Mongabay.co.id

Cara Alternatif Petani Garam Madura Tetap Produktif di Tengah Perubahan Iklim

Langit berawan tebal di atas Dusun Mondung, Desa Bunder, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan, Pulau Madura, Jawa Timur, sore itu. Kanan kiri jalan, terbentang lahan tambak garam sebagian digenangi air, sebagian berlumpur. Kincir angin tak bergerak, terkunci. Puluhan gubuk penampungan garam sementara sebagian nampak tegak, sebagian miring.

Di balik salah satu gubuk yang menempel di bahu jalan, nampak lelaki berumur, Haji Nur Kholik dan anaknya, Mohammad Jamal membawa jala dan jerigen bekas di tangan kirinya berjalan di pematang tambak.

Nyaré jhuko, cong. Pola dhân péndhânan ta’ paté bânnya’ kaloar péssén dâpor (Nyari ikan, nak. Agar tidak banyak mengeluarkan uang belanja dapur),” sahut Haji Kholik, sapaanya saat saya tanya.

Dia kemudian bercerita, saat musim hujan dimana produksi garam berhenti, petani garam setempat biasa mencari ikan di lahan tambak garam saat untuk dikonsumsi sendiri sehingga meminimalisir pengeluaran untuk membeli kebutuhan pangan. Mereka juga bertani padi saat musim hujan. Pagi pergi ke ladang, sore ke tambak.

Menurutnya, ikan bisa didapat lebih banyak di area penampungan air untuk mengisi lahan tambak garam atau pamènèan dan ukuran ikan lebih besar dibanding ikan di lahan tambak garamnya. Anaknya bertugas menjala, sedang dia memungut ikan yang terjaring di jala anaknya dan menampungnya di wadah yang tersedia.

Kholik kemudian bercerita awal menjadi petani garam. “Saya jadi petani garam semenjak nikah, waktu itu tahun 70-an. Tapi tidak punya lahan sendiri. Kerja sama orang. Sistem kerjanya berkelompok dan bagi hasil. Misal sekali garap bersama 8 orang dengan beberapa petak lahan tambak garam. Hasilnya, 50% untuk pemilik lahan sekaligus pemodal. Sedang 50 persennya lagi dibagi ke-8 pekerjanya,” bebernya saat ditemui akhir tahun lalu.

baca : Begini Perjuangan Meningkatkan Kesejahteraan Petambak Garam Skala Kecil 

Haji Nur Kholik dan anaknya, Mohammad Jamal, petani garam di Desa Bunder, Kecamatan Pademawu, Pamekasan, Jatim, memilih mencari ikan saat jeda produksi garam pada musim hujan. Foto : Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia

Sore tiba, Haji Kholik dan Jamal selesai mencari ikan. Hari itu, mereka dapat ikan mujair ukuran sedang, ikan bandeng ukuran kecil, dan udang ukuran besar. Jumlah ikan itu cukup untuk dikonsumsi sekeluarga.

Mereka biasa dapat 2-3 kilogram lebih dalam sekali berangkat dan bisa cukup sampai 3 hari untuk kebutuhan keluarga inti. Misal hasil tangkap sampai lima kilogram, mereka bagi ke saudara dan tetangga terdekat.

Jamal kemudian bercerita awal dia menjadi buruh tani garam karena ikut bapaknya sejak SMP. Penghasilan setidaknya cukup untuk kebutuhan keluarga sehari-hari dan kebutuhan sekolah anaknya. Sedang kebutuhan pangan seperti beras dan sayur mayur bisa terpenuhi dari hasil tanam sendiri.

Sedangkan Syaiful Anam, petani garam di Desa Lembung, Kecamatan Galis, Pamekasan menuturkan, petani garam di daerahnya biasa memanfaatkan musim jeda produksi garam selama musim hujan sekitar 3-4 bulan dengan membeli benih ikan, seperti udang, bandeng, kakap, rajungan, atau lainnya untuk ditebar ke area tambak garam. Hal itu agar mereka bisa dapat penghasilan untuk keluarganya.

Dia bilang, air yang menggenangi area tambak garam saat musim hujan biasanya tawar. Kondisi itu dinilai bagus untuk pertumbuhan ikan. Ikan biasa dipanen ketika sudah mau memasuki musim bertani garam.

Syaiful mengatakan pemanfaatan waktu jeda produksi garam itu sudah dilakukan petani garam sejak lama atas anjuran dari Pemerintah Kabupaten Pamekasan. “Bahkan petani garam tersebut dapat bantuan benihnya, juga ditambah alat pertanian garam lainnya,” bebernya.

baca juga : Bangun Garam Industri di Flores Timur, Bagaimana Nasib Petambak Tradisional? 

Jamal, petani garam di Desa Bunder, Pademawu, Pamekasan, Jatim menangkap ikan di tambaknya saat jeda produksi garam pada musim hujan. Foto : Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia

Kepala Bidang Perikanan dan Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pamekasan, Lutfi Asari menjelaskan, pihaknya bekerjasama dengan Balai Perikanan Budidaya Air Payau Situbondo memberikan bantuan benih ikan kepada Kelompok Usaha Garam Rakyat (KUGaR) sejak 2019. Tujuannya agar mereka dapat tetap produktif di saat musim jeda bertani garam. Jumlah benih yang diberikan 7000 ekor benih tiap kelompok. Dia bilang, tiap KUGaR biasa beranggotakan 7 orang.

