Mongabay.co.id

Was-was Eksploitasi Air Tanah Berlebih

 

 

 

 

 

Indonesia memiliki potensi air tanah cukup besar, sekitar 500 miliar meter kubik per tahun. Yang bisa dimanfaatkan atau potensi aman dikonsumsi ((safe yield) sekitar 155 miliar meter kubik atau 30% per tahun. Kondisi Indonesia, cukup mengkhawatirkan karena banyak terjadi eksploitasi berlebih air tanah hingga membahayakan lingkungan hidup.

Sebanyak 46% air rumah tangga berasal dari air tanah. Air tanah berkontribusi banyak bagi pemenuhan air baku dan air minum karena biaya pengambilan murah.

Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengingatkan, agar berhati-hati dengan penggunaan istilah optimalisasi pemanfaatan air tanah. Optimalisasi bukan berarti maksimalisasi pemanfaatan, namun keterpaduan pemanfaatan dengan air permukaan.

“Optimalisasi harus diartikan sebagai pemanfaataan optimal dengan berpegang pada prinsip safe yield,” katanya saat membuka webinar April lalu bertema “Optimalisasi Air Tanah untuk Semua,” diinisiasi Dewan Sumber Daya Air Nasional (Dewan SDAN).

Dengan begitu, ketidakseimbangan antara eksploitasi air tanah dan air permukaan bisa terhindarkan. Kemerosotan air tanah bisa dicegah, atau sekurang-kurangnya bisa memperpanjang umur air tanah.

“Air tanah ini harus dieksploitasi hati-hati. Begitu kita salah tidak hanya men-downgrade akuifer secara fisik juga merusak akuifer kimiawi,” katanya.

Meski tak terlihat, namun manfaat dan dampak air tanah bagi kehidupan bisa terlihat di mana-mana. Bahkan, di tempat yang kering di dalam tanah boleh jadi terkandung air yang sangat vital bagi kehidupan.

Air tanah dimanfaatkan secara luas, untuk air minum, kesehatan, pertanian, hingga industri. Di banyak tempat, terjadi penggunaan berlebih air tanah, tetapi di sisi lain, ada tempat yang belum diketahui berapa besar cadangan air tanah yang ada di perut bumi.

 

Baca juga: Berebut Air dari Bumi Yogyakarta

Mesjid Layur, Semarang, tenggelam satu lantai. Kini, yang digunakan lantai dua, karena lantai pertama sudah masuk ke tanah karena penurunan muka tanah. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Pemanfaatan berlebih

Berdasar peta Cekungan Air Tanah (CAT) geoportal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, diketahui penyebaran cekungan dari Sumatera hingga Papua. Sebagian besar Sumatera memiliki CAT, demikian pula Jawa dan Papua. Kalimantan diketahui separuhnya memiliki CAT, Sulawesi hanya sebagian kecil ada CAT. Total cekungan yang sudah terpetakan ada 421.

Josaphat Rizal Primana, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian Bappenas diwakili Direktur Pengairan dan Irigasi Abdul Malik Sadat Idris menyebutkan, sumber penggunaan air minum dan mandi cuci di kawasan aglomerasi adalah air tanah dengan persentase rata-rata lebih 40%.

Hampir 50% penggunaan air untuk kebutuhan domestik nasional, katanya, bersumber dari air tanah. Baru dari sumber lain seperti sumur atau mata air, perpipaan, sungai dan danau, air kemasan, dan air hujan.

“Saat ini, terjadi ekstraksi berlebih untuk daerah urban dan industri. Dua kasus yang sering disebut adalah Jakarta dan Semarang. Di Jabodetabek 66,5% gunakan sumur dangkal, hanya 24% sambungan air pipa untuk kebutuhan domestik,” kata Malik.

Di Kedungsepur atau wilayah aglomerasi Kendal, Demak, Ungaran, Semarang, Salatiga, dan Purwodadi terdapat 770 industri dan diperkirakan gunakan air baku sekitar 7.000 meter kubik per hari. Pemenuhan air baku domestik baru 32%, tampungan air berupa waduk dan embung banyak mengalami pendangkalan.

Masih ada rencana penambahan kawasan industri di Kendal dan Semarang, mencapai 2.450 hektar.

“Meski 44% sudah menggunakan sambungan air pipa, namun 46% masih sumur dangkal. Ada korelasi antara daerah yang menggunakan sumber air tanah dengan land subsidence, baik di Jabodetabek, Kedungsepur, juga di daerah lain.”

Kajian JICA, KPUPR, dan Pemerintah Jakarta menyatakan, ketika daerah Cengkareng mendapat pasokan air, laju penurunan tanah mulai melandai. Ini menunjukkan korelasi positif antara abstraksi air tanah dan penurunan muka tanah.

Di lokasi kajian lainnya, yaitu Penjaringan dan Pelabuhan Nizam Zachman, masih terjadi penurunan.

Penurunan muka tanah tak hanya terjadi di Jawa terutama di pantai utara, juga di Langsa Aceh, Delta Mahakam, Madura, Denpasar, dan kepala burung Papua.

Kalau kota-kota di Asia seperti Tokyo, Taipei, dan Bangkok, laju penurunan muka tanah sudah mulai melandai, Jakarta justru seperti terjun bebas, dengan laju penurunan 1-15 cm per tahun.

