Mongabay.co.id

Ulat Bambu, Sustainable Food dari Hutan Bambu Ngada

 

Sefrin terlihat menyangrai ulat di wajan tanpa minyak di atas tungku kayu bakar. Lima belas menit kemudian semangkok hidangan ulat berkilat kecokelatan terlihat di meja makan.

Awalnya ragu untuk mencoba karena ulat ini terlihat apa adanya tanpa bumbu. Namun, rasa penasaran menggerakkan tangan untuk mengambil satu sendok ulat bambu matang.

Saat memasukkan satu sendok nasi dengan tambahan beberapa buah ulat, citarasa gurih dan renyah langsung memikat lidah. Tidak ada tekstur lembek atau berlendir seperti dugaan awalnya. Ulat bambu ini terasa lengkap dengan bumbu minimalis garam halus, cabe, dan perasan jeruk nipis saat dihidangkan.

Rasa penasaran menyergap. Di mana ulat ini ditemukan dalam batang bambu? Bagaimana cara menemukannya?

Sefrin, pekerja di Kampus Bambu di Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dikelola Yayasan Bambu Lestari (YBL) bersedia menunjukkan cara mencarinya keesokan harinya pada pertengahan April 2022.

Dengan mengendarai sepeda motor, kami memulai perjalanan ke ladang-ladang bambu di desa sekitar kampus bambu. Langkah pertama adalah minta izin ke pemilik kebun bambu yang akan kami datangi.

Pemiliknya adalah seorang mama yang mukim di sebuah rumah adat khas di Kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebuah rumah Soa yang dikelola perempuan, karena tradisi Ngada memberikan hak kelola rumah adat pada perempuan. Rumah utama ini menghadap dua bangunan tradisional lebih kecil dari bambu dan rumbia yang menyimbolkan leluhur laki-laki (Madhu) dan perempuan (Bhaga). Madhu dan Bhaga yang menjadi poros dari rumah adat ini memiliki bentuk berbeda, sesuai representasinya. Rumah adat yang indah dan bermakna dalam.

baca : Cerita Sukses Perjuangan Ratusan Mama Bambu di Flores

 

Sefrin mencari ulat dalam bilah pohon bambu di rumpun hutan bambu di Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, NTT. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Di halaman depan juga nampak dua ternak, sapi dan kambing sedang merumput. Rumah adat, ternak, dan bambu adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga di kawasan ini.

Setelah mendapat izin, perjalanan dilanjutkan beberapa menit kemudian ke ladang bambu. Dengan cekatan, Safrin mengecek setiap rumpun bambu. Rumpun bambu bagian dalam terlihat sudah ada yang mencongkel untuk mencari ulat bambu.

Ia beralih ke rumpun bambu di pinggir jalan. “Kalau pencari ulat tanpa izin tidak berani cari yang di bagian depan, mereka mencari di dalam ladang,” seru Sefrin.

Pria ini menunjukkan ciri-ciri bambu dengan ulat di dalam. Ciri-ciri khas adalah kemungkinan berada di bambu yang jarak antar bilah lebih pendek. Kemudian ciri berikut, ada lubang kecil yang tidak teramati mata jika tak berpengalaman. Dari lubang inilah kumbang atau ngengat, meletakkan telur-telurnya yang menetas jadi ulat bambu.

Serangga berhasil melubangi penutup bilah bambu bagian dalam untuk bergerak di antara bilah batangnya. Untuk memastikan kehadiran para ulat, Sefrin mencongkel salah satu batang bambu yang memenuhi ciri-ciri di atas. Ia tak salah menebak, parangnya berhasil menemukan beberapa bilah dengan kumpulan ulat bambu putih lunak yang sedang bertumbuh.

Pengetahuan lokal yang diyakini Sefrin menyatakan jika dibiarkan, ulat-ulat ini akan menjadi kumbang yang tak terkendali dan mengurangi rumpun bambu karena senang makan rebung, bambu muda.

Di sisi lain, melubangi bambu untuk menemukan ulat juga akan merusak dan menghambat pertumbuhan rumpun bambu. “Kalau ulat-ulat ini tidak dicari, makin sedikit bambu tumbuh,” kata Sefrin menjelaskan upaya lokal menjaga keseimbangan dan pengendalian hama.

baca juga : Pande Ketut Diah Kencana, Peneliti Bambu Tabah untuk Konservasi dan Olahan Pangan

 

Menemukan ulat bambu perlu pengalaman identifikasi pada pohon bambu yang tepat. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Setelah batang bambu dicongkel, kerumunan ulat terlihat jelas. Mereka tinggal di antara bilah bambu. Sefrin menyiapkan wadah bambu untuk menampung puluhan ulat itu. Ia berhasil mengumpulkan cukup banyak dari tiga batang bambu dalam satu rumpun yang sama.

Para ulat menggeliat, bergerak lincah ketika dikeluarkan dari batang bambu. Sejumlah warga menyebut alur hidup metamorfosis ini cukup lama. Kebanyakan ulat bambu ditemukan di jenis bambu pering dan aur karena lebih mudah dilubangi dibanding bambu petung yang berukuran paling besar. Warga sekitar menyebut ulat ini dengan bahasa lokal, fete peri. Selanjutnya jika sudah berkembang jadi serangga, disebut dengan fuku.

