Mongabay.co.id

Cerita Sukses Perjuangan Ratusan Mama Bambu di Flores

 

Lebih dari 380 perempuan dewasa (mama) terlibat dalam program pembibitan dan penanaman bambu sejak 2021 di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka sudah menghasilkan lebih dari 2,5 juta bibit yang digunakan untuk menghijaukan lahan kritis di kampungnya. Sekaligus melestarikan tradisi dan budaya bambu yang lekat dengan kehidupan warga.

Memotong bakal bibit bambu di kebun, merawat, sampai menanam bukan perjalanan mulus. Banyak mama yang awalnya tidak percaya diri karena untuk kali pertama membuat bibit, terlebih jika tak didukung suami. Ada juga yang bekerja sendiri tanpa pasangan. Tak sedikit yang tekun dan berusaha menjaga bibit tetap hidup saat minim akses air di desa.

Perjuangan para mama bambu ini diperdengarkan di Kampus Bambu Turetogo, Desa Ratogesa, Ngada pada peringatan Hari Kartini, 21 April 2022. Dalam program Bamboo Collaborative Learning bertajuk Perempuan Penyelamat Alam: Cerita dari Desa Bambu yang dihelat Yayasan Bambu Lestari (YBL).

Mama Erna dari Desa Beja, Kabupaten Ngada bermimpi desanya tak lagi sulit air. Ia mukim di perbukitan, jauh dari mata air. Ketika YBL mengenalkan program pembibitan ini, ia mengira akan mudah. “Saya kira mudah, dikira ambil ranting saja. Kalau jenis bambu petung kan susah memotongnya,” katanya.

Desa Beja terlihat hijau, berada di perbukitan, sekitar 40 menit dari Kota Bajawa. Namun, sebagian warga kesulitan air. Erna juga khawatir tidak bisa membuat bibit karena ia sendiri harus membeli air. “Apalagi kami mulai menanam bibit di musim panas, harus beli air,” lanjutnya.

baca : Ribuan Bibit Bambu ditanam di Bendungan Napun Gete, NTT. Untuk Apa?

 

Cerita mama bambu dari berbagai wilayah di NTT di Hari Kartini. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Pengalaman yang tak pernah ia lupakan adalah ketika ia dan beberapa mama lain salah memotong bambu. Mereka mengambil rumpun orang lain, sehingga mendapat sanksi menggotong empat batang bambu yang sudah dipotong ke atas bukit.

Dengan bersemangat, Erna menceritakan suka dukanya belajar mengenal bambu yang cocok jadi bibit, cara memotong mata bilah bambu dengan parang, membuat alat penyiram sendiri dari kaleng susu bekas, sampai gotong royong menanam ribuan bibit dalam beberapa minggu. Semangat mama bambu di desa ini diapresiasi dengan alokasi dana desa untuk penanaman di lahan-lahan kritis sekitarnya.

“Penanaman bibit dengan dana desa, bibit dari mama, ditanam oleh mama,” urainya sumringah. Ia memberi usulan ke YBL agar program berikutnya jangan hanya pembibitan, karena dampaknya tak dirasakan langsung saat itu tapi beberapa tahun lagi seperti menambah debit air.

Erna mengatakan selama ini bambu hanya buat kandang, atap dan dinding rumah, belum dimanfaatkan untuk menambah nilai ekonomi lain. Ia minta pelatihan pemanfaatan bambu seperti anyaman dan kerajinan. Selain itu pengolahan rebung. “Selama ini hanya untuk sayur dan sambal, kami berharap juga bisa memperkenalkan rebung secara internasional,” harap mama dengan satu anak ini.

