Mongabay.co.id

Industri Budidaya Udang Dinilai Lemah soal Pelestarian Lingkungan dan Perlindungan HAM

 

Pemerintah menargetkan peningkatan produksi budidaya udang sampai 250%. Namun peneliti menemukan ada tantangan terkait jaminan pelestarian lingkungan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) pada industri perikanan terbesar ini.

Hal ini dipaparkan dalam peluncuran riset INFID bertajuk “Bisnis Dan HAM di Sektor Perikanan: Dukungan dan Peran Pemangku Kepentingan terhadap Sektor Budidaya Udang” pada Rabu (27/04/2022) dalam diskusi dalam jaringan (online).

Sebagai negara produsen udang terbesar kedua di dunia, Indonesia dnilai perlu mewaspadai potensi perkembangan pekerja di sektor akuakultur dan memastikan praktek bisnisnya melindungi HAM. Khususnya, memastikan isu pemberdayaan ekonomi perempuan dan ketahanan terhadap perubahan iklim terintegrasi dalam proses budidaya perikanan. Sehingga praktik bisnis tidak menyebabkan kerusakan lingkungan dan memperparah dampak perubahan iklim.

Abdul Waidl, Senior Project Officer HAM dan Demokrasi INFID menyebut besarnya potensi perikanan budidaya ini juga berpotensi pelanggaran HAM. Sejauh mana isu perlindungan dan penghormatan di bisnis akuakultur? Apakah ada dalam rantai tata niaga rentan pelanggaran HAM?

Kelompok rentan adalah petani, petambak, dan anak buah kapal. “Ketika sanitasi tempat kerjanya minim, jam kerja panjang, target tinggi,” ujarnya.

baca : Komoditas Udang Nasional, Dikejar Target dengan Konflik Tak Berujung

 

Ishak (45), ketua nelayan udang pepai Desa Prapat Tunggal, Kecamatan Bengkalis, Bengkalis, Riau, disela aktivitasnya mengeringkan udang. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Yanu Endar Prasetyo, peneliti riset ini memaparkan sejumlah temuan seperti pelanggaran bagi pekerja perempuan dan ancaman kerusakan lingkungan. Riset kualitatif dilakukan selama 4 bulan. Tujuannya, melihat sejauh mana dunia bisnis dan pemerintah melindungi dan menghormati pekerja di sektor budidaya udang terutama lokasi yang diteliti. Tiga pilar penting panduan HAM adalah negara wajib melindungi, perusahaan menghormati, dan memulihkan jika ada pelanggaran.

Sektor akuakultur penting sebagai solusi pangan berkelanjutan di negeri maritim, nilai ekonomi dan sosial tinggi. Namun isu ini jarang diangkat,” katanya.

Pertanyaan kunci dalam penelitian ini adalah bagaimana budidaya udang dan rantai tata niaga, peran pemangku kepentingan dalam mendukung HAM, dan temuan pelanggaran HAM. Selain wawancara juga ada diskusi terfokus dan studi literatur.

Potensi sektor akuakultur diperkirakan USD 1,3 triliun per tahun atau lebih dari enam kali APBN 2021 yang senilai USD 196 miliar. Kementerian Keuangan mencatat penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam APBN perikanan hanya mencapai Rp.456 miliar per 22 Oktober 2020. Ada 283 perusahaan budidaya ikan dan 11.413 pekerja, tapi hanya 14% perempuan.

Warga yang terlibat tercatat 126 ribu rumah tangga. Sekitar 53% ikan yang dikonsumsi saat ini dari hasil budidaya, dan 35-40% ekspor perikanan Indonesia adalah udang (2016-2020). Sejak 2016 Indonesia produsen udang kedua terbesar di dunia dengan jumlah 900 ribu ton/tahun.

baca  juga : Target Produksi Udang 2024 dan Masalah Dasar Perikanan Budi daya

 

Sun, isteri Lai Tin tengah menjemur udang rebon yang baru didapatkan dari laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Apakah dalam praktiknya, usaha ini mengaplikasikan pedoman lingkungan dan HAM?

Tambak terbanyak di pesisir Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Target pemerintah adalah menaikkan 250% ekspor udang pada 2024. Karena itu ad revitalisasi tambak di sentra produksi udang dan bandeng sesuai RPJMN 2020-2024. Sayangnya sektor ini banyak merusak mangrove untuk membuat tambak, lalu ditinggalkan setelah tidak produktif.

Ia mengatakan ada sejarah hitam yang harus jadi refleksi, yakni peristiwa konflik di Lampung, Dipasena dan Bratasena, dua tambak intesif dan disebut terbesar di Asia Tenggara. “Sejarah mencatat pelanggaran HAM oleh perusahaan besar di Dipasena, Lampung Selatan berupa skema hubungan produksi mirip perbudakan dan pemerasan. Bratasena perusahaan lain, dengan kondisi mirip,” urai Yanu.

Eksistensi petambak perempuan juga belum diakui, mereka mencoba mengorganisir diri tapi tak mudah. Menurutnya perlu mendampingi petambak agar berdaya dan mandiri, serta memiliki posisi tawar pada rantai niaga. Saat kasus Dipasena, istri petambak mengurus tambak ketika suami aksi ke Jakarta. Mereka memiliki beban ganda.

Pelanggaran hak pekerja perempuan juga terlihat di industri pengolahan. Kondisi lingkungan kerja ini mencakup kebersihan tempat kerja, faktor fisik, kimia, dan biologi yang berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan terutama perempuan. Tempat kerja yang licin berbahaya bagi keselamatan kerja. Ruang kerja biasanya tanpa jendela atau ventilasi karena menggunakan AC sentral. Penggunaan klorin cukup tinggi sehingga wajib menggunakan pelindung diri.

Saat budidaya peran laki dominan tapi pasca panen perempuan jauh lebih banyak,” ujarnya. Temuan lain, dampak lingkungan yang belum diantisipasi dan ditangani. Tambak menimbulkan limbah, dan kualitas tanah menurun karena menggunakan zat kimia. Tidak semua kawasan tambak memiliki instalasi pengolah air limbah memadai. Penurunan kualitas lingkungan jadi sumber kemunculan penyakit udang. Sayangnya beban lingkungan yang besar di wilayah tambak hanya jadi beban petambak. Pola kerja sama dengan perusahaan dinilai tidak membuat mereka bertanggungjawab pada dampak lingkungan di wilayah tambak.

Ia mencontohkan perubahan tutupan mangrove Kalimantan Utara 2000-2020. Sekitar 40% kawasan mangrove rusak karena alih fungsi jadi tambak kemudian ditinggalkan setelah tidak produktif.

perlu dibaca : Standardisasi Pengelolaan Tambak Udang Superintensif Diharapkan Ada Pada 2022

 

Kawasan tambak udang Bumi Dipasena, Lampung. Foto : bumidipasenajaya.desa.id

 

Temuan berikut adalah kurangnya mitigasi bencana dan dampak perubahan iklim sektor akuakultur. Ia mengutip sejumlah referensi. Tsunami Aceh pada 2004 mengakibatkan pesisir rusak dan berkurangnya lahan tambak (Yunara dkk, 2019). Petambak udang kehilangan mata pencaharian. Riset lain di Tuban, perubahan iklim berdampak gagal panen, produktivitas menurun dan biaya operasional meningkat. (Suwarsih dkk, 2019). Penurunan produktivitas mencapai 25-50% berbeda antara tambak tradisional, semi intensif, dan intensif. Sedangkan biaya operasional mencegah dampak buruk meningkat 150-200%.

Perlu mitigasi bencana di target peningkatan produksi akuakultur ini,” lanjut Yanu. Catatan lain adalah rencana dan risiko pengembangan shrimp estate. Pengalaman masa lalu membangun industri skala besar menimbulkan berbagai masalah. KKP menggandeng Pemkab Kebumen, Jateng untuk pengembangan kawasan tambak udang skala besar (shrimp estate) pertama. Ini adalah skema budidaya udang skala besar di mana proses hulu dan hilir dalam satu kawasan. Didukung teknologi agar produksi melimpah, mencegah berbagai penyakit, dan diklaim lebih ramah lingkungan. Rencana ini membutuhkan lahan 11 ribu hektar, dari jumlah itu 5000 ha dibangun pemerintah dan sisanya swasta.

