Mongabay.co.id

Menanti Keseriusan Lindungi Wilayah Adat

 

 

 

 

Pengakuan dan perlindungan hak wilayah bagi masyarakat adat masih menemui jalan panjang dan berliku. Regulasi berbelit. Sisi lain, kehidupan dan ruang hidup mereka terus terancam.

Sampai Maret 2022, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menyebutkan, telah meregistrasi 1.091 peta wilayah adat mencapai 17,6 juta hektar tersebar di 29 provinsi dan 141 kabupaten dan kota. Wilayah yang sudah menerbitkan peraturan daerah untuk pengakuan masyarakat adat ada 667 peta, seluas 13,76 juta hektar. Ada sekitar 2,15 juta hektar wilayah adat belum memiliki payung hukum pengakuan.

Kasmita Widodo, Kepala BRWA mengatakan, hingga kini mekanisme penetapan hutan dan wilayah adat harus melalui peraturan daerah baik di tingkat provinsi dan kabupaten dan kota.

Meski banyak hutan adat sudah memenuhi syarat, mereka masih belum juga mendapatkan penetapan dari pemerintah.

Berdasarkan data KLHK, pengakuan hutan adat mengalami peningkatan meski belum signifikan. KLHK menerbitkan 89 surat keputusan pengakuan hutan adat mencapai 89.783 hektar, atau 0,65% dari potensi hutan adat yang tercatat BRWA.

Sedangkan yang masuk dalam wilayah indikatif hutan adat oleh pemerintah baru sekitar 1.091.109 hektar. “Dalam beberapa pertemuan dengan lembaga negara, kami mengusulkan 27 lokasi prioritas hutan adat untuk ditetapkan.

 

 

Baca juga: BRWA Rilis Peta Terbaru Wilayah Adat, Berharap Pemda Percepat Proses Pengakuan

Hutan adat di Jayapura yang terbabat. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Sampai saat ini, baru tiga hutan adat diakui. Sudah ada sekitar 1 juta hektar wilayah sudah memenuhi syarat kelengkapan peraturan daerahnya dan surat keputusan masyarakat adat,” ujar Kasmita dalam webinar Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Ujung Pemerintahan Joko Widodo, baru-baru ini.

Usep Setiawan, Tenaga Ahli di Kantor Staf Presiden, mengatakan, pemerintah pusat dan daerah terus berupaya bersama kementerian dan lembaga terkait mempercepat proses penetapan hutan adat dan melindungi masyarakat adat.

“Perlindungan ini bukan sampai akhir pemerintahan Jokowi. Ini pekerjaan sepanjang hayat yang tidak dibatasi pemerintahan, ini komitmen bersama,” katanya.

Dia bilang, pemerintah berupaya mempermudah proses percepatan dan berharap pemetaan masyarakat bisa jadi bahan rujukan bagi KLHK dalam verifikasi lebih lanjut. “Penting ada keterlibatan kementerian dan lembaga dalam perlindungan masyarakat adat agar lebih efektif.”

Yuli Prasetyo Nugroho, Kepala Subdit Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal KLHK mengatakan, dinamika regulasi terus dilakukan mengikuti perkembangan situasi di lapangan.

 

Status terbaru pengakuan wilayah adat di Indonesia dari BRWA, terjadi peningkatan jumlah wilayah adat yang teregistrasi seluas 5 juta hektar. Foto: BRWA

 

Pemerintah, katanya, juga berupaya mempercepat upaya penetapan dengan meringkas beberapa prosedur, seperti pemerintah daerah dan DPRD tak perlu menerbitkan perda untuk satu kelompok adat. Upaya penetapan hutan adat juga ada dalam program perhutanan sosial.

“Tapi kami tidak bekerja sendiri. Kami sangat bergantung pada Peratuan Menteri Dalam Negeri 52/2014 tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat,” katanya.

Dalam proses pengakuan hutan adat, katanya, KLHK berada di ujung dalam mengurus obyeknya. “Sedangkan kewenangan mengakui subyek berjenjang, ada di kabupaten, provinsi, bahkan membutuhkan peraturan pemerintah jika wilayah adat lintas provinsi,” katanya.

Yuli mengatakan, upaya percepatan pengakuan ini perlu terus didorong sebagai perencanaan bersama. Terlebih, penetapan hutan ini menjadi satu upaya penyelesaian konflik.

“Dalam satu kabupaten bisa dalam satu perda. Jika belum ada perda kami bisa masukkan dalam peta indikatif yang sudah ditetapkan dalam tim terpadu untuk mengamankan wilayah adat supaya tidak masuk izin-izin baru.”

Dari Kementerian Dalam Negeri, berbicara terkait administrasi desa adat. Wirahman Dwi Bahri, Direktur Jenderal Pemerintahan Desa, Kementerian Dalam Negeri, menyebutkan hingga kini belum ada desa adat terdaftar dalam penataan administrasi desa adat di Kemendagri.

Hingga 2022, baru ada satu desa yang berproses jadi desa adat di Kabupaten Jayapura, Papua. Prosesnya, sudah dalam tataran rekomendasi penyesuaian kode desa menjadi desa adat.

“Terobosan dari kami agar ada percepatan.”

Dia bilang, sudah memberikan ruang bagi pemerintah daerah menetapkan wilayah adat yang berkarakteristik desa adat sepanjang ada embrio masyarakat adat.

Soal perlindungan mereka, mengacu pada permendagri 52/2014. “Hingga kebijakan pemda menetapkan status tapi bukan menambah jumlah desa yang ada.”

Kalau proses administrasi hutan adat ini jadi desa adat, katanya, pendataan dan pengklasifikasian bisa masuk dalam peta tematik Kebijakan satu peta.

Terkait kebijakan satu peta yang mengalami perpanjangan dari Perpres Nomor 9/2016 menjadi Perpres Nomor 23/202. Peta tematik wilayah adat belum ada terintegrasi dengan geoportal Kebijakan Satu Peta. Walaupun, katanya, sudah banyak peta wilayah adat mendapatkan kepastian hukum melalui perda maupun surat keputusan kepala daerah.

“Kami berharap kepada presiden, kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah untuk serius menjalankan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia,” kata Kasmita.

 

Warga Iban mendayung sampan di Sungai Utik di hutan adat Sungai Utik di Kalimantan Barat. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

 

********

 

 

 

Exit mobile version