Mongabay.co.id

16 Tahun Lumpur Lapindo: Pencemaran Lingkungan Makin Mengkhawatirkan

 

 

 

 

Pada 29 Mei ini, 16 tahun sudah tragedi semburan lumpur panas dari pengeboran perusahaan tambang, PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Kendati sudah belasan tahun, penderitaan warga terdampak terus berlangsung dan kondisi lingkungan hidup di sekitar lokasi itu pun memburuk.

Kualitas lingkungan buruk di sekitar situs karena pencemaran paling mengemuka. Belum lagi, kehilangan sumber mata pencaharian warga.

“Sayangnya, problem-problem turunan pasca luberan itu tak pernah dilihat oleh pemerintah,” kata Wahyu Eka Setiawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, pekan lalu.

Berdasarkan catatan Walhi, ada dua persoalan utama jadi keluhan para korban akibat semburan lumpur Lapindo, yakni, , kesehatan dan akses air bersih.

Situasi itu, diperparah tak ada akses informasi cukup bagi warga terkait persoalan itu.

Site semburan Lapindo yang berlangsung belasan tahun lalu juga menyebabkan kualitas lingkungan sekitar menurun. Kondisi itu karena materi lumpur yang terus menyembur mengandung senyawa yang tak hanya berbahaya bagi lingkungan, juga manusia.

“Yang seperti ini tak pernah diurus.”

 

Pencemaran berlanjut

Penuturan Eka sejalan dengan laporan Pos Koordinasi untuk Keselamatan Korban Lumpur Lapindo (Posko KKlula).

Bambang Catur Nusantara, Koordinator Posko KKlula, mengemukakan, riset mereka menyebutkan, sumur-sumur warga tak lagi layak pakai karena diduga tercemar. Air sumur lengket di kulit dan menimbulkan gatal-gatal.

Selain itu, warna air juga berubah kuning pekat dengan aroma tak sedap cukup menyengat. “Jangankan memasak untuk mandi saja tak bisa karena bisa gatal-gatal,” kata Sulis, warga Gempolsari, Kecamatan Porong, Sidoarjo.

Desa ini berdempetan dengan lokasi semburan.

Kondisi sama juga terjadi di Penatarsewu. Pencemaran mengakibatkan jenis ikan di tambak menurun sejak 2006. Hanya ikan jenis tertentu yang dapat dibudidayakan menggunakan air yang sudah terkena limpasan lumpur Lapindo.

Untuk masak dan minum, warga memilih membeli air jerigen daripada air PDAM.

Repotnya, di tengah situasi itu, tak ada informasi jelas soal kondisi terkini di Lapindo, mauoun soal upaya mitigasi warga terdampak.

“Kami tidak memperoleh info apapun. Padahal, kami ingin tahu, apa sih yang dilakukan negara pada Lapindo. Apakah hanya pengelolaan fisik? Bagaimana dengan dampak dari senyawa-senyawa berbahaya di sekitar?” tanya Catur.

 

Baca juga: 15 Tahun Lumpur Lapindo: Derita Warga Tak Berkesudahan

Kedua grafis dari Posko KKLuLa

 

Pantauan lingkungan

Dia bilang, tak pernah ada informasi kondisi lingkungan atau pencemaran lingkungan dari pemerintah daerah maupun pusat, termasuk Pusat Pengendalian Lumpur Lapindo (PPLS).

Karena itu, sejak enam tahun lalu, bersama Universitas Brawijaya (UB), Posko KKLula memantau berkala guna mengetahui dampak Lapindo pada kesehatan dan lingkungan. Mereka uji laboratorium kualitas air di sekitar.

Catur katakan, pengujian dengan mengacu pada PP 82/2001 tentang Pengelolaan Air Kelas I dan Permenkes 492/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.

Hasil pengujian terungkap bila air di sekitar banyak mengandung bateri Escherichia (ecoli) dan coliform.

“Karena pengurus negara tidak melakukan apa-apa, kami akhirnya mencoba melakukan pemantauan untuk mengetahui setiap detil perkembangannya.”

Pada 2019, misal, Posko KKLuLa memantau sampel air di Kali Porong. Pada 2020 dan 2021, pemantauan di 16 titik, terdiri dari delapan titik di Kali Porong dan delapan titik di saluran irigasi sekitar Kali Porong.

Hasil pemantauan menggunakan beragam metode sampai pada kesimpulan sama (lihat gambar).

Catur bilang, mayoritas titik pantau kondisi tercemar berat dan beberapa terpantau tercemar sedang. “Ini berarti pemanfaatan air perlu melalui tahapan-tahapan tertentu, seperti filterisasi dan penjernihan air melalui mekanisme fisika, biologi, dan kimia. Tanpa itu, air akan berbahaya bagi manusia,” katanya.

Pemantauan kualitas udara di sekitar area site juga menunjukkan kondisi sama, terjadi peningkatan kadar polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) di area permukiman, seperti Glagaharum, Pajarakan, Gempolsari, dan beberapa tempat lain.