 

Mengolah ulat bambu

Ketika sudah berpengalaman mengidentifikasi bambu-bambu dengan ulat di dalamnya, proses mengumpulkan fete peri ini cukup singkat, sekitar 30 menit. Setelah itu, tinggal mengolahnya jadi hidang indah bernutrisi tinggi.

Sampai di dapur, ulat dicuci bersih. Siapkan penggorengan panas tanpa minyak, lalu cemplungkan ulat sambil terus membolak baliknya dengan sutil. Agar tidak gosong dan kematangannya merata. Proses pemasakan awal adalah menghilangkan kadar air ulat, disangrai sekitar 15 menit dengan api sedang. Setelah kecokelatan, permukaan ulat tampak mengkilat, seolah ada minyak yang keluar. Inilah yang membuat teksturnya jadi agak renyah saat mencapai kematangan pas.

Lima menit sebelum diangkat, bumbu minimalis terdiri dari cabai, bawang putih diulek ditambahkan di ulat yang disangrai. Bolak balik dengan sutil sampai bumbu terserap, terakhir ditaburi garam halus dan perasan jeruk nipis. Aroma gurih dan wangi merebak di udara. Ulat bambu pun siap disantap.

Menu pendamping yang cocok untuk protein ulat ini adalah sayur pucuk daun labu yang banyak di ladang. Tumis pucuk labu ini memberikan kesegaran berpadu gurih ulat bambu. Lengkapi menu ulat bambu ini dengan karbohidrat lokal seperti ketela dan sambal khas setempat seperti sambal dabu-dabu atau sambal favoritmu.

baca juga : Om Utu, Petani Organik yang juga Maestro Musik Bambu Sangihe

 

Ulat bambu matang, disangrai dengan bumbu minimalis menjadi makanan khas alternatif sumber protein di Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, NTT. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Budidaya ulat bambu

Sejumlah laman artikel pertanian memuat tentang cara budidaya ulat bambu. Bahkan ada tutorial yang dirangkum WikiHow dari berbagai sumber untuk budidaya di substrat. Ulat bambu, yang merupakan larva dari kumbang, disebutkan membutuhkan 10 minggu atau lebih untuk melalui siklus hidup mereka dan bereproduksi menghasilkan ulat bambu baru. Mereka akan berubah dari larva menjadi kepompong, lalu dari kepompong menjadi kumbang dewasa. Kumbang dewasa akan kawin dan bertelur di substrat, yang akan menetas 1 hingga 4 minggu kemudian.

Di beberapa laman e-commerce nampak sejumlah akun menjual ulat bambu dengan rata-rata harga Rp10-20 ribu untuk sekitar 10 ekor ulat hidup. Ulat ini disebut dalam sejumlah istilah seperti cilung, cancilung, atau grantang.

Ulat dan serangga mulai banyak diteliti sebagai sumber protein yang mampu menjawab masalah krisis iklim. Dikutip dari BBC Indonesia yang mengutip disebutkan keengganan untuk memakan serangga ini berarti melewatkan kesempatan.

“Serangga benar-benar bagian penting yang hilang dari sistem makanan,” kata Virginia Emery, kepala eksekutif Beta Hatch, perusahaan rintisan AS yang menciptakan pakan ternak dari ulat bambu.

“Serangga adalah makanan super. Gizi super padat, banyak nutrisi dalam kemasan yang sangat kecil.” Oleh karena itu, serangga yang dibudidayakan dapat membantu mengatasi dua masalah terbesar dunia sekaligus, kerawanan pangan dan krisis iklim.

perlu dibaca : Esti Asih Nurdiah dan Penelitian Bambunya

 

ulat bambu ini jadi bahan pangan alternatif di di Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, NTT. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Pertanian adalah pendorong terbesar hilangnya keanekaragaman hayati global dan penyumbang utama emisi gas rumah kaca. Memelihara ternak menyumbang 14,5% dari emisi gas rumah kaca global, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).

“Kita berada di tengah kepunahan massal keanekaragaman hayati, kita berada di tengah krisis iklim, namun pada saat yang sama kita perlu memberi makan populasi yang terus bertambah,” kata ahli serangga Sarah Beynon, yang mengembangkan makanan berbasis serangga di Bug Farm di Pembrokeshire, Wales.

“Kita harus berubah, melakukan perubahan besar.” Budidaya serangga hanya memerlukan tanah, energi dan air lebih kecil dari yang dibutuhkan untuk pertanian tradisional. Jejak karbonnya pun jauh lebih rendah.

Jangkrik menghasilkan hingga 80% lebih sedikit metana daripada sapi dan amonia 8-12 kali lebih sedikit daripada babi, menurut sebuah penelitian oleh para peneliti di Universitas Wageningen di Belanda.

Metana adalah gas rumah kaca yang sangat kuat yang, meskipun hanya akan berada di atmosfer sebentar, tapi memiliki dampak pemanasan global 84 kali lebih tinggi daripada karbondioksida selama periode 20 tahun.

Tak banyak referensi penelitian di Indonesia terkait ulat bambu yang bisa ditemukan online. Hal itu membuka fakta-fakta ulat bambu bisa memberikan konteks baru terkait keanekaragaman hayati, ketahanan pangan, dan tradisi lokal yang menjawab masalah global.

 

Exit mobile version