Mongabay.co.id

Melihat Cara Warga Lindungi Hutan Sakral Desa Les

 

 

Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali mempunyai kawasan hutan lindung . Pada Hari Minggu (08/05/2022), saya berkeinginan untuk melihat langsung kondisi hutan yang disakralkan itu.

Di tengah perjalanan di tengah hutan Desa Les, tiba-tiba kebelet ingin kencing. Saya bertanya, apakah boleh kencing di sekitar semak-semak?

Kartika, perempuan muda Ketua Karang Taruna Buana Lestari Desa Les melarang. “Sebentar, tahan dulu ya. Ini kawasan suci,” katanya usai bersembahyang di sebuah pura di tengah hutan. Ini salah satu kebiasaan bagi warga untuk menjaga kawasan hutan lindung yang disakralkan itu. Meletakkan tugu untuk lokasi persembahyangan saat lewat.

Selain itu, warga tidak diperkenankan ke kawasan sumber air ini jika sedang menstruasi, untuk mandi, atau membuat leteh seperti membuang sampah, dan lainnya. Di depan goa, ada papan berisi tulisan dalam bahasa Inggris untuk larangan mandi di sekitar goa.

Bahkan, sebelum berangkat, Kartika dan beberapa temannya mengajak memercikkan air santan berisi daun intaran dan alang-alang (ambengan) yang diramunya dari rumah. Ia juga membawa beberapa canang sari, sesajen dari rangkaian bunga dan janur.

baca : Menikmati Suasana Sakral Hutan Bambu Panglipuran Tanpa Takut Tersesat

 

Warga membasuh kepala dengan ramuan santan, intaran, dan ilalang sebagai tradisi masuk hutan Desa Les, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ramuan air santan ini diyakini bisa menyucikan diri sebelum trekking ke tengah hutan. Daun intaran dikenal sebagai tumbuhan obat terutama disinfektan alami. Pohon-pohon intaran masih banyak dijumpai di pesisir Bali sampai ke utara, misalnya di Kabupaten Karangasem dan Buleleng. Pohon inataran diyakini bisa dimanfaatkan dari bagian kulit, daun, biji hingga daunnya untuk menjaga kesehatan. Misalnya anti inflamasi, detoks, jamu, dan lainnya.

Sedangkan alang-alang, sejenis rumput gajah ini kerap jadi bagian dari ritual adat dan agama di Bali. Disimbolkan sebagai keheningan, alang-alang yang disebut ambengan ini diikat di kepala dan berisi bunga sebagai petanda penyucian diri.

Kami akhirnya melanjutkan perjalanan menuju goa di tebing tengah hutan tanpa jalan setapak ini. Beberapa remaja sekitar menjadi relawan untuk membuka medan. Mereka membawa celurit yang biasa dipakai mencari rumput pakan ternaknya. Jalan setapak yang dibuat sangat sempit, karena di sisi kiri jurang, dan sisi kanan tebing ditutupi pepohonan lebat dan tanaman merambat.

Satu-satunya petunjuk menuju goa adalah pipa besi dan paralon untuk membawa air menuju dusun-dusun di sekitarnya. Para remaja muda ini tak mengeluh dengan medan cukup sulit menuju tujuan. Mereka hendak napak tilas sejarah desa dari beberapa titik petilasan. Sedikitnya ada dua pura, sungai di bawah tebing, dan goa.

Setelah sekitar satu jam berjalan membuat jalan setapak, kami akhirnya bisa membasuh keringat dan membasahi tenggorokan dengan air bersih yang jatuh dan mengalir dari tebing. Rasanya segar sekali. Inilah bagian dari sumber air yang ditampung di pipa-pipa menuju rumah warga terutama di sekitar Dusun Yangudi.

baca juga : Foto : Metekruk, Cara Orang Asli Bali Menghargai Alam Sekitarnya

 

Buleleng, Bali yang disakralkan. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Desa Les termasuk desa pesisir karena berdampingan dengan laut. Namun sebagian wilayahnya ada di dataran tinggi, berbatasan dengan kabupaten Bangli. Lokasi Gunung dan Danau Batur. Di dataran tinggi inilah, warga melindungi sumber airnya dengan menjaga sebagai kawasan suci.

Lokasi gemricik air di tebing-tebing ini bukan akhir perjalanan. Kami masih melanjutkan ke titik akhir, yakni Goa Yeh Song. Yeh artinya air, sedangkan Song bermakna goa. Secara harfiah bisa disebut goa air.

Airnya deras sekali kalau musim hujan. Katanya ini goa yang dipakai pemberontak,” Gede Eka mengingat apa yang pernah didengarnya dari orang tua.

