Mongabay.co.id

Rehabilitasi Mangrove Sering Gagal? Faktor Penting Ini Harus Diperhatikan

 

 

Momen Hari Keanekaragaman Hayati atau World Biodiversity Day yang diperingati setiap 22 Mei dijadikan refleksi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran publik terhadap kekayaan biodiversitas Indonesia.

Jaring Nusa, sebuah jaringan organisasi masyarakat sipil di Kawasan Timur Indonesia, berkolaborasi dengan Perkumpulan Japesda dan Jurusan Biologi Universitas Negeri Gorontalo, menggelar webinar bertajuk “Degradasi dan Upaya Rehabilitasi Hutan Mangrove, Bagaimana Masa Depan Wilayah Pesisir Kita?” serta melakukan pengamatan jenis-jenis burung di kