Mongabay.co.id

Kupatan Kendeng, Tradisi Penghormatan pada Alam

 

 

 

 

“Njaga bumi mandeg ning lambe… Njaga bumi mandeg ning lambe… Njaga bumi mandeg ning lambe…” Begitu teriakan ratusan orang dalam parade “Kupatan Kendeng 2022, pada 8 Mei lalu. Kupatan Kendeng ini merupakan tradisi lebaran masyarakat Kecamatan Gunem, Rembang, Jawa Tengah.

Mereka arak-arakan berjalan kaki mengelilingi Desa Tegaldowo, sambil menggotong empat gunungan kupatan.

Sejumlah spanduk dibawa bertuliskan Ngelebur Dosa Tanpo Njaga Bumi, Mandeg Ning Lambe. Artinya, melebur dosa tanpa menjaga bumi, sama dengan omong kosong.

Gunretno, koordinator acara, mengatakan, kupatan merupakan tradisi masyarakat adat Rembang, secara turun temurun. Ia merupakan tradisi syawalan di desa-desa di Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang usal lebaran. Puncak acara, biasa lima hari setelah perayaan hari raya Idul Fitri.

Dalam ritual itu, ada tiga prosesi wajib, yakni temon banyu beras, dono weweh kupat lan pepet, dan lamporan.

Acara ini, kata Gunretno selain diikuti warga empat desa Kecamatan Gunem, Rembang, juga dihadiri wisatawan.

“Ritual ini, selain tradisi syawalan juga menarik minat para wisatawan.”

 

Baca juga: Perempuan Kendeng Pertanyakan Operasi Pabrik Semen di Masa Pandemi

Arak-arakan Kupatan Kendeng berkeliling desa. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Menjaga ibu bumi

Kupatan Kendeng, katanya, merupakan bentuk penghormatan dalam tradisi Jawa. “Kupatan” berarti “mengaku lepat” (mengakui kesalahan) manusia. Juga mohon maaf terhadap Ibu Bumi yang memberi kehidupan manusia selama ini.

Ngelebur dosa itu saling memaafkan, saat sekarang orang berebut mengaku salah dengan momen sakral hari raya.”

Bumi sebagai sumber segala, yang menghidupi, malah disakiti manusia. Biasanya, manusia saling meminta maaf kepada sesama manusia, namun kepada ibu bumi tidak pernah dilakukan.

“Ibu bumi terus disakiti jadi harus minta maaf, tetapi permohonan maaf itu bukan saja dalam bentuk lisan tapi dalam bentuk tindakan membela bumi,” katanya.

 

Baca juga: Warga Nilai Tambang Semen Itu Hama Perusak di Pegunungan Kendeng

Gunungan kupat di Kupatan Kendeng. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Gunretno mengatakan, tradisi ini bagian dari perjuangan masyarakat adat atas bumi yang terancam. Kupatan Kendeng ini juga memperlihatkan ada masalah bumi. Di Pegunungan Kendeng ini wujudnya pertambangan dan pembangunan pabrik semen.

“Tidak hanya penolakan pabrik semen, semua perusakan dalam bentuk apapun dan di manapun tidak hanya di gunung, dulur-dulur (saudara-saudara) Kendeng bersuara ini dalam bentuk wujud eleng atau merawat bumi.”

Ada empat gunungan kupatan dalam ritual ini. Dua gunungan dari Desa Tegaldowo, satu dari Desa Gimbrangan, dan satu dari Desa Bitingan. “Ritual ini diselenggarakan oleh dulur-dulur (saudara) yang menolak pabrik semen, bukan empat desa secara keseluruhan.”

 

Arak-arakan Kupatan Kendeng. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Bagaimana prosesi ritual Kupatan Kendeng? Menurut Gunretno, jalannya ritual Kupatan Kendeng dengan terkumpulnya gunungan kupatan hingga diarak mengelilingi desa setelah lima hari lebaran..

Ritual Kupatan mulai dari temon banyu beras. Dalam prosesi ini, warga terutama perempuan mencari sumber air untuk dicampurkan pada butir-butir beras yang dibawa.

Maknanya, tanpa pencampuran beras dan air, tak mungkin beras menghasilkan makanan seperti nasi atau ketupat yang kemudian menjadi energi bagi manusia..

Dalam ritual ini, para perempuan baju putih, melambangkan kesucian hati- setelah berpuasa 30 hari.

“Dalam proses kupatan kendeng itu ada namanya temon banyu geni ini ibu-ibu membawa beras, membawa wadah air, beras itu dibawa ke sumber air untuk di kose ke mata air,” katanya.

 

Aeak-arakan warga mengeliling Desa Tegaldowo, melakukan ritual Kupatan Kendeng. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Selanjutnya, lanjut Gunretno, setelah beras berasih dibawa pulang dan masukkan dalam anyaman kupat. Setelah terisi, masak ketupat.

Setelag ketupat matang mereka susun berbentuk gunungan, kemudian melakukan arak-arakan, mengelilingi Desa Tegaldowo, lokasi pelaksanaan ritual.

Hadir dalam acara Kupatan Kendeng, Komisioner Nasional Perempuan, Tiasri Wiandani. Tiasri bilang, ritual Kupatan Kendeng bisa jadi pembelajaran bagaimana perempuan-perempuan Kendeng selalu konsisten berjuang untuk lingkungan hidup.

Nah, momen lebaran yang sudah jalan tradisi Kupatan Kendeng ini tahun kedelapan. Ini baru pertama kali setelah pandemi COVID-19. Selama pandemi Kupatan Kendeng secara virtual,”katanya

Ritual ini juga sebagai upaya mendorong operasi pabrik semen dan pertambangan setop di Pegunungan Kendeng.

“Itu menjadi pesan kepada masyarakat bahwa perempuan sangat gigih memperjuangkan kelestarian lingkungan. Upaya ini bukan untuk dulur-dulur Kendeng saat ini tetapi menjaga kelestarian lingkungan sebagai warisan anak cucu.”

Komnas Perempuan, kata mantan pengurus Serikat Pekerja Nasional (SPN) ini, melihat cara perjuangan sedulur Kendeng bisa jadi contoh.

“Mereka berjuang tidak dengan kekerasan. Ini mencerminkan bagaimana perjuangan untuk lingkungan hidup dengan budaya-budaya, tradisi, kearifan lokal.”

 

Para perempuan Kendeng dan sedulur saat ritual Kupatan Kendeng. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Widiarti, perempuan Kendeng dari Desa Tegaldowo mengatakan, dengan Kupatan Kendeng mereka ingin menyuarakan perjuangan menjaga bumi dan lingkungan agar tetap lestari dan hijau.

Ben tetep lestari, ben tetep ijo royo-royo,”katanya.

Anggit, remaja perempuan Kendeng, mengatakan, bumi yang memberi hidup sedang terancam. “Karena yang mencukupi adalah Ibu Bumi. Kita telah dihidupi, maka harus melestarikan juga.”

Acara diakhiri dengan makan kupat bersama. Ada pembagian ketupat, sebagai ajakan warga desa untuk bersama menyelamatkan Pegunungan Kendeng dari upaya perusakan sumber mata air, penambangan batu kapur, serta pengalihan fungsi hutan maupun lahan pertanian untuk semen.

 

 

*******

Exit mobile version