Semangatnya memulai sesuatu yang baru dilakukan seorang diri karena suaminya pergi merantau dan tidak pernah berkabar lagi. Syukurnya, para mama di kelompok ibu pelopor bambu di desanya kompak bekerja sama, mulai membuat bibit sampai dengan memikul bibit ke bebukitan untuk ditanam.

baca juga : Pande Ketut Diah Kencana, Peneliti Bambu Tabah untuk Konservasi dan Olahan Pangan

 

Mama Erna dan bibit bambu yang dia tanam. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Maria Lewa, Ketua PKK Desa Beja yang juga menjadi mama bambu menambahkan desanya terkendala air, sehingga harus cari solusi biar air lebih banyak. Ia mencontohkan, melanjutkan program penghijauan di sekitar mata air untuk keberlanjutan anak cucu ke depan. “Secara ekonomi, membuat bibit menambah penghasilan ibu untuk keluarga kami. Mereka berusaha timba air di kali, beli air tangki untuk siram. Tapi kami berharap tak hanya penanaman saja juga pengolahan bambu,” paparnya.

Program pelestarian bambu untuk penyelamatan lingkungan di NTT sebelumnya juga dirintis perempuan. Salah satunya, Linda Garland yang memulai pada 1992 saat gempa dan tsunami di Flores, kemudian mendirikan YBL. Pada 1995, YBL bekerja sama dengan pemerintah daerah membat gerakan penanaman satu juta bambu. Program ini dikembangkan anaknya, Arief Rabik dengan program 1000 bambu agroforestri didukung pemerintah dan sejumlah lembaga kolaborasi lainnya. Strateginya melalui pengarusutamaan gender dan inklusi.

Harapannya mampu merestorasi 8% lahan kritis di Indonesia, menyerap 16% emisi karbondioksida per tahun, menghasilkan 6-9 miliar USD/tahun, dan menciptakan peluang 1 juta lahan kerja.

Sejak 2021, kerjasama dengan Pemprov NTT meliputi pengembangan desa wanatani bambu melalui pemberdayaan perempuan dan pengembangan hasil hutan bukan kayu. Pemprov NTT mengalokasikan anggaran 8,6 miliar, di antaranya untuk pemberdayaan perempuan menyemai 2,8 juta bibit bambu di 7 kabupaten yaitu Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Ngada, Nagakeo, Ende, dan Sikka.

baca juga : Merawat Hutan Bambu, Memanen Beragam Manfaat

 

Area pembibitan mama bambu di Manggarai, NTT. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Valeria, akrab dipanggil mama Leri mengatakan program pembibitan ini sangat membantu kala pandemi karena selama itu anak perempuannya yang didiagnosis epilepsi kerap kambuh dengan gejala kejang, batuk, dan pilek. Ia takut anaknya dinyatakan positif Covid-19, karena itu ia merawat anaknya sambil membuat bibit bambu. Dari setiap bibit hidup, ia mendapat insentif Rp2500. Ini jadi penghasilan tambahan selain bekerja di ladang dan sawah setiap hari. Apalagi ia single parent dengan 3 anak.

“Saya tidak hanya ibu rumah tangga, juga kepala keluarga. Sangat bersyukur YBL membantu selama ini dalam pembibitan. Sekitar satu tahun menanam bibit, ada mama menolak, tapi saya membantu mereka cari bibit,” urianya dalam sesi berbagi cerita.

Hal paling sulit buatnya adalah susah air. “Ada mata air di bawah, tapi susah ditarik pompa karena terlalu jauh, rumah saya jauh dari sungai,” ungkapnya. Jika sudah 3 hari tidak hujan, ia berusaha beli air tangki. Harganya Rp70 ribu, ia membeli seminggu beli dua kali, termasuk untuk masak dan mandi. Ia juga bersyukur karena saling kerja sama dan berkelompok cari anakan bambu seminggu dua kali.

Mama lain, Albina juga senang karena menambah pembiayaan anak sekolah. Awalnya ia merasa sulit merawat bibit, tapi setelah penyuluhan mulai berjalan ia berlatih mencampur tanah dan abu sekam dalam polybag. Kemudian menghitung berapa lama waktu bertunas. “Kami merasa bangga karena tidak pernah tahu bambu bisa dibibitkan. Hanya tahu bambu nenek moyang,” urainya. Para mama membawa parang ke kebun, memilih bambu yang tidak terlalu muda dan tua, lalu memotong untuk mencari mata tangkainya.