“DKP tidak hanya memberikan bantuan benih, tapi juga melakukan pendampingan dari SOP dari perencanaan sampai pelaksanaan. Sebenarnya, standar kedalaman air tambak untuk bisa ditebarkan ikan itu sekitar 1 meter. Sedangkan realita kedalaman air tambak kurang lebih 50 – 60 cm. Karena kondisi demikian, ikan banyak yang tidak bertahan dan bisa juga mati,” katanya saat dihubungi Sabtu (14/5/2022).

Sejauh ini, katanya, KUGaR di daerah Lembung, Galis bisa memaksimalkan bantuan benih ikan itu. Meskipun yang lain belum maksimal, DKP tetap memberikan bantuan dan pendampingan.

Pada tahun 2021, DKP melakukan sosialisasi untuk pendampingan ke Desa Lembung, Desa Pademawu Timur, Desa Padelegan dan Desa Majungan. Dia bilang, bantuan dari pemerintah bukan hanya benih ikan. Tahun 2020 dari APBD Kabupaten Pamekasan bantuan sarana bagi petambak garam. Sedangkan pada 2019, diberikan bantuan sarana pertanian garam kepada 167 kelompok KUGaR.

“Akan tetapi, karena kami juga berpikir agar mereka dapat mandiri, kami berikan pendampingan bertahap. Tahap 1, pemberdayaan dari tidak berkelompok agar berkelompok. Tahap 2, pengembangan agar dari kelompok tersebut membentuk lembaga yang lebih baik, berdaya saing dan maju serta lebih mandiri secara kelembagaan diharapkan tidak lagi bergantung kepada bantuan pemerintah. Lembaga berupa koperasi yang bergerak di sektor usaha garam rakyat,” paparnya.

baca juga : Kisah Lasiyem, Petani Garam Terakhir Bledug Kuwu 

Ilustrasi. Seorang petani sedang  memanen garam di Sedayulawas, Brondong, Lamongan, Jawa Timur, Senin (26/07/2019). Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

Produksi Garam terdampak Perubahan Iklim

Dalam jurnal berjudul “Dampak Perubahan Iklim terhadap Petani Tambak Garam di Kabupaten Sampang dan Sumenep”, Tikkyrino Kurniawan dan Achmad Azizi menjelaskan iklim sangat berpengaruh terhadap produksi garam karena teknik penguapan yang digunakan pada tambak garam sangat bergantung pada cuaca dan iklim. Dalam hubungan ini curah hujan merupakan salah satu unsur utama yang mempengaruhi produksi garam.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa tanpa strategi adaptasi hujan bisa menyebabkan berkurangnya produksi garam secara signifikan. Selain itu, angin kencang dan badai juga merusak kincir angin dan gudang garam, pasang sementara gelombang tinggi merusak tambak dan abrasi mengurangi jumlah tambak garam,” ungkap Tikkyrino Kurniawan dan Achmad Azizi.

Dalam penelitian Kustiawati Ningsih dan Nur Laila dari Fakultas Pertanian, Universitas Islam Madura berjudul ‘Kajian Sosial Ekonomi Pada Petani Garam di Wilayah Madura’ menjelaskan bahwa, (1) rata-rata pendapatan petani garam per bulannya adalah Rp1.784.416 per hektar per bulan, (2) rata-rata range score petani garam Madura berdasarkan indikator kesejahteraan BPS tahun 2020 berada dalam kategori kurang.

D. Aldi, Nurhayati, dan E. I. K. Putri dalam hasil penelitian berjudul “Resiliensi Dan Adaptasi Petani Garam Akibat Perubahan Iklim di Desa Donggobolo, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima” menjelaskan, perubahan iklim memiliki dampak bagi produksi garam dan rumah tangga petani garam. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus–September 2020 dengan melakukan penilaian terhadap penggunaan modal nafkah, tindakan resiliensi, serta adaptasi sebagai bentuk respons perubahan iklim.

Berbagai adaptasi juga dilakukan sesuai dengan fenomena iklim yang dihadapi seperti mengatur jumlah tenaga kerja di tambak garam, memberhentikan produksi, mencari alternatif nafkah, serta adaptasi teknologi. Alternatif nafkah menjadi prioritas apabila penghasilan pada saat musim garam yang tidak mencukupi. Pemanfaatan teknologi masih sedikit dilakukan karena sebagian besar pengadaannya bergantung pada pemerintah,” jelas dalam penelitian tersebut.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Prof Dwikorita Karnawati menilai, wilayah Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.

“Bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau-pulau kecil, dan memiliki curah hujan tahunan yang tinggi, menyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kondisi ini membutuhkan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim untuk mengurangi dampak bencana hidrometeorologi dan menurunkan emisi gas rumah kaca,” katanya, dilansir dari merdeka.com, Jumat (19/11/2021).

Exit mobile version