Mongabay.co.id

Gemerlap Kunang-kunang, Pesona Wisata Malam Rammang-Rammang

Seorang nelayan Rammang-Rammang melintas di Sungai Pute saat malam hari. Foto : Nurul Fadli Gaffar/Mongabay Indonesia

Malam tiba. Darwis memacu perahunya melintasi aliran Sungai Pute menuju Kampung Berua. Berlatar langit jingga sebagai penanda pergantian waktu, ia menyusuri sungai tanpa penerangan apapun. Dengan lihai, Darwis mengarahkan kemudi perahunya dengan tatapan penuh fokus pada pohon nipah dan mangrove yang banyak dijumpai sepanjang aliran Sungai Pute, di kawasan Rammang-rammang.

Saat Rammang-Rammang didaulat sebagai tempat wisata, dalam sehari Darwis dapat melintasi sungai ini tiga sampai empat kali dengan rute dermaga satu menuju Kampung Berua. Artinya, pengetahuan navigasi Darwis mengenai aliran dan kelokan Sungai Pute tidak lagi diragukan meskipun dalam keadaan gelap. Pekerjaan Darwis sebagai pengantar para wisatawan menggunakan perahu jolloro menjadi aktivitas yang kini banyak ditekuni warga Rammang-Rammang, Kampung Berua, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

baca : Rammang-Rammang, Keajaiban Alam Berpadu Sejarah Panjang Kehidupan Manusia

Darwis membawa perahunya melintasi Sungai Pute ke Kampung Berua di kawasan Ramamang-rammang sehabis mengantar tamunya. Foto : Nurul Fadli Gaffar/Mongabay Indonesia

Wisata ‘Kunang-Kunang’ di Malam Hari ?

Rammang-rammang mulai diperkenalkan menjadi kawasan wisata sejak 2015. Sehingga sudah tujuh tahun masyarakat Desa Salenrang menjadi bagian dari dunia pariwisata. Dalam catatan pengelola wisata, jumlah kunjungan yang ada pada tahun 2017 mencapai sekitar 72.083 orang dan saat pandemi tepatnya pada tahun 2020 hanya dikunjungi oleh sekitar 24.517 orang sebelum aktivitas wisata benar-benar terhenti (Rohim, Ahmadin, dan Ridha. 2021).

Saat ini, Rammang-Rammang belum menyediakan khusus paket wisata saat malam hari. Meskipun beberapa pengemudi perahu biasa menawarkan ke para tamunya untuk melihat kunang-kunang di malam hari atau pada waktu-waktu tertentu. Selain melihat kunang-kunang, para pengunjung juga dapat melihat kelelawar yang beterbangan di langit Rammang-Rammang saat menjelang malam hari.

Hari Sabtu (12/03/2022) malam itu, Kampung Berua sepi dan hanya terlihat cahaya lampu dari beberapa rumah yang menerangi lahan sawah, tambak, berpadu dengan bayang-bayang pegunungan karst Rammang-rammang.

Salah satunya, rumah Darwis, pengemudi perahu dan mantan pengurus pengelola wisata Rammang-Rammang. Rumah Darwis berada di tengah-tengah Kampung Berua menghadap ke hamparan sawah dan pegunungan karst sebelah utara perkampungan ini.

baca juga : Wisata Alam Rammang-rammang: Dibangun Aktivis, Diresmikan Menteri

Suasana Kampung Berua, Rammang-Rammang, Maros, Sulsel saat malam hari. Foto : Nurul Fadli Gaffar/Mongabay Indonesia

Sehabis menyantap makan malam bersama, saya pun mengajak Darwis untuk bercerita mengenai bagaimana peluang wisata saat malam hari.

Sebetulnya dulu, saya sudah berencana mengadakan kegiatan wisata malam di Rammang-Rammang. Karena ada beberapa jenis kunjungan yang mau saya tawarkan ke pengunjung. Rencananya itu kita paketkan jadi ada paket malam purnama atau paket wisata kunang-kunang,” katanya.

Menurutnya, ada beberapa titik keberadaan kunang-kunang di desa ini. Namun, lebih banyak ditemukan saat menjelang musim kemarau tepatnya bulan Juni sampai Oktober. Namun, rencana itu belum ia jalankan bersama dengan para pengelola wisata saat Darwis masih menjabat sebagai ketua.