Bagaimana tanggung jawab itu disepakai berbagai pihak, tak hanya soal teknologi baru. Juga hubungan pekerja dengan perusahaan, agar tak ada konflik sosial yang jadi potensi pelanggaran HAM seperti penguasaan lahan dan utang ke perusahaan,” urainya.

baca juga : Udang Indonesia di Lingkaran Kuantitas, Kualitas, dan Keberlanjutan Lingkungan

 

Udang Vaname yang diproduksi dari perikanan budi daya di Indonesia. Foto : shutterstock

 

Era Purnama Sari, peneliti lain menambahkan sejumlah rekomendasinya. Komnas HAM sudah mengeluarkan standar norma HAM atas sumberdaya alam. Termasuk tanggungjawab perusahaan. Ada 8 kewajiban perusahaan, di antaranya menghormati HAM pada aktivitas langsung dan tidak langsung yang terkait bisnisnya. Menurutnya ada kecenderungan pasca pembukaan, lahan budidaya udang hanya berproduksi 4-5 tahun setelah itu produksi mulai berkurang dan akhirnya banyak lahan tambak ditinggalkan. Beban lingkungan pun ditinggalkan.

Di perusahaan pun belum ada kebijakan rekrutmen dan prioritas kelompok rentan. Ada upaya sertifikasi tapi masih parsial misal hanya lingkungan, belum termasuk HAM.

Kedua, skema kerjasama belum menguntungkan petambak. Ada 3 skema, kerjasama mengikat, semi mengikat, dan tidak mengikat. Dalam skema mengikat, petambak wajib membeli pakan, sarana prasarana, hingga jual hasil panen ke satu perusahaan. Pola ini rentan eksploitasi dan banyak yang sulit keluar dari utang. Ini terjadi di Lampung.

Skema semi mengikat, petambak bebas memilih menjual hasil panen namun masih memiliki kewajiban tertentu misal beli pakan ke satu perusahaan. Kerjasama tidak mengikat, petambak tidak terikat perjanjian dengan satu perusahaan.

Ketiga, sertifikasi ekolabel belum mengakomodir aspek HAM. Hal ini bagus untuk alat kontrol pelestarian lingkungan misalnya ASC. Namun aspek sosial belum disentuh seperti kesetaraan gender. “Skema sertifikasi tergantung pada permintaan pasar. Standarisasi memberatkan petambak tradisional misal standar produktivitas,” katanya.

Temuan lain adalah lemahnya perlindungan terhadap lingkungan. Belum ada aturan pembukaan lahan budidaya udang yang memadai padahal banyak temuan perusahaan yang mendorong membabat habis mangrove dengan iming-iming. Menurut Era, belum banyak menjawab tanggung jawab limbah. Ditemukan sejumlah izin pertambangan di wilayah tambak dan adanya izin tambah intensif/semi intensif di wilayah tambak tradisional.

baca juga : Begini Strategi Menggenjot Produksi Udang dengan Tetap Berkelanjutan

 

Panen udang. KKP menawarkan duet teknologi microbubble dan RAS untuk meningkatkan produktivitas budidaya udang. Foto : news.kkp.go.id

 

Riset ini menyimpulkan target pemerintah meningkatkan produksi 250% perlu ditimbang dampaknya pada sosial dan ekologis. Pengalaman buruk bisa jadi pelajaran penting. Kebijakan spesifik diperlukan karena ada masalah berbeda di semua jenis tambak, dan implementasi memasukan HAM dan keadilan gender dalam budidaya.

Rekomendasinya adalah pemerintah mengatur dan memastikan bisnis akuakultur sejalan dengan HAM dan keberlanjutan lingkungan. KKP harus menjalankan UU No.7/2016 tentang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, mengkaji definisi pembudidaya ikan kecil, membuat sertifikasi nasional, dan regulasi perlindungan ekosistem peisisr akibat budidaya dengan mitigasi krisis iklim. Selain itu perlu perlindungan khusus bagi perempuan.

Sektor bisnis juga dinilai perlu memasukkan aspek lingkungan dan HAM dalam skema sertifikasinya. Masyarakat juga perlu mendorong terbangunnya kesadaran publik untuk tidak konsumsi udang yang mengabaikan HAM dan lingkungan.

 

Target 2 juta ton produksi udang

Riset ini ditanggapi sejumlah pihak. TB Haeru Rahayu, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP menyatakan sektor akuakultur berkontribusi 16% bersaing dengan tambang. Besarannya sangat luar biasa dibanding perikanan tangkap yang hanya 1%. “Jargon akuakultur, seperti raksasa yang masih tidur,” sebutnya.

