Mongabay.co.id

Mikrobioma, Mahluk Tak Kasat Mata yang Jadi Harapan Pemulihan Dunia [bagian-1]

 

Para ilmuwan, pembuat kebijakan, dan masyarakat menjadi semakin sadar bahwa hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim, penggundulan hutan, dan polusi menyebabkan gangguan besar pada ekosistem Bumi.

Tetapi setiap hewan dan tumbuhan yang membentuk ekosistem ini juga dapat dianggap sebagai pencipta ekosistemnya sendiri, dimana keberagaman ini dapat menyediakan rumah bagi komunitas/kelompok mikroba tak terlihat yang belum banyak dieksplorasi, atau yang dikenal sebagai mikrobioma.

Saat ini, saat penelitian mikrobioma mulai meluas, tak hanya dalam bidang biomedis, konservasi dan ekologi, para ilmuwan menemukan keajaiban yang tak terlihat, yaitu: Dunia mikroskopis. Sayangnya mikrobioma ini sangat terancam oleh aktivitas manusia.

Para ilmuwan mulai memetakan krisis mikro dari keanekaragaman hayati yang ada di perut manusia dan hewan yang hanya dapat dipecahkan oleh solusi peningkatan keanekaragaman hayati.

Mereka juga menemukan bahwa mikroorganisme ini memiliki pengaruh yang sangat besar pada kita juga, dan bahwa dunia makro dan mikro sebenarnya saling bergantung satu sama lain dari segi kesehatan.

 

Kumpulan mikroba di lidah manusia. Setiap warna mewakili jenis mikroba yang berbeda. Bahan putih di inti mewakili sisa-sisa sel lidah manusia tempat mikroba tumbuh. Mikroba yang ditemukan di lingkungan dapat masuk ke tubuh manusia melalui mulut dan saluran hidung saat kita makan dan bernapas. Mikroba tersebut kemudian dapat tinggal di mikrobioma usus, mengubah dan menambah keragamannya. Foto: Steven Wilbert, Gary Borisy, Forsyth Institute; Jessica Mark Welch, Laboratorium Biologi Kelautan.

 

Keberadaan ekosistem tak kasat mata yang ada di dalam diri Anda

Istilah mikrobioma mengacu pada komunitas beragam bakteri, archaea sel tunggal, jamur dan virus yang hidup di atas atau di dalam organisme hidup lainnya. Mikroba yang ‘menumpang’ ini dapat membuat proporsi yang signifikan dari berat badan inang mereka: Mikrobioma manusia misalnya, beratnya hanya sekitar 2 kilogram (4,4 pon).

Kita menciptakan berbagai mikrobioma, seperti di kulit kita, di saluran udara kita, dan di sepanjang saluran pencernaan, Namun mikrobioma usus adalah yang terbesar dan yang paling banyak dipelajari, dan diyakini sebagai yang paling penting.

Orang sering menganggap mikroba usus berbahaya; E. coli, misalnya, merupakan penyebab umum keracunan makanan. Tetapi banyak mikroba usus lainnya, tidak hanya bermanfaat tetapi juga penting untuk memecah nutrisi makanan dan menghasilkan senyawa berguna yang dapat diserap dalam aliran darah.

Mikroba usus memainkan peran kompleks dalam pencernaan, kekebalan, bahkan kognisi, sesuatu yang hubungan dan perannya baru saja mulai terungkap dalam penelitian.

Salah satu hubungan yang terjalin dengan baik adalah interaksi antara mikrobioma usus dan kesehatan. Pada laboratorium hewan dan manusia, disfungsi mikrobioma usus telah dikaitkan dengan penyakit pencernaan (seperti kolitis ulserativa, penyakit radang usus dan diabetes tipe-2), alergi dan penyakit autoimun (seperti asma, demam, dan rheumatoid arthritis), serta kesehatan saraf dan mental (termasuk penyakit Alzheimer, depresi, dan kecemasan).

Memahami beragam spesies dalam mikrobioma usus, seperti bagaimana interaksi dan fungsinya dalam memberikan kekebalan dan mencegah penyakit telah menjadi tujuan penting bagi para peneliti dan dokter.

Namun, pengetahuan ini juga berubah dinamis, disebabkan mikrobioma selalu berubah dan berkembang, terutama karena sistem alami ini pun dipengaruhi oleh aktivitas manusia.