Yang perlu dicatat, katanya, kandungan hydrogen sulfida (H2S) pada PAH bersifat beracun. Salah satu dampak paling sederhana adalah kehilangan penciuman. Kondisi ini pula yang diduga menjadi penyebab banyak warga makin jarang mencium ‘bau lumpur’.

 

Baca juga: 15 Tahun Lumpur Lapindo: Dari Masalah Kesehatan sampai Gangguan Tumbuh Kembang Anak

Danau lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

IDAA Marwadewanthi, ahli Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, mengamini potensi paparan H2S di sekitar situs lapindo. Apalagi, sejak awal, kandungan gas dari belerang itu dikabarkan sangat besar. “Tentu saja berbahaya bagi kesehatan karena gas H2S memiliki sifat toxic, jadi harus jauh dari permukiman,” katanya, Kamis (26/5/22).

Kekhawatiran lain H2S, katanya, terjadi hujan asam. Kondisi ini, katanya, akan jadikan kadar PH di lingkungan rendah, merusak tanaman, bahkan ekosistem secara umum. Meski tidak bisa dilihat kasat mata, gas H2S ini bisa teridentifikasi dari bau yang menyengat.

“Dampaknya, biasa iritasi mata, hidung. Saluran pernapasan bagian atas sering kena,” kata Marwa.

Dia mengamini laporan Posko KKLuLa dengan banyak warga mengalami masalah kesehatan, seperti gangguan pernapasan, mual, pusing, keluhan percernaan, ataupun penyakit lain.

Amatan terhadap data tiga Puskesmas—Porong, Tanggulangin, dan Jabon—menunjukkan, pasien penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) tinggi.

Hasil pemantauan, ada penurunan penderita ISPA di dua puskesmas: 3.144 pasien di Porong dan 3.623 di Jabon. Namun, penderita ISPA di Tanggulangin terus meningkat pada 2020, ada 28.713 pasien (lihat gambar).

Menurut Catur, penurunan pasien ISPA di dua kecamatan itu bisa dipicu kepindahan warga masif sejak 2020. Warga pindah domisili berarti juga pindah ke fasilitas kesehatan lain. Penurunan itu juga dipengaruhi pandemi COVID-19 yang membuat warga enggan keluar dan mendatangi fasilitas kesehatan.

Lilik Umiyati, warga Gempolsari, mengatakan, alami gangguan lambung selama sebulan. Gangguan kesehatan, katanya, hampir terjadi setiap bulan pada kalender pantau.

Selama perawatan, dia sudah menghabiskan lima tabung oksigen.

Persoalan kesehatan lain yang jadi keluhan warga adalah makin banyak anak terdeteksi gangguan pertumbuhan (stunting). Warga menduga, gangguan itu ada kaitan dengan kondisi lingkungan, terutama udara dan air yang kian buruk.

 

Baca juga: Riset Sebut Lumpur Lapindo Sumbang Emisi Gas Metan Terbesar

Grafis dari Posko KKLuLa

 

Menurut Catur, para pengurus negara, pusat maupun daerah seharusnya hadir mencari tahu dan solusi atas berbagai persoalan turunan lumpur lapindo ini.

Peningkatan kasus ISPA maupun stunting bila dibanding sebelum dan sesudah semburan lumpur, kata Catur merupakan fakta tak terbantahkan. Keadaan itu, katanya, seharusrnya cukup jadi dasar bagi pemerintah untuk pemeriksaan yang sama.

Stunting, misal, tidak melulu karena faktor nutrisi atau gizi. Logam berat juga ikut bisa mempengaruhi. Ini yang sepertinya tidak dipahami.”.

Begitu juga dengan temuan cemaran bakteri ecoli dan coliform. Bakteri itu bisa memicu infeksi pencernaan yang menyebabkan diare. Kalau anak sering terkena diare, proses pertumbuhan terganggu karena tubuh tak dapat menyerap nutrisi dengan baik.

Masalahnya, di tengah sengkarutnya persoalan lingkungan dan kesehatan di sekitar Lapindo, pemerintah justru makin abai.

Para pengurus negara, kata Catur, makin tak peduli apapun di sekitar Lapindo, kecuali persoalan infrastruktur.

“Padahal, Lapindo bukan bendungan atau seperti waduk biasanya!”.

Pemerintah, katanya, harus serius memulihkan sistem kehidupan warga. Misal, lebih massif menanam pohon yang mampu menyerap karbon dalam jumlah banyak di sekitar lumpur. Harapannya, mengurangi paparan gas beracun di sekitar lumpur.

Dulu, kata Catur, ada upaya penanaman tetapi hanya di titik tertentu alias tak maksimal.

“Tidak tau masalahnya apa. Kalau memang tanah memiliki salinitas tinggi, seharusnya cari jenis tanaman lebih toleran.”

 

Danau lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo dengan latar belakang Gunung Penanggungan. Hingga kini lumpur terus menyembur tanpa diketahui kapan akan berhenti.. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Bencana industri

Kehidupan warga sekitar Lapindo menjadi potret betapa buruk penanganan para korban dampak bencana industri oleh pemerintah. Hal ini kontras dengan semangat Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) yang digelar di Bali, 25 Mei lalu.