Eksistensi petambak perempuan, dampak lingkungan, dan temuan lain dijawab dengan komitmen KKP menjadikan ekologi sebagai panglima dibanding ekonomi. Misalnya untuk pengembangan industri besar shrimp estate dengan luas 100 hektar, on farm 50%, sisanya IPAL, tandon, dan vegetasi. Terkait perizinan, sebagian besar oleh Pemda. Ada 21 pos perizinan di udang, KKP mencoba sederhanakan agar berpihak pada petambak.

Tambak udang yang ditinggalkan menurutnya karena saat perizinan tak sesuai kaidah lingkungan. Ia mengamini, misal di Kalimantan. “Seperti kepala saya, tepinya mangrove, tengahnya kosong melompong,” katanya menunjuk kepala botak. Ia mengklarifikasi jika target 250% atau 2 juta ton udang diinisiasi Pokja Udang Nasional di bawah Kemekomarves.

Kemudian KKP buat pemetaan, ada 300 ribu hektar tambak udang, terdiri dari 9.000 hektar intensif, 43 ribu hentar semi intensif, dan 247 ribu tambak tradisional atau 82%. “Ini jadi konsen kita, ada tantangan peningkatan sumber daya manusia, permodalan, dan lainnya. KKP ingin mengakomodir semua kepentingan. Langkahnya saat ini evaluasi potensi tambak, revitalisasi tambak tradisional, dan modelling untuk skala intensif,” lanjut TB.

baca juga : Shrimp Estate Bakal Dibangun di Kebumen, Ahli Kelautan Minta Lingkungan Harus Dijaga

 

Kawasan tambak udang di Desa Sarjo Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. KKP membantu mengembangkan budidaya udang berkelanjutan di kawasan tersebut. Foto : KKP

 

Di sisi lain, Rainy Maryke Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan berharap ada penelitian dampak pandemi pada pekerjanya seperti PHK, pemotongan gaji, dan lainnya. Ia juga berharap ada pemetaan hak masyarakat adat, konflik, dan analisis pemecahannya.

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi mengingatkan peningkatan suhu global akan memaksa nelayan melaut lebih jauh. Dari catatannya, pada 2020, lebih 200 nelayan meninggal. Karena itu perikanan budidaya memiliki prospek. FAO juga proyeksikan garis produksi perikanan budidaya meningkat seiring krisis iklim dan industri ekstraktif.

Potensi budidaya udang dalam sektor perikanan sangat strategis. Tantangannya, ia merujuk data KKP bahwa ada 2,8 juta ha potensi budidaya air payau, baru termanfaatkan 600 ribu hektar. Ada wilayah yang belum terkelola. “Bukan membuka lahan baru tapi mengoptimalkan lahan eksisting agar tak mengancam ekosistem mangrove. Karena nilai udang tinggi, perlu desain jangka panjang perlu belajar Vietnam. Perlu regulasi khusus sesuai daya dukung dan perlindungan HAM yang terlibat dalam tata niaga,” harapnya

Pengembangan udang jangan hanya jadi komoditas ekspor tapi masyarakat juga perlu konsumsi udang yang sehat dan tidak merusak lingkungan. Keberpihakan pada ekologi juga menurutnya belum nampak jika dirujuk dari postur anggaran KKP.

Terkait potensi pelanggaran HAM, Hajerati, Direktur Kerja Sama HAM Kementerian Hukum dan HAM, ia mengatakan negara harus hadir dalam perlindungan HAM. Sudah ada regulasi terkait sertifikasi HAM untuk ABK dan memastikan pengusaha perikanan yang berkelanjutan. Namun masih banyak masalah.

Menurutnya sudah ada penilaian kepatuhan dengan 13 indikator di aplikasi Prisma, agar perusahaan bisa memetakan sendiri apakah ada pelanggaran HAM mulai dari rekrutmen, keamanan tenaga kerja, lingkungan, dan lainnya. “Tapi kalau nilainya buruk tidak ada sanksi. Misal nilai buruk di pengupahan, hanya beri imbauan. Perlu percepat multidialog dengan perusahaan akuakultur,” pungkasnya.

 

Exit mobile version