Mongabay.co.id

Pasca COREMAP Selesai, Perlu Disiapkan Jejaring Pengelolaan Ekosistem Pesisir

 

 

Pemerintah Indonesia saat ini tengah fokus untuk menyiapkan jejaring pemantauan nasional dalam pengelolaan ekosistem pesisir. Kegiatan penting tersebut, selama 24 tahun ini sebagian besar dilaksanakan melalui kegiatan Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang- Segitiga Terumbu Karang Inisiatif Bank Dunia (Coral Reef Rehabilitation and Management Program – Coral Triangle Initiative World Bank/COREMAP-CTI WB).

Sayangnya, pada Juni mendatang, program tersebut akan berakhir dan mengakhiri seluruh kegiatan yang dilaksanakan lintas kementerian dan lembaga (K/L). Dengan demikian, agar kegiatan pemantauan dalam pengelolaan ekosistem pesisir bisa terus berjalan, diperlukan jejaring yang kuat sebagai gantinya.

Kepala Organisasi Riset Kebumian dan Maritim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ocky Karna Radjasa pada akhir pekan lalu mengatakan bahwa program COREMAP menjadi kegiatan yang penting, karena di dalamnya ada riset untuk mengumpulkan data-data biofisik.

Infomasi yang dihasilkan dari riset tersebut bisa menjadi acuan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” ungkap dia.

Perlunya disiapkan jejaring pemantauan untuk pengelolaan ekosistem pesisir, karena Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki 17.508 pulau dengan total panjang garis pantai mencapai 108.000 kilometer. Dari kekayaan alam tersebut, ada sumber daya pesisir yang berlimpah dan bermanfaat bagi manusia.

baca : COREMAP Berjalan Sukses, Tapi Belum Jadi Sistem Pembangunan Nasional

 

Pulau Badi, Pangkep, Sulsel yang dulunya penuh dengan sampah plastik kini mulai bersih. Sampah-sampah biasanya datang dari daratan atau pulau lain sekitar atau ketika ada pesta pengantin. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurut Ocky, pengelolaan yang baik dan tepat akan bisa menjaga kelestarian sumber daya pesisir yang kemudian akan bisa dimanfaatkan dengan maksimal untuk kemakmuran masyarakat. Namun, itu semua hanya bisa didapatkan jika ekosistem pesisir dan lingkungannya bisa sehat dan terjaga dengan baik.

Untuk itulah perlu dibentuk jejaring yang melibatkan seluruh stakeholder terkait dalam melakukan pemantauan nasional dalam pengelolaan ekosistem pesisir,” tambahnya

Melalui kegiatan COREMAP, data-data yang sangat diperlukan bisa terkumpul, seperti kondisi biofisik dan kualitas perairan yang bisa menggambarkan kondisi terkini ekosistem pesisir dan laut. Dari data-data tersebut, bisa diketahui apakah ekosistem di pesisir dan laut kondisinya berfungsi dengan baik atau tidak.

Dia menjelaskan, pelaksanaan pemantauan biofisik ekosistem pesisir selama ini dilakukan dalam berbagai kegiatan oleh berbagai pihak yang melibatkan lembaga atau instansi, baik yang ada di pusat ataupun di daerah, perguruan tinggi, serta masyarakat secara umum.

Namun demikian, untuk menghindari disparitas dan demi terwujudnya efektivitas, akan lebih baik jika data dan informasi yang didapat dari berbagai sumber tersebut bisa dikolaborasikan dan dimanfaatkan untuk memberikan gambaran, masukan, dan penyusunan strategi pengelolaan ekosistem pesisir dalam skala nasional.

Berdasarkan data tersebut dapat dijadikan indikasi keberhasilan dari sistem pengelolaan yang sudah berjalan di daerah tersebut,” tutur dia.

baca juga : Memulihkan Ekonomi Nasional dengan Rehabilitasi Terumbu Karang?

 

Kawasan hutan mangrove Sofifi yang menawan dilihat dari udara. Foto : Opan Jacky

 

Dengan memetakan bagaimana pentingnya pemantauan dilakukan secara bersama dan melibatkan banyak pihak dengan menggunakan metode yang tepat, maka diharapkan pengelolaan ekosistem pesisir bisa tercipta dengan berkelanjutan.

Selain itu, jejaring nasional juga dibutuhkan untuk memberikan informasi dan kebijakan strategis yang didasarkan pada data-data saintifik. Jejaring tersebut juga akan meningkatkan komitmen dan kerja sama lintas institusi dan sektoral untuk mendukung implementasi Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia.