Tidak sempat kami jalankan, karena butuh persiapan yang matang dan fasilitas yang memadai. Termasuk kondisi perahu yang harus dirangkai khusus untuk wisata malam seperti ngopi di atas perahu sambil menikmati kunang-kunang. Jadi perahunya harus lebih lebar. Itu pun bukan tiap hari, tapi ada waktu-waktu tertentu saat banyak kunang-kunang. Nah ini yang belum dipetakan (dianalisis sebaran kunang-kunang),” jelasnya.

Ide untuk membuat paket wisata malam hari didapatkan Darwis setelah berbincang-bincang dengan salah satu tamunya yang berasal dari China, “Pernah dulu ada wisatawan dari China datang kesini dan mereka bilang kalau di Malaysia ada wisata khusus melihat kunang-kunang dan para tamu membayar satu perjalanan sebesar 60 ringgit untuk menikmatinya,” jelasnya.

baca juga : Jalan Panjang Karst Rammang-Rammang menuju Ekowisata 

Suasana Dermaga Satu Dusun Rammang-rammang, Maros, Sulsel saat malam hari Foto : Nurul Fadli Gaffar/Mongabay Indonesia

Menurutnya, bila wisata malam di Rammang-Rammang dilakukan, tidak akan mengganggu aktivitas nelayan setempat yang biasa menangkap ikan di Sungai Pute.

Kalau wisata malam itu diadakan, saya rasa tidak ada dampaknya (bagi nelayan). Karena kalau wisata malam sengaja direncanakan untuk berlama-lama atau menetap di suatu tempat yang jadi titik pengamatan kunang-kunang. Itupun pada waktu-waktu tertentu,” ujar Darwis.

Wisata malam sambil menikmati kunang-kunang menjadi pengalaman yang menarik serta romantis, seperti kata Sara Lewis dalam bukunya berjudul ‘Silent Sparks: The Wondrous World of Fireflies’, cahaya kunang-kunang adalah bahasa cinta. Suasana romantis dari cahaya kunang-kunang itu mungkin tidak pernah lagi dirasakan bagi mereka yang tinggal di perkotaan dan daerah urban penduduk dimana keberadaan kunang-kunang sudah sangat jarang ada.

Menebar Jaring di Pinggiran Pohon Nipah

Di malam hari, suara mesin perahu berganti bunyi jangkrik dan katak. Aliran Sungai Pute begitu tenang memancarkan sinar lampu dari dermaga satu. Saat pagi hingga menjelang petang, dermaga satu dipadati perahu yang bersandar menanti para pengunjung menuju Hutan Batu maupun Kampung Berua. Namun saat malam hari tiba, deretan perahu dengan cat berwarna-warni tidak lagi dijumpai. Para pengemudi perahu bergegas kembali ke rumah mereka menjelang malam hari

Hari Sabtu (12/03/2022) sore itu, saya dan Nuruf Fadli Gaffar (fotografer tulisan ini) tiba di Rammang-Rammang. Rencananya kami akan mengambil beberapa foto pengunjung yang tengah menikmati keindahan alam Rammang-Rammang dari atas perahu.

Kami tiba di Rammang-Rammang Café ‘Ecolodge and Coffe’. cafe sekaligus tempat penginapan di pinggir Sungai Pute ini merupakan salah satu spot atau tempat yang sering dikunjungi oleh para pengunjung ketika mereka kembali dari Kampung Berua.

Sambil menikmati secangkir kopi dan pisang goreng, kami melihat seorang laki-laki yang sedang memanen buah nipah yang berada di depan café.

Laki-laki itu bernama Usman, merupakan salah satu pekerja di Rammang-Rammang Café dan juga sebagai pengemudi perahu wisata. Ketika saya bertanya untuk apa buah nipah itu dipanen, ia menjawab “Ini jadi bahan untuk membuat minuman jus,” katanya sambil mengeluarkan isi buah nipah dari kulitnya.

menarik dibaca : Cerita Rammang-rammang di Masa Pandemi 

Usman, seorang nelayan Rammang-rammang sedang memasang jaring ikan di pinggiran pohon nipah di Sungai Pute. Foto : Nurul Fadli Gaffar/Mongabay Indonesia

Saya kemudian menanyakan aktivitasnya di malam hari saat dia dan semua pengemudi perahu tidak lagi melayani para wisatawan.

Kalau malam, saya pergi mencari ikan di sungai. Untuk tambah pendapatan sama lauk. Tapi dulu sebelum ada wisata, hampir semua yang punya perahu itu nelayan yang mencari ikan di Sungai Pute ini,” katanya.

Pekerjaan sebagai nelayan merupakan aktivitas Usman sejak kecil. Ia kerap diajak bapaknya yang juga nelayan mencari ikan di Sungai Pute bahkan sampai ke Binanga Sangkara, muara daerah aliran sungai Sangkara.