Eko Budi Lelono, Kepala Badan Geologi KESDM menerangkan, air tanah sebagai bagian siklus hidrologi bisa mencapai puluhan ribu tahun hingga ada yang memasukkan sebagai unrenewable resource atau sumber daya alam tak terbarukan. Kondisi ini, memberikan konsekuensi pemeliharaan pada kawasan imbuhan dan pemanfaatan di area lepasan harus berjalan seimbang.

Namun seperti terjadi di cekungan air tanah Jakarta dan Bogor, terjadi aktivitas merusak daya dukung lingkungan dalam menjaga ketersediaan dan keberlanjutan air tanah.

Di Puncak dan Depok, yang sebenarnya daerah imbuhan marak pembangunan yang mengurangi potensi suplai air tanah. Di daerah lepasan, pengambilan air tanah berlebihan menyebabkan degradasi.

Dia juga menyoroti ketergantungan pasokan air bersih bagi rumah tangga dan industri dari air tanah. Padahal, air tanah seharusnya sebagai cadangan sumber air ketika air permukaan tak bisa digunakan.

 

Sumur resapan di Randuacir, Salatiga. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Kurang data

Heru Hendrayana, Ketua Dewan Pembina Aliansi Wali SDA Indonesia, mengatakan, jumlah air tanah lebih banyak, begitupun pemanfaatannya. Persoalannya, juga lebih banyak.

“Pengelolaan air tanah berbasis aksi konservasi harus diteruskan dan dipertajam. Pengelolaan berbasis aksi pendayagunaan atau alokasi air tanah, hingga bisa direduksi daya rusak air tanah secara signifikan.”

Pengambilan air tanah, katanya, sudah banyak melebihi safe yield, atau sudah masuk ke mining yield. “Artinya, kita sudah mengurangi, atau kebutuhan kita lebih dari recharge-nya (air imbuhan), hingga mengurangi jumlah cadangan air tanah. Ini merusak. Ini harus kita setop.”

Robert J Kodoatie, Dosen Fakultas Teknik Undip mengingatkan, untuk memperhatikan daerah yang bukan CAT. Sebab, seperti pengalaman longsor di Banjarnegara, yang menelan korban ratusan jiwa itu terjadi di kawasan bukan CAT.

Lambok Hutasoit, Guru Besar ITB menggaris bawahi capaian Indonesia dalam bidang air tanah yang masih rendah. Bahkan, pada tahap eksplorasi, Indonesia belum memiliki data lengkap. Seperti tercermin pada perdebatan apakah di kawasan ibukota negara baru memiliki cadangan air atau tidak.

“Eksplorasi biar kita tahu air tanahnya di mana, akuifernya di mana, sebarannya di mana, Contohnya, Jakarta paling (yang diketahui) sampai 300 meter, demikian pula Bandung. Di bawahnya apakah tidak ada air tanah? Kalau ada mungkin bisa dimanfaatkan. Bagaimana dengan kota-kota kecil, lebih parah lagi. Tidak ada yang kita tahu.”

 

Jakarta, ‘rumah’ air seperti rawa dan situ sudah berubah jadi pemukiman atau ‘hutan beton;. Daerah i ini juga minim ruang terbuka hijau. Kondisi tambahparah kala terjadi penurunan muka tanah terjadi karena eksploitasi air tanah tinggi. Foto: BNPB

 

Hendarmawan, Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi Universitas Padjadjaran menyoroti, keseimbangan pemanfaatan air tanah yang berkelanjutan. Dia berpendapat perlu kajian menyeluruh soal ketepatan asal-usul air. Ini berguna untuk pemetaan dan konservasi di hulu.

Program penghijauan selain menangkap air juga dapat digabungkan dengan aktivitas yang punya nilai keekonomian hingga masyarakat bisa terlibat. Di hilir, masyarakat perkotaan bisa mengembangkan sumur resapan dan biopori.

Mahuarar Napitupulu, anggota Dewan SDA unsur nonpemerintah memaparkan soal penggunaan saling menunjang antara air permukaan dan air tanah.

Dia berpendapat, ekstraksi berlebih air tanah menyebabkan penurunan muka tanah di pantura Jawa dan Jakarta. Tanpa upaya pencegahan dan perbaikan, katanya, diperkirakan Jakarta tenggelam pada 2050.

Amblesan tanah kian mempersulit drainase hujan lokal. Butuh mesin pompa lebih banyak dan berdaya besar untuk mengatasi banjir lokal.

Di wilayah pesisir, katanya, dampak amblesan tanah juga menyebabkan banjir rob kian parah. Intrusi air laut makin jauh masuk ke daratan.

Solusi yang dia tawarkan untuk menjaga keseimbangan air permukaan dan air tanah adalah menahan air sebanyak dan selama mungkin di daratan.

Beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain melestarikan hutan di daerah aliran sungai, membangun tempat penampungan air seperti waduk, embung di daerah yang bukan merupakan CAT. Di daerah CAT bisa dibangun waduk air tanah bawah tanah seperti yang diusulkan di Wonosobo untuk menampung aliran air tanah Gunung Sumbing.

Selain itu, katanya, imbuhan buatan untuk air tanah bisa diperluas dengan sumur resapan, biopori, agar dapat memanen air hujan.

 

 

******

Exit mobile version