“Akan sangat baik apabila data dan informasi yang didapat dari berbagai sumber tersebut, dapat dikolaborasikan dan dimanfaatkan sehingga memberikan gambaran, masukan dan penyusunan strategi pengelolaan ekosistem pesisir dalam skala nasional,” pungkas dia.

Kepala Pusat Riset Oseanografi BRIN Udhi Eko Hernawan menguatkan pernyataan Ocky yang menyebut bahwa pembentukan jejaring pemantauan untuk pengelolaan ekosistem pesisir adalah salah satu tujuan yang sedang fokus dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia saat ini.

Menurut dia, para pihak yang berkaitan sudah menyatakan persetujuannya untuk membentuk jejaring secara nasional dengan menetapkan ruang lingkup kegiatannya adalah mencakup riset untuk ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove.

Pembentukan jejaring tersebut akan menjadi sebuah platform yang di dalamnya terlibat institusi pusat, daerah, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Oleh karena itu, diperlukan struktur dengan peran jelas untuk memudahkan koordinasi, baik dari sisi teknis maupun administratif.

baca juga : Pusat Riset Kelautan Didirikan untuk Imbangi Kemajuan Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Seorang penyelam sedang melihat biodersitas terumbu karang yang luar biasa di perairan Kepulauan Lease, Maluku Tengah, Maluku. Foto : Purwanto / Coral Triangle Center

 

Sejauh ini, Udhi menyebutkan kalau pihaknya sudah mengusulkan struktur diisi oleh koordinator atau ketua yang dipegang Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Sekretariat oleh BRIN, dan Kelompok Kerja (Pokja) Bidang Basis Data dan Informasi BRIN.

Selain itu, struktur jejaring pemantauan ekosistem pesisir nasional juga diisi oleh Pokja Bidang Monitoring dan Konservasi Ekosistem Pesisir, Pokja Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang), serta Pokja Bidang Capacity Building.

 

Peta Jalan

Dalam melaksanakan pembentukan jejaring pemantauan nasional, dijalankan juga peta jalan (roadmap) yang dilaksanakan pada 2022 hingga 2024. Selama waktu tersebut, dirancang pembentukan finalisasi kelembagaan Jejaring Nasional, dan pembuatan grand design monitoring.

Selain itu, dilaksanakan juga integrasi dan peningkatan cakupan data ekosistem pesisir ke dalam satu platform, monitoring ekosistem pesisir, melakukan riset ekosistem pesisir, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM), penyusunan naskah rekomendasi, dan konservasi ekosistem pesisir.

Semua peta jalan tersebut menjadi bagian dari rekomendasi pembentukan jejaring pemantauan ekosistem pesisir nasional yang dilakukan oleh BRIN dengan Kemenko Marves. Dengan melibatkan para pihak, diharapkan sinkronisasi data pengamatan yang dihasilkan bisa terjadi, dan standardisasi kegiatan pemantauan pesisir bisa terbangun.

Sementara, Deputi Bidang Sumber daya Maritim Kemenko Marves Jodi Marhadi mengungkapkan bahwa pemantauan ekosistem pesisir menjadi faktor yang krusial, mengingat kondisi iklim yang berubah dan aktivitas masyarakat yang selalu dinamis.

Dengan terus memantau kondisi terkini ekosistem pesisir dengan kontinu, diyakini akan didapatkan data lebih baik lagi dan bisa dijadikan acuan untuk membuat kebijakan pengelolaan pesisir dan kelautan yang berkelanjutan.

Dia menilai, semua data dan informasi dari berbagai sumber yang menjadi hasil dari pemantauan ekosistem pesisir di Nusantara, sebaiknya dikolaborasikan dan dimanfaatkan untuk memberikan gambaran dan masukan dalam penyusunan strategi pengelolaan pesisir.

baca juga : Kawasan Konservasi Perairan, Kunci Pengelolaan Ekosistem Laut dan Pesisir

 

Sejumlah perahu nelayan tradisional ditambatkan di pantai timur Pangandaran, Jawa Barat. Foto : shutterstock

 

Agar kolaborasi yang dimaksud bisa menghasilkan satu data tentang pemantauan dan pengelolaan ekosistem pesisir, maka diperlukan keterlibatan dari berbagai disiplin ilmu untuk menerapkan bagaimana pengelolaan pesisir dan lautan secara terpadau yang berkelanjutan.

Itu untuk menjawab segala permasalahan yang dihadapi,” terang dia.

Bagi Jordi , kegiatan kolaborasi untuk memantau dan mengelola ekosistem pesisir harus bisa dikoordinasikan dalam jejaring yang bisa menjadi fasilitator bagi semua daerah yang memiliki kepentingan di pesisir. Juga, sekaligus menjadi fasilitator untuk kepentingan nasional.