Saya juga bikin sendiri perahu karena tidak ada dulu tidak pekerjaan selain jadi nelayan. Dulu harga ikan murah. Ikan kakap besar selebar satu jengkal dijual paling mahal harganya Rp30 ribu. Sekarang saya bersyukur karena bisa dapat Rp100 ribu sampai Rp150 ribu dalam satu malam,” katanya mengenang masa dimana harga ikan sangatlah murah.

Setelah bercerita banyak mengenai aktivitasnya sebagai nelayan, saya berkeinginan melihat langsung aktivitas Usman menangkap ikan di Sungai Pute pada malam hari.

Keesokan harinya (Minggu, 13/03/2022) pada petang hari, kami bersama Usman berangkat menangkap ikan. Malam itu, Usman hanya akan memasang puka’ atau jaring apung yang panjangnya kurang lebih tujuh meter di pinggiran gugusan pohon nipa.

Dengan perahu mesin berwarna biru langit, jolloro Usman membelah aliran Sungai Pute menuju pinggiran pohon nipah yang tidak jauh dari jembatan dekat Dermaga Dua. Ketika sampai di tempat yang dituju, Usman kemudian mengambil jaring lalu mengikat serta menyambungnya dari batang pohon nipah yang satu ke pohon nipah yang lain.

Setelah jaring selesai dipasang, Usman melanjutkan memasang jaring di sebelah utara jembatan dermaga dua. “Besok malam kita lihat hasilnya. Mari kita pulang,” katanya.

Sesampai di rumahnya, Usman melanutkan cerita tentang kehidupan nelayan di Rammang-Rammang sebelum adanya pariwisata.

Dulu di sungai Pute banyak ikan. Orang disini kalau mau pergi ke pasar sekalian bawa tombak. Saat pulang, sambil mattomba’ (menombak) ikan. Bisa dapat kakap merah, kipas, lobster, sama kepiting. Tapi sekarang, jarang kami dapat,” ungkap Usman.

Saat ini, beberapa jenis biota sungai di Rammang-Rammang sudah jarang ia jumpai. Dia menduga hal itu dipengaruhi oleh aktivitas hilir-mudik perahu bermesin yang mengantar para pengunjung. Selain suara mesin perahu, riak gelombang dari perahu juga membuat ikan-ikan menjauh.

Dulu hanya pakai perahu dayung, sehingga ikan-ikan tidak terganggu,” jelasnya.

Pada dasarnya, masuknya pariwisata di Rammang-Rammang berdampak sangat positif siginifikan terhadap perekonomian masyarakat. Namun, disisi lain pariwisata juga mulai berdampak pada kehidupan biota perairan yang ada di Sungai Pute. Selain aktivitas wisata, pembangunan jembatan Bosowa di sisi selatan Dermaga Satu juga mempengaruhi kualitas aliran Sungai Pute yang kini tidak lagi mengalir sederas sebelumnya, hingga mengakibatkan badan sungai menyempit dan kini terjadi pendangkalan.

baca juga : Iwan Dento, Sang ‘Hero’ Penyelamat Karst Rammang-rammang 

Dari’ atau jaring tancap untuk menangkap ikan yang banyak dijumpai di sepanjang Sungai Pute saat malam hari. Foto : Nurul Fadli Gaffar/Mongabay Indonesia

Pijaran Cahaya di Sungai Pute

Pagi sampai siang hari, Sungai Pute menyajikan pemandangan ‘khas’ dunia pariwisata. Namun saat malam tiba, sungai ini dipenuhi dengan pijar lampu yang bersinar di pinggiran-pinggiran pohon nipah atau mangrove. Pijaran cahaya ini berasal dari alat tangkap nelayan Rammang-Rammang yang dikenal dengan dari’ atau jaring yang ditancapkan ke dasar sungai. Dari’ ini banyak dijumpai di sebelah utara Dermaga Satu.

Pandariang atau para nelayan pencari udang dengan menggunakan jaring tancap ini mulai beroperasi saat menjelang malam hari dan akan dipanen saat pagi hari tiba. Nelayan pencari udang, banyak dijumpai di beberapa kampung di Desa Salenrang, seperti Massaloeng, Tintingang, dan beberapa di Berua.

Saat kami mengunjungi salah satu kampung yang kini tengah dipersiapkan menjadi destinasi baru dan menjadi bagian kawasan wisata Rammang-Rammang, Massaloeng, menjelang akhir bulan Maret 2022. Kami bertemu dengan salah satu pengemudi jolloro bernama Rul yang juga mengantarkan kami masuk ke Kampung Massaloeng.

Rul merupakan masyarakat yang tinggal di Kampung Tintingang, namun setelah menikah, ia pun tinggal bersama dengan istri dan anaknya di Kampung Massaloeng. Dalam perjalanan menuju Massaloeng, saya sempat menanyakan beberapa pemilik dari’ yang kami lihat tidak jauh dari jalan masuk ke Massaloeng.

Kalau itu sana (menunjuk pada salah satu dari’) punya saya. Besok pagi mau di panen, mungkin sekitar jam 6 atau 7 pagi,” ucap Rul saat perahunya melewati dari’ miliknya.

Petang hari, saya dan Fadli tiba di rumah Rul yang ada di Kampung Massaloeng. Disana kami disambut hangat oleh keluarganya sambil menyeruput kopi dan memandangi salah satu bukit karst yang sangat berdekatan dengan konsesi pertambangan PT Bosowa. Malam harinya, kami pun diajak menikmati olahan makanan dari ikan dan udang yang berasal dari Sungai Pute,

Disini, Alhamdulillah kami jarang membeli lauk, karena kalau ikan sama udang, kami biasa ambil (tangkap) di Sungai Pute,” ujar Rul.

baca juga : Dukungan Ragam Kuliner Kembangkan Ekowisata Rammang-Rammang 

Hidangan makan malam dengan ikan dan udang yang ditangkap dari Sungai Pute. Foto : Nurul Fadli Gaffar/Mongabay Indonesia

Setelah menikmati hidangan malam yang bersumber langsung dari Sungai Pute, saya dan Fadli kemudian diajak oleh salah seorang kerabat Rul bernama Sukri melihat aktivitas nelayan penangkap udang di Sungai Pute pada malam hari.

Pukul 02.00 WITA dini hari, Sukri membawa kami dengan perahunya berkeliling Sungai Pute sambil melihat beberapa jaring tancap yang menyinari sungai. Malam menuju dini hari, keindahan Sungai Pute sangat romantis dengan pijaran lampu dari jaring tancap dan sinar bulan yang terlihat jelas di atas kami.

Menurut Sukri, pijaran cahaya itu berguna untuk memancing udang-udang agar masuk ke dalam jaring. Biasanya, udang akan lebih banyak dihasilkan ketika menggunakan lampu pijar yang diisi dengan solar sekitar 240 ml atau setara dengan ukuran satu gelas. Panjang jaring tancap yang biasa digunakan oleh masyarakat di Rammang-Rammang memiliki ukuran yang beragam. Ada yang berukuran lima meter dan ada juga sampai sepuluh meter. Tergantung keinginan para pemiliknya.

Sukri sedang memasang Dari’ atau jaring tancap yang banyak dijumpai di Sungai Pute. Foto : Nurul Fadli Gaffar/Mongabay Indonesia

Setelah cukup menikmati keindahan Sungai Pute malam itu, kami pun bergegas kembali. Dalam perjalanan pulang kami mendengar bunyi perahu ‘taktaktaktak’ dari arah kampung dan juga melihat sinar cahaya dipinggiran pohon nipah.

Itu nelayan yang mattombak (menombak) ikan. Mereka mattombak ikan saat air sungai surut. Karena kalau air pasang, (cahaya) senternya tidak tembus ke dasar sungai, jadi susah dilihat ikan,” kata Sukri .

Setiba di rumah. Sukri sejenak bercerita mengenai kondisi Rammang-Rammang saat masa pandemi. Dimana aktivitas pariwisata saat itu dipastikan terhenti. Sukri mengenang bagaimana Sungai Pute saat malam hari di masa pandemi pandemi seperti sebuah pasar. Sebab, ada banyak nelayan yang kini kembali mencari ikan di Sungai Pute. Di kampungnya sendiri, Massaloeng, semua pengemudi jolloro kembali membenahi sawah dan tambak mereka. Pandemi mengajarkan banyak hal. Termasuk soal keberlanjutan ‘pangan’ masyarakat yang tinggal di Rammang-Rammang.

***

Slamet Riadi (Memet), Alumni magister Antropologi UGM Yogyakarta merupakan peneliti kajian Antropologi Ekologi dan aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan.

Nurul Fadli Gaffar, fotografer lepas di Sulawesi Selatan

Tulisan ini merupakan seri liputan Rammang-rammang yang didukung oleh Mongabay Indonesia

Exit mobile version