Catur bilang, satu semangat forum ini adalah bagaimana mengurangi risiko dampak dari setiap bencana yang terjadi terutama akibat bencana industri.

Berkaca pada bagaimana perlakuan kepada para korban Lapindo ini, keterlibatan Indonesia dalam forum itu seolah tak ada guna.

Tak jauh beda dengan pendapat Eko Teguh Paripurno, pakar kebencanaan. Kepala Pusat Kajian Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ini mengatakan, pemerintah cenderung fokus pada persoalan infrastruktur dan jual beli aset-yang hingga kini belum tuntas. Soal manusia dan lingkungan terkesan terabaikan.

Eko bilang, fokus utama penanganan bencana adalah penyelamatan manusia. Tidak hanya terbatas pada urusan fisik. “Memindahkan manusia, lalu urusan selesai. Tidak cukup begitu. Bagaimana mentalitas, kehidupan mereka setelahnya, seharusnya tetap jadi perhatian,” katanya pertengahan Mei lalu.

Masalahnya, karena ada anggapan pemerintah kalau Lapindo sebagai bencana alam jadi penanganan para korban hanya fokus pada hal-hal bersifat kedaruratan, misal, mencarikan tempat baru pada para korban hingga jual beli aset

Catatan soal proses ganti aset dalam bentuk kesepakatan jual beli dia nilai kurang mencerminkan prinsip-prinsip keadilan itu. Selama ini, pengantian aset hanya terbatas pada obyek bersifat material, seperti sawah, pekarangan, hingga rumah. Hal-hal yang bersifat non materi, tak pernah dihargai.

Pekerjaan hilang, nilai budaya, serta kearifan-kearifan lokal lain yang hilang tak pernah dihargai. “Padahal, nilai-nilai itu semua yang membuat para korban merasa terpuruk. Sudah kehilangan rumah dan tanah, pekerjaan pun hilang.”

Kendati demikian, menurut Eko, yang terjadi di Porong bisa menjadi pelajaran semua pihak. “Terutama risiko akan dampak turunan. Ketika terjadi sesuatu yang berakibat pada kerugian masyarakat, hilangnya pekerjaan, ruang hidup, kerugian-kerugian itu harus juga dihitung.”

“Siapa yang menghitung? Semua yang berpotensi terkena dampaknya. Maka, potensi-potensi kerugian atas dampak turunannya, harus ada yang menanggung,” kata Eko.

Eko menegaskan, perhatian unsur manusia minim pada penanganan kasus Lapindo menjadikan sebagai terburuk sepanjang pengurusan bencana di Indonesia.

Ada banyak kepentingan, keragu-raguan bahkan ketidakjelasan bagaimana menangani para korban. Dampak lanjutan Lapindo terhadap lingkungan dan manusia, katanya, tak pernah diurus.

 

Grafis:Posko KKLuLa

 

Muka tanah sekitar turun

Semburan lumpur Lapindo memunculkan problem lain. Lumpur terus menerus keluar menciptakan rongga dalam perut bumi. Akibatnya, terjadi penurunan tanah di sekitar lokasi.

PPLS menyadari itu. Dalam laporan, PPLS menyebut, semburan lumpur deformasi geologi yang aktif di sekitar lokasi semburan.

Salah satu bentuk deformasi itu bisa ditandai penurunan muka tanah. Sekalipun belum ada data resmi pemerintah lebih detil soal angka ini.

Indra Arifianto dkk, ahli teknik geologi asal UGM dalam penelitiannya yang rilis dalam Journal of Geoscince, Engineering, Environmental and Technology 2020 itu, menyimpulkan, ada dampak deformasi dari keberadaan lumpur Lapindo berupa penurunan tanah sekitar. Bahkan, rerata, penurunan tanah 30 -90 sentimeter per tahun.

Celakanya, fenomena itu tidak hanya terjadi pada area di sekitar Lapindo juga wilayah sekitar sumur pengeboran PT Lapindo Brantas Inc– sisi barat lumpur, Tepatnya, di Sumur Kalidawir, merupakan lokasi pengeboran kedua Lapindo Brantas. Sekalipun tingkat penurunan lebih kecil.

Indra menyebut, temuan-temuan ini seharusnya menjadi acuan pengambil kebijakan dalam menentukan strategi dan perencanaan ke depan sebagai upaya antisipasi.

Amin Widodo, ahli geologi asal Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya menyebut, banjir kerap terjadi di Tanggulangin dan sekitar sebagai akibat penurunan tanah itu. Pemerintah lamban menyikapi.

Dia  menyayangkan sikap pemerintah yang kurang sigap. “Ini sudah lama ya. Ada kesan dibiarkan. Padahal, penurunan tanah itu terus terjadi.” Seharusnya, pemerintah meminimalisir dampak.

 

Asap panas mengepul dari pusat semburan disertai gas beracun. Gas ini menyebar ke area sekitar dan berpotensi mengganggu kesehatan warga. Foto: A.Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

**********

Exit mobile version