Terpisah, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Kemen PPN/Bappenas) Arifin Rudyanto menjelaskan kalau COREMAP dirancang dengan memadukan kebijakan berdasarkan ilmu pengetahuan (science based policy) dan pelaksanaan berbasis masyarakat (community based implementation).

Dengan demikian, peraturan yang dibuat juga tepat dengan yang dibutuhkan masyarakat serta kondisi lingkungannya,” terang dia.

Adapun, program COREMAP-CTI melalui Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dan para mitranya, dilaksanakan di dua provinsi yang terpilih dan masuk dalam bagian penting Segitiga Terumbu Karang Dunia (Coral Triangle).

baca juga : Pemulihan Terumbu Karang di Tengah Pandemi COVID-19

 

Terumbu karang dan biota laut di perairan Nusa Penida, Bali. Foto : Marthen Welly/Hope Spot

 

Selain di Raja Ampat, Provinsi Papua Barat, kegiatan juga berlangsung di Laut Sawu yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kedua lokasi tersebut mendapatkan dana hibah dari Global Environmental Facility (GEF) yang dikelola oleh Bank Dunia (WB) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar USD6,2 juta.

Arifin mengatakan, walau periode untuk melaksanakan COREMAP di bawah Bappenas berjalan cukup singkat dari 2019 hingga 2022, namun kegiatan tersebut memberikan dampak bagi rehabilitasi lingkungan setempat.

Selain itu, program tersebut juga telah memperkuat pemberdayaan masyarakat, melalui penyadartahuan tentang pentingnya keberadaan wilayah tempat mereka tinggal. Penguatan tersebut, mencakup juga pemberdayaan ekonomi melalui alternatif yang bisa dijalankan.

Kita berharap COREMAP ini menjadi model bagi pengelolaan ekosistem pesisir prioritas di wilayah lainnya yang ada di Indonesia,” tegas dia.

Sedangkan Direktur Kelautan dan Perikanan Kemen PPN/Bappenas Sri Yanti JS menjelaskan bahwa pelaksanaan COREMAP-CTI WB diharapkan bisa memicu banyak pihak untuk bisa ikut terlibat dalam pengelolaan ekosistem pesisir. Harapan tersebut akan bisa selaras dengan komitmen yang sudah dijalankan Bappenas, yaitu melaksanakan pengelolaan laut dan pesisir.

Target melaksanakan pengelolaan laut dan pesisir tersebut kemudian dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Di dalamnya ada target capaian luas kawasan konservasi hingga 26,9 juta hektare (ha), dan Penyelesaian Penataan Ruang Laut dan Zonasi Pesisir sebanyak 102 Rencana Zonasi.

baca juga : Ini Tantangan Menyatukan Pengelolaan Wilayah Pesisir Laut di Nusantara

 

Greenpeace mendokumentasikan keragaman hayati dan lingkungan di Papua yang terancam dan menanti aksi segera agar terlindungi. Foto: Paul Hilton/ Greenpeace

 

Dalam melaksanakan pengelolaan laut dan pesisir, Sri Yanti mengingatkan bahwa semua pihak terkait harus bisa bersinergi, baik itu yang ada di daerah ataupun pusat. Sinergi juga diperlukan lintas sektor dan berkaitan dengan pendanaan kegiatan.

Meski tidak mudah, tapi ketika semua dalam satu komitmen dan tujuan, semuanya bisa berjalan untuk mencapai tujuan utama untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan konservasi,” terang dia.

Berkaitan dengan kegiatan peningkatan efektifitas pengelolaan kawasan, diterapkan tiga pendekatan, yaitu pemanfaatan sumber daya kawasan secara berkelanjutan, perlindungan jenis terancam punah, dan implementasi rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K).

Dan dukungan kepada Pokmaswas (kelompok pengawas masyarakat) dan pemberian akses pengelolaan sumber daya perikanan oleh masyarakat,” tambah dia.

Direktur Eksekutif ICCTF Tonny Wagey pada kesempatan yang sama mengatakan, banyak pelajaran penting yang bisa didapatkan oleh warga sekitar lokasi tempat pelaksanaan program COREMAP-CTI WB. Selain itu, program tersebut juga bisa dilaksanakan oleh semua gender dan usia.

Dia menilai, kegiatan COREMAP juga berhasil mengubah perilaku masyarakat sekitar dalam memanfaatkan sumber daya laut. Jika sebelumnya ada yang terbiasa mengambil ikan dengan cara bom, maka kebiasaan itu secara perlahan menghilang dan diganti dengan cara yang ramah lingkungan.

Bahkan ada yang kini menjadi pembela keselamatan laut, seperti warga di Mutus dan Raja Ampat di Papua Barat,” sebut dia.

 

Exit mobile version