memiliki adab atau tata cara menangkap kepiting bakau. Tujuannya, agar tidak berkonflik dengan buaya muara [Crocodylus porosus].

Terhadap ancaman buaya muara, nelayan dilarang membawa telur ayam, pisang, serta membuang sisa makanan seperti tulang ayam ke air. Selain itu, mereka dilarang menggunakan racun atau alat setrum aki.

“Saya menggunakan bubu,” kata Masdi. Bubu yang digunakan berbentuk balok sepanjang 80 sentimeter, lebar lingkaran depan 15 sentimeter dan lingkaran belakang 50 sentimeter, yang terbuat dari kawat besi.

Sebelum meletakan bubu berisi umpan ikan kecil, Masdi menggunakan perahu mengitari kawasan bakau. Dia mencari lokasi yang tidak ada buaya muara atau diperkirakan banyak ditemukan kepiting bakau.

Darwis atau Ateng [49], nelayan yang mencari kepiting bakau di Mengkubung, Belinyu [Kabupaten Bangka], justru menggunakan jaring atau kail dengan umpan anak ikan. Terkadang, dia menggunakan kedua tangannya.

Baik Masdi maupun Darwis akan menuju hutan mangrove rimbun. “Jika hutannya bagus, dipastikan kepiting remangok juga banyak,” kata Masdi.

Friska Aprilia dalam penelitiannya berjudul “Keanekaragaman dan Kelimpahan Kepiting Bakau [Scylla sp.] Pada Kawasan Ekosistem Mangrove Pesisir Timur Kabupaten Bangka Tengah”, menyimpulkan kelimpahan kepiting bakau dipengaruhi kedalaman air dan salinitas.

“Semakin tinggi nilai kerapatan pohon [mangrove], semakin tinggi kelimpahan kepiting bakau,” jelasnya.

 

Kolong atau lubang bekas tambang yang terlihat jelas di sekitar Sungai Baturusa, Kabupaten Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Rusaknya mangrove dan aliran sungai

Ekosistem mangrove merupakan habitat kepiting remangok serta beragam jenis kepiting lainnya. Di sini, banyak tersedia makanan.

Namun masalah ekosistem penunjang, seperti aliran sungai, dan keberlanjutan ekosistem bakau di sungai, sering terusik dengan adanya penambangan timah ilegal dan sampah atau limbah di daerah aliran sungai [DAS].

Dikutip dari penelitian Hendi Hendra Bayu, Dwi Putro Tejo Baskoro, dan Latief Mahir Rachman dari IPB [Institut Pertanian Bogor] berjudul “Analisis Kinerja DAS Pendindang Pasca Tambang Timah Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung”, dituliskan berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bangka Belitung [2014], luas lahan kritis mencapai 14.4231,2 hektar [9%] dan lahan sangat kritis 117.860,85 hektar  [7%] dari 1.621,048,4 hektar luasan [daratan] Provinsi Bangka Belitung.

Berdasarkan data Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung [BPDASHL] Baturusa Cerucuk, dari luasan DAS di Kepulauan Bangka Belitung sekitar 1,6 juta hektar atau sebanyak 637 DAS, sekitar 20.687 hektar dalam kondisi kritis.

“Dulu, ketika hutan bakau masih lebat, mudah sekali mencari kepiting dan ikan. Di depan rumah bisa terlihat jelas gerombolan ikan belanak. Sepanjang tahun, bisa dapat ikan kakap [Lutjanidae spp.] dan juga kepiting, bahkan udang galah [Macrobrachium rosenbergii]. Sekarang, meski seharian mencari belum tentu dapat. Udang galah semakin sulit didapat, paling hanya jenis udang windu, itu pun tidak banyak, sering dijual sebagai umpan memancing,” kata Yusuf [45], nelayan dari Desa Baturusa [Kabupaten Bangka].

Kerusakan DAS akibat penambangan timah, juga menimbulkan konflik antara nelayan sungai dan penambang ilegal, seperti yang terjadi di wilayah DAS Baturusa [Kabupaten Bangka] dan Teluk Kelabat Dalam [Kabupaten Bangka dan Kabupaten Bangka Barat. Selain itu, terjadi konflik manusia dengan buaya muara.

 

Sungai Primping yang terhubung dengan perairan Teluk Kelabat. Foto: [drone] Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Selama 20 tahun terakhir, ratusan ribu hektar mangrove di Kepulauan Bangka Belitung mengalami kerusakan. Sebelumnya, luas mangrove yang mencapai 240.467,98 hektar, kini yang kondisinya baik hanya tersisa 33.224,83 hektar.