 

Tumbuhan dan hewan menyediakan rumah bagi komunitas mikroba yang tidak terlihat, yang dikenal sebagai mikrobioma. Mikrobioma usus tikus, digambarkan di sini dengan bakteri usus yang disorot dengan warna merah, telah memberikan wawasan berharga bagi penelitian di dunia biomedis. Foto: Galeri Gambar NIH/Flickr (CC BY-NC-SA 2.0).
Interaksi antara mikrobioma usus dan kesehatan sudah terbentuk dengan baik. Tetapi karena kita mendapatkan ekosistem mikroba kita melalui paparan mikroba dalam makanan dan lingkungan sekitar kita, maka secara logis bahwa kesehatan dan keragaman mikroba yang berkembang di lingkungan itu akan berdampak besar pada keragaman dan kesehatan flora usus yang dibudidayakan di dalam tubuh kita. Foto: NIAID/Flickr (CC BY 2.0).

 

Ekosistem yang sehat menjadi benih bagi beragam mikrobioma

Lalu, faktor-faktor apa saja yang menentukan spesies mikroba mana yang ada di usus kita? Hal ini cukup rumit.

Para peneliti tahu bahwa kita tidak dilahirkan dengan mikrobioma: Kita memperoleh ekosistem mikroba kita sejak lahir dan mengembangkannya sepanjang hidup melalui paparan mikroba dalam makanan dan lingkungan sekitarnya. Fakta menunjukkan pengaruh lingkungan pada mikrobioma kita sangat besar, bahkan kembar identikpun hanya berbagi 37 persen mikroba usus yang sama, terlepas dari kesamaan genetik mereka.

Jadi secara logis, kesehatan dan keragaman mikroba yang tumbuh subur di lingkungan eksternal berdampak besar pada keragaman dan kesehatan flora usus yang dibudidayakan di dalam diri kita.

Martin Breed, ahli ekologi restorasi di Flinders University di Adelaide, Australia Selatan, mengatakan “ternyata terdapat bukti kuat bahwa ada efek keragaman hayati [lokal] pada mikrobioma usus manusia,” sebutnya. “Kita menghisap mikroba yang ada di lingkungan. Mikroba itu lalu tinggal di tubuh kita.”

Tetapi tidak semua mikrobioma lingkungan diciptakan dengan cara sama: Makin lengkap keragaman hayati di ekosistem alami, maka akan lebih banyak mikroba bermanfaat dalam tubuh kita yang dapat ‘merakit’ mikrobioma yang sehat.

Dengan asumsi adanya hubungan erat antara keragaman hayati lingkungan dan komposisi mikrobioma, maka tidak mengherankan jika hilangnya habitat dan perubahan penggunaan lahan akan mengubah mikrobioma usus, tidak hanya di manusia tetapi juga hewan liar.

Sebuah studi misalnya, menemukan bahwa monyet howler hitam (Alouatta pigra) yang menghuni hutan tropis Meksiko menyimpan bakteri yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan individu yang hidup di habitat yang terfragmentasi.

Fakta lain, urbanisasi diketahui mendorong perubahan mikrobioma pada usus manusia dan hewan. Sebuah studi tentang mikrobiota tinja manusia, kadal anole, dan coyote di Puerto Rico menemukan bahwa manusia dan hewan perkotaan memiliki banyak spesies mikroba usus yang sama, yang berbeda jika dibandingkan dari mikrobiota usus mereka yang tinggal di daerah pedesaan.

 

Para ilmuwan telah menemukan bahwa kebutuhan warga terhadap ruang hijau keanekaragaman hayati – apakah itu taman nasional atau taman kota – juga memaparkan mereka pada keragaman mikroba lingkungan, yang penting untuk mengembangkan mikrobioma usus yang sehat. Foto: RedCany0n/Flickr (CC BY-NC-ND 2.0).

 

Gaya hidup perkotaan mengurangi paparan mikroba dari lingkungan

“Dari lingkungan alami dan dari tanah kita memperoleh spora [bakteri],” sebut Graham Rook, profesor mikrobiologi klinis di University College London.

“Organisme ini lalu mendorong penggerak yang mengatur sistem kekebalan tubuh, yaitu seperti jaringan kita sendiri atau alergen yang tidak berbahaya.”

Sejumlah penelitian telah menghubungkan pengurangan paparan mikroba lingkungan di kota-kota dengan peningkatan risiko penyakit kronis dan autoimun yang berkembang biak di lingkungan perkotaan, terutama di negara-negara industri.