Goa ini cukup besar bisa dimasuki beberapa orang, dan diyakini cukup panjang. Namun beberapa anak muda yang pernah ke goa ini tidak berani menelusuri sampai ke dalam.

Air mengalir di lantai goa menunjukkan terhubung dengan hutan-hutan lebat di sekitarnya. Sejumah satwa kecil seperti serangga terlihat di sekitar mulut goa yang ditumbuhi tanaman perintis seperti lumut dan tanaman khas dataran tinggi.

Kami rehat di sekitar goa. Goa ini adalah titik terakhir tebing yang ditelusuri selama satu jam dari jalan dusun. Suara burung bersahutan. Hutan ini masih terjaga karena tak nampak jalan setapak atau penebangan pohon.

baca juga : Foto : Menyelami Arti Pandan Berduri Bagi Masyarakat Tenganan Bali

 

Mulut goa Yeh Song yang berlimpah air segar di dalam kawasan hutan sakral Desa Les. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Salah satu tanaman penjaga mata air yang dilestarikan warga adalah pohon lontar dan aren yang juga memberikan penghasilan warga. Salah satunya adalah Nyoman Wirya Dama, warga Dusun Yangudi.

Setiap hari ia bisa memanjat 7 pohon lontar untuk memanen nira dari bunga lontar. Ia mengolah nira lontar jadi gula juruh. Sebutan untuk gula cair dari lontar yang cita rasanya seperti madu. Manis dengan sedikit rasa asam yang segar. Jika mendapat 5 liter nira, maka setelah dimasak di atas tungku kayu selama 2 jam, ia hanya menghasilkan 1 liter gula juruh.

Yang penting ada penghasilan,” katanya. Ia menjual langsung ke pasar desa dengan harga Rp20-25 ribu per botol ukuran 650 ml tergantung persediaan nira. Gula juruh ini cocok dipakai untuk berbagai jenis makanan dan minuman. Misalnya untuk pengganti gula putih di teh, kopi, atau susu. Rasanya yang segar membuat kopi atau teh tidak terasa enek terlalu manis.

Ia mengatakan di sekitar dusunnya ada sekitar 15 petani lontar yang membuat gula juruh. Olahan gula ini menjadi ciri khas Desa Les. Biasanya nira aren atau lontar diolah jadi gula padat atau gula semut.

Penghasilan tambahan warga adalah sebagai peternak sapi, cengkeh, dan kakao yang tumbuh di dataran tinggi. Namun tanaman ini tak monokultur. Di kebun warga pasti ada aneka umbi-umbian, sayur, buah, dan lainnya.

Di pondoknya yang sederhana, Wirya sedang memasak nira yang dipanen hari itu. Istrinya menjaga nyala kayu bakar selama proses memasak 2 jam. Setelah dingin, baru dikemas dalam botol. Gula juruh ini sangat mirip madu, kental namun lembut saat disesap.

Kami disuguhkan teh dan kopi. Gula juruh sebagai pemanis alami yang lebih sehat. Rasa teh menjadi lebih berwarna dan bercitarasa tumbuhan. Demikian juga kopi, terasa lebih harum, namun tak menghilangkan kepekatannya.

baca juga : Hutan Kampung yang Menyelamatkan Kuta

 

Panorama laut dan hutan Desa Les, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Panorama laut

Desa Les adalah desa yang terkenal sebagai salah satu sentra ikan hias. Sebelum tahun 2000-an, nelayan menangkap ikan hias dengan cara tidak bersahabat yakni dengan sianida. Sejumlah aktivis lingkungan dan LSM mendampingi proses perubahan perilaku sampai kini menjadi lebih ramah lingkungan misalnya dengan jaring lembut.

Warga membuat patroli laut untuk memberi peringatan bagi yang masih melakukan cara merusak lingkungan. Para nelayan penangkap ikan hias melakukannya dengan cara manual seperti free dive, bahkan dengan alat sederhana buatan sendiri dari kacamata, jaring, dan lainnya.

Panorama laut Desa Les ini bisa dinikmati ketika turun dari hutan dan tebing menuju bebukitan di sisi timur. Salah satu titik yang terbuka menikmati pesisir Les dan pemukiman dari jarak jauh adalah titik rumah kayu dan area kemping yang dibuat warga sekitar di Dusun Yangudi.

Pusat desa nampak jadi titik putih di tengah kerapatan pemandangan hijau bebukitan dan biru lazuardi lautan. Desa pesisir yang berusaha menjaga sumber air tawarnya di sepotong hutan agar tak kesulitan air saat musim kemarau.

 

Exit mobile version