Sebaran mangrove 20 tahun lalu ebrada di Kabupaten Bangka [38.957,14 hektar], Kabupaten Bangka Barat [48.529,43 hektar], Bangka Selatan [58.165,04 hektar], Bangka Tengah [19.150,86 hektar], Belitung [65.658,06 hektar], dan Belitung Timur [43.232,28 hektar].

Kerusakan mangrove dan DAS  tentu saja menyebabkan terganggunya siklus hidrologi.

Dr. Roby Hambali bersama Fadillah Sabri dalam penelitian berjudul “Kajian Imbangan Air Pulau Bangka” pada 2013, menuliskan terganggunya siklus hidrologi dapat berbuntut panjang dari hulu hingga ke hilir.

Dampaknya, mulai dari sedimentasi sungai yang memicu intrusi air laut ke hulu sungai, yang mempengaruhi kualitas air permukaan maupun tanah, juga pada tataran ekonomi warga di sekitar sungai.

Selain aktivitas penambangan timah ilegal, sampah rumah tangga juga memengaruhi kualitas air sungai [DAS]. Tercemarnya air sungai ini berdampak pada kualitas [mengandung mikroplastik] ikan dan kepiting bakau.

Salah satunya, seperti pada DAS Baturusa yang menjadi sumber ikan dan kepiting bakau.

Hal ini tergambar dari penelitian Refa Riskiana pada 2020 dengan judul “Kelimpahan dan Komposisi Sampah Plastik dan Mikroplastik di DAS Baturusa Kepulauan Bangka Belitung”.

Dituliskan, kelimpahan sampah plastik di DAS Baturusa [tertinggi hingga terendah] yakni Sungai Mabet, Sungai Baturusa, muara Sungai Selindung, muara Sungai Rangkui, Sungai Limbung, Sungai Pangkalbalam, dan Sungai Selindung.

Komposisi sampah plastik didominasi golongan polypropylene [PP] sebesar 36 persen dan golongan polyethylene [LDPE] sebesar 24 persen.

 

Mangrove di Sungai Perimping di Kabupaten Bangka yang terdegradasi. Foto: [drone] Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Budidaya kepiting bakau

Kepiting remangok dapat dibudidayakan. Misalnya, yang dilakukan Kelompok Pembudidaya Ikan [Pokdakan] Perpat Permai, Kelurahan Air Jukung, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka. Budidaya tersebut melibatkan dua dosen Universitas Bangka Belitung, yakni Eva Prasetyono dan Denny Syaputra.

Sebelum adanya budidaya, daerah sekitar Perpat Permai sering dimanfaatkan masyarakat untuk menangkap kepiting bakau.

Lokasi kepiting bakau bersama ikan bandeng [Chanos chanos] berdekatan dekat dengan hutan mangrove [Pokdakan] Perpat Permai. Setiap tambak dengan ukuran 3 kali 2 meter [200 ekor] atau 4 x 2 meter [300 ekor] memiliki produksi antara 99,5-297,5 kilogram per panen [3-4 bulan].

Kedalaman tambak yaitu 0,5 – 1,5 meter. Dasarnya tanah dengan karakteristik lumpur berpasir. Kepiting bakau dan benih ikan bandeng ditebar di kolam. Bibit kepiting bakau yang dipilih ukuran seragam dengan berat 100-150 gram. Ukuran ini dicapai dalam proses pemeliharaan selama 3-4 bulan.

Bibit kepiting bakau didapat dari hasil penangkapan di alam oleh para nelayan sungai, ukuran relatif sama. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir terjadinya proses kanibal antarkepiting bakau.

Pemanenan dilakukan tidak dengan menguras air namun menggunakan ancho, jaring atau mengangkat waring. Proses nya secara parsial, pada kepiting bakau yang beratnya 200-250 gram atau 3-4 ekor per kilogram.

Harga jual untuk ukuran tersebut yaitu Rp80 ribu per kilogram. Keuntungan per tambaknya, sekitar Rp5-14 juta atau kisaran Rp9-29 juta untuk empat tambak.

 

* Riko Irwanto [Dosen Jurusan Biologi, Universitas Bangka Belitung], Baiq Desy Aniska [Dosen Jurusan Matematika, Universitas Bangka Belitung], Fahmi Rizal  [Dosen Jurusan Kimia, Universitas Bangka Belitung], dan Padlun Fauzi [Dosen Jurusan Manajemen, Universitas Bangka Belitung], mengikuti pelatihan jurnalisme lingkungan yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Universitas Bangka Belitung, 24-26 Januari 2022.

 

Exit mobile version