Percobaan membuat bibit juga menghadapi masalah. Tidak semua bibit hidup. Sebagian mama memilih menyulam kembali bibit mati dalam polybag. Para mama diminta menumbuhkan 25 helai daun dalam tiap bibit. Mereka mengatakan belajar merendam tangkai bakal bibit ke air kulit bawang selama beberapa jam sebelum ditanam. Ada juga yang menyiram dengan air cucian beras.

Albina juga mengaku bangga karena untuk pertama kali bisa ke bank untuk menarik uang insentif. “Pegawai bank tanya, mama buat apa ramai ke bank? Kenapa mama, bukan bapak? Karena kelompok mama, ini bukti hasil dari bambu. Saat bencana Seroja, kemiri habis karena dahannya patah. Karena bambu bisa beli gula, beras, dan uang rokok untuk bapak,” ceritanya sumringah.

baca juga : Taman Bambu, Penyelamat Mata Air Sekaligus Tempat Wisata Edukasi

 

Rumah bambu di Kabupaten Ngada, NTT. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dalam acara mama bambu bercerita ini, hadir juga akademisi, aktivis lingkungan, dan pemimpin agam untuk merespon cerita mama.

Prof Elizabeth Widjaja, pensiunan LIPI, ahli taksonomi bambu mengatakan masalah krisis air harus segera dicari strateginya. “Kita harus menampung air, dari satu ruas bambu dalam satu hari bisa memenuhi plastik 1 kg,” ajaknya. Dampak penanaman bambu juga jangka panjang. Ia mencontohkan, sebuah desa menanam 14 hektar di suatu bukit, baru keluar air dan mengaliri tak hanya satu desa, juga 8 desa. Menanam bambu juga penting di lahan kritis seperti rawan longsor. Pengembangan bambu menurutnya sangat banyak misal daun bambu bisa jadi teh dan ulat bambu sebagai bahan pangan.

Desy Ekawati dari Badan Standarisasi Instrumen LHK, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut apa yang dilakukan para mama adalah bagian dari gerakan besar desa bambu. Mama menjadi bagian penting untuk penanaman dan pengelolaan. Menurutnya perlu ada kelanjutan program seperti pemanfaatan. “Perlu membangun visi desa bambu. Bagaimana jadi produk lebih beragam?” tanyanya. Program ini menurutnya meningkatkan peran mama dalam keluarga dan lingkungan.

Yuvensius Nonga dari Walhi NTT mengapresiasi upaya mama bambu karena tanaman ini bagian dari budaya Flores. Melestarikan bambu menurutnya melestarikan kuasa perempuan sebagai pewaris dan pengelola rumah adat di Ngada. Di sisi lain, ia menyayangkan cara pandang patriarki menganggap perempuan tidak menghasilkan.

Pendeta Mery Kolimon, Gereja Masehi Injili di Timor berkeinginan mengundang para mama bambu untuk mengajari mama lain di daerah lain seperti Timor, Alor, Rote, dan Sabu. Menurutnya gereja memiliki tanggungjawab pada pelestarian alam.

“Saya mau belajar dari mama bambu. Siklon Seroja merusak alam, ratusan rumah rusak. Bagaimana berdamai dengan alam, gereja juga melakukan pemulihan alam,” katanya. Ia tak hanya ingin belajar tanam bambu, juga membangun desa-desa bambu lain di NTT. Tantangan saat ini yakni akses air, menurutnya jadi beban ganda perempuan. Tak sedikit perempuan NTT harus keluar kampung jadi buruh migran dan korban perdagangan orang.

Demikian juga tokoh agama lain Kandida Longa, Ketua Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Bajawa. Awalnya ia mengaku tidak peduli dengan bambu, tapi mendengar keterlibatan mama bambu, ia ingin melibatkan jadi anggota dan pengurus WKRI dan membantu proses pembibitan.

 

Exit mobile version