Ketika para ilmuwan pertama kali mulai memperhatikan hubungan antara paparan mikroba lingkungan dan kesehatan manusia serta fungsi kekebalan, mereka berhipotesis bahwa kebersihan yang berlebihan dapat menjadi penyebab ledakan alergi dan penyakit autoimun di negara-negara industri Barat.

“Hipotesis kebersihan” menjadi populer pada dekade 1980- 90-an. Namun, penelitian selama beberapa dekade menunjukkan bahwa masalahnya bukanlah kurangnya paparan patogen di rumah, tetapi kurangnya paparan beragam mikroba bermanfaat di lingkungan.

Ini merupakan hasil dari meningkatnya urbanisasi dan polusi kimia, pengenalan makanan olahan, dan banyaknya aspek kehidupan modern yang mengurangi mikroba.

 

Sejumlah penelitian telah mengaitkan pengurangan paparan terhadap beragam mikroba lingkungan yang bermanfaat di kota dengan peningkatan risiko penyakit kronis dan autoimun yang berkembang biak di lingkungan perkotaan, terutama di negara-negara industri. Tokyo, seperti Digambar ini, adalah salah satu kota yang paling padat bangunannya di Bumi, menyisakan sedikit ruang untuk alam. Foto: Marc Veraart/Visualhunt (CC BY-ND 2.0).

 

Lingkungan perkotaan tidak hanya membatasi paparan kita pada mikrobiota yang bermanfaat dari ekosistem alami, tetapi juga “ibarat menghancurkan kekayaan hutan hujan lewat serangan antibiotik”.

Setelah terbentuk, mikroba berbahaya dapat menikmati keunggulan kompetitif dibandingkan koloni yang bermanfaat, sehingga sulit untuk membalikkan kerusakan mikrobioma usus jika sudah terlanjur.

“Kita memang perlu menemukan inang mikrobiota [kita], dan mikrobiota lingkungan alam, khususnya di awal kehidupan, saat sistem kekebalan dan mikrobiota usus sedang terbentuk,” kata Rook.

Manusia berevolusi bersama dengan mikroba ini selama ribuan tahun dan mereka sangat penting untuk mengatur banyak aspek fisiologi bagi bayi. Pengaruh mikroba lingkungan pada mikrobioma kita terus berlanjut sepanjang hidup kita.

Namun, deforestasi dan perubahan lingkungan lahan turut menghancurkan keragaman hayati secara global. Ia mengubah ekosistem yang kaya menjadi pertanian monokultur dan distrik metropolitan yang luas. Itu membuat penyerapan mikrobioma alami kita sendiri menjadi berubah.

 

Sembilan batas planet, berlawanan arah jarum jam dari atas: perubahan iklim, integritas biosfer (fungsional dan genetik), perubahan sistem lahan, penggunaan air tawar, aliran biogeokimia (nitrogen dan fosfor), pengasaman laut, polusi aerosol atmosfer, penipisan ozon stratosfer, dan pelepasan bahan kimia baru (termasuk logam berat, bahan radioaktif, plastik, dan lainnya). Dokumen diagram milik: J. Lokrantz/Azote berdasarkan Steffen et al. 2015 (melalui Stockholm Resilience Centre).

 

Pelanggaran batas ‘planet’ yang mendorong perubahan mikrobioma

Hilangnya keragaman hayati dan perubahan penggunaan lahan mewakili dua dari sembilan batas planet, yaitu proses sistem operasi yang menjaga kondisi di Bumi stabil dan layak huni bagi peradaban manusia selama 12.000 tahun terakhir.

Tetapi pelanggaran atas batas planet yang diakibatkan oleh aktivitas manusia (termasuk perubahan iklim, pengasaman laut, polusi aerosol atmosfer, dan polusi entitas kimia baru) telah mengganggu hubungan antara tumbuhan, hewan, manusia, dan mikrobiota mereka.

Contohnya, beruang kutub (Ursus maritimus) di Greenland Timur, -di mana es sepanjang tahun memungkinkan predator ini memakan makanan alaminya yaitu anjing laut, memiliki mikrobioma usus yang berbeda dari beruang kutub di Laut Beaufort Alaska. Lokasi di mana pencairan es laut telah memaksa populasi itu menghabiskan lebih banyak waktu mencari makan di darat.

Para peneliti menemukan bahwa beruang di Greenland Timur memiliki tingkat Bacillus dan Coriobacteriia yang lebih tinggi, yaitu kelompok bakteri yang dianggap penting dalam menjaga kesehatan usus. Saat manusia mengubah biosfer di sekitar kita, kita juga mengubah flora dan fauna yang ada di usus kita.

