Mongabay.co.id

Merawat Hutan Adat Pargamanan-Bintang Maria

 

 

 

 

“Ini aku bikin supaya pohon-pohon bisa ditanam di hutan yang sudah gundul,” kata Rajes Sitanggang, warga adat Pargamanan-Bintang Maria, di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Rajes bikin rumah bibit di belakang rumahnya tiga tahun lalu. Dia budidaya bibit aren, kemenyan, rotan, sampai alpukat.

Pohon-pohon ini, katanya, sebagai andalan agar bisa menahan laju air bila musim hujan tiba.

Ratusan bibit di dalam polybag tertata rapi di rumah berlapis kasa hitam itu. Bila sudah waktunya, dia tanam di hutan adat. Rata-rata usia bibit satu sampai tiga tahun.

“Barusan sampai (datang) ratusan bibit makademia, bantuan pemerintah disalurkan melalui KSPPM (Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat),” katanya.

Rajes membagi-bagikan bibit itu ke anggota komunitas lain.

Dia juga mencari bibit-bibit kemenyan yang tumbuh di bawah-bawah pohon tua lalu menanamnya kembali. Untuk pohon kemenyan ini, dia tanam di lahan tak produktif atau hutan-hutan yang gundul.

Bibit tumbuh di sekitaran pohon secara alami. Tanaman-tanaman muda itulah yang Rajes ambil dan tanam lagi di tempat lain.

Tanah dia lubangi sekitar setengah meter, isi kompos, jarak antara satu dengan yang lain berkisar antara 3-5 meter.

Setelah bibit tertanam, Rajes menutup dengan daun dan ranting pohon agar tanah gembur. Daun dan ranting membusuk secara alami menjadi kompos.

 

Baca juga: Aksi Jalan Kaki dari Sumut ke Jakarta, Demi Kelestarian Danau Toba

Rajes Sitanggang, di rumah bibitnya. Foto: Baritanews Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Dia tergerak bikin rumah bibit dan terus menanam karena khawatir hutan di komunitas adat mereka makin menipis. Apalagi, hutan adat, hutan kemenyan Pargamanan-Bintang Maria, masuk dalam izin yang pemerintah berikan kepada perusahaan bubur kertas, PT Toba Pulp Lestari. Pepohonan di hutan adat, termasuk kemenyan, berganti eukaliptus.

Pohon kemenyan dapat disige (disadap) pertama kali saat usia 6-7 tahun. Satu batang pohon kemenyan mencapai 10-15 tahun sejak proses manige ( menyadap) pertama dilakukan.

Pohon tak produktif akan ditebang, jadi kayu bakar selama petani tinggal di kebun kemenyan.

Baginya, masyarakat adat bergantung dengan hutan jadi kewajiban untuk menjaga keberlangsungan ekosistemnya.

Menurut dia, deforestasi dampak eksploitasi perusahaan akan berdampak pada perubahan iklim yang makin sulit diprediksi, termasuk ancaman banjir.

Wilayah Adat Pargamanan-Bintang Maria berkisar 1.700-an hektar. Batas alam ditandai dua aliran sungai yaitu Sungai Sihulihap dan Aek Simonggo.

Hutan berisi tanaman endemik dan ribuan jenis pohon alam. Pohon, katanya, punya peran penting supaya kedua sungai itu tetap terjaga mutu dan kelestariannya. Sumber mata air bersih berlimpah itu memberikan kehidupan bagi masyarakat di hilir.

Hingga kini, warga Pargamanan–Bintang Maria terus bertahan di tengah krisis pandemi dan konflik.

Mereka berharap, pemerintah segera mengakui dan melindungi hutan adat mereka demi kelestarian dan ancaman perubahan iklim.

 

Baca juga: Akhirnya Masyarakat Pandumaan Sipituhuta Dapatkan Hutan Adat Mereka

Bermacam bibit termasuk kemenyan ada di rumah bibit Rajes Sitanggang. Foto: Baritanews Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Penjaga iklim

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai, masyarakat adat menjaga norma hidup agar sumber daya alam dan keanekaragaman hayati tetap lestari.

Indonesia punya komitmen menekan emisi karbon 29% pada 2030. Masyarakat adat sebagai garda terdepan pemenuhan target Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca ini.

“Guna mencegah krisis iklim hutan adat di Indonesia telah berkontribusi menjaga karbon,” kata M Arman, Direktur Advokasi Hukum dan HAM AMAN.

Untuk itu, katanya, perlu memastikan hak masyarakat adat terpenuhi, salah satunya melakukan pemetaan wilayah adat.

Dengan pengakuan terhadap masyarakat adat, bisa jadi upaya mencegah perubahan iklim. “Melindungi hak masyarakat adat. Kolaborasi antar pemerintah, organisasi masyarakat sipil, inilah satu-satu jalan.”

Masyarakat adat, katanya, mengelola hutan secara berkelanjutan, salah satu di Pargamanan-Bintang Maria. Warga mengambil getah kemenyan di hutan juga menanam kembali pohon haminjon agar hutan tetap lestari.

 

Pohon kemenyan sebelum disadap. Foto: Ayat Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

***

Pada pertengahan tahun atau sekitar Mei-Juni, ada ritual mamukka-mukka di Komunitas Adat Pargamanan-Bintang Maria. Saat itu, mereka serentak ke hutan untuk mulai musim manige (menyadap) kemenyan.

Saat ritual itu, Komunitas Adat Pargamanan–Bintang Maria memberikan persembahan berupa itak gurgur–olahan tepung dengan kelapa muda diparut, dan gula pasir atau gula aren, Adonan dicetak dengan tangan, disandingkan dengan satu butir telur ayam kampung.

Bagi petani kemenyan, ritual pembuka masa panen sebagai doa kepada maha kuasa agar mendapat getah kemenyan berlimpah.

Parung simardagul-dagul…sahali mamarung, gok apanggok bahul-bahul. ” Warga mengucap mantra sebelum manige batang kemenyan. Mantra ini berarti sekali menderes bakul penuh.

 

Pohon kemenyan usai disadap. Foto: Baritanews Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia.

*********

 

Exit mobile version