 

Populasi beruang kutub di wilayah Laut Beaufort dekat Alaska memiliki mikrobioma usus yang berbeda sebagai akibat dari perubahan pola makan yang disebabkan oleh pencairan es laut yang disebabkan oleh perubahan iklim, termasuk berkurangnya kelimpahan kelompok Bacillus dan Coriobacteria yang dianggap penting dalam menjaga kesehatan usus mereka. Foto: Christopher.Michel/ VisualHunt.com.

 

Pemulihan mikrobioma dan restorasi ekologi

Alih-alih mengobati gejala kesehatan mikrobioma manusia yang buruk dengan pil atau probiotik, ahli ekologi restorasi telah mengusulkan obat pencegahan holistik, yang dikenal dengan istilah “pemulihan mikrobioma.”

Teknik ini, yang diilhami oleh praktik konservasi restoratif, bersifat merehabilitasi ruang alami di tingkat makro untuk menumbuhkan beragam mikroba lingkungan hingga dapat menyemai mikrobioma yang lebih sehat pada manusia dan satwa liar.

Bagi banyak penduduk kota, beberapa ruang hijau perkotaan alami, menjadi penyedia warga untuk kembali ke ekosistem semi-liar secara reguler.

Memperbanyak lokasi ruang terbuka hijau penuh tetumbuhan, dapat bermanfaat dalam meningkatkan keanekaragaman mikroba lingkungan, sehingga meningkatkan mikrobioma manusia yang pada akhirnya mengurangi kejadian penyakit kekebalan kronis.

“Perawatan ekologi restorasi klasik, seperti revegetasi, penanaman kembali tanaman asli, perawatan spesies invasif dan hama dapat digunakan untuk memulihkan mikrobioma tanah di ekosistem yang terdegradasi,” kata Breed. “Manfaat tambahannya tidak hanya untuk lingkungan, tetapi juga untuk manusia melalui mikrobioma.”

Penelitian Breed menunjukkan, misalnya pada tikus, sejumlah paparan kecil tanah penuh keragaman hayati dapat memiliki dampak positif pada mikrobioma usus tikus serta perilakunya.

 

Singapura, negara pulau yang terkenal dengan banyaknya ruang hijau di perkotaan, yang menurut penelitian dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan manusia. Foto: Engin_Akyurt/Pixabay.

 

“Tikus betina menunjukkan pengurangan perilaku tertentu seperti kecemasan yang dapat kami lacak hingga ke bakteri penghasil butirat tanah dengan keragaman hayati tinggi yang masuk ke usus tikus ini melalui udara.”

Para peneliti lain di Finlandia menemukan bukti bahwa cara ini dapat berhasil dengan membawa tanah dari hutan dan vegetasi ke taman bermain pusat penitipan anak. Ini mengubah komunitas mikroba usus anak-anak dan menurunkan penanda inflamasi dalam darah mereka hanya setelah 28 hari.

Breed memuji penelitian tersebut, menggambarkannya sebagai “bukti terbaik yang tersedia dari paparan langsung terhadap keanekaragaman hayati mikrobioma dari lingkungan yang mengubah usus [mikrobioma] anak dan membentuk sistem kekebalan mereka.”

Potensi dampak positif peningkatan keterpaparan dari ekosistem alami bahkan dapat meluas hingga secara langsung meningkatkan kesejahteraan mental kita.

 

Bersambung ke bagian kedua: Meski Tak Tampak, Kesehatan Mikrobioma Nyata untuk Keberlanjutan Ekosistem Bumi

 

***

Gambar Utama:

Di tingkat laboratorium, disfungsi mikrobioma usus telah dikaitkan dengan penyakit pencernaan (seperti kolitis ulserativa, penyakit radang usus dan diabetes tipe II), alergi dan penyakit autoimun (seperti asma, demam, dan rheumatoid arthritis), bersama dengan kontribusi terhadap masalah kesehatan saraf dan mental (termasuk penyakit Alzheimer, depresi dan kecemasan). Dokumen gambar: Laboratorium Nasional Pacific Northwest melalui Flickr (CC BY-NC-SA 2.0).

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Akita A. Verselita. Sumber asli berasal dari artikel: Unseen Crisis: Threatened gut microbiome also offers hope for world

 

 

 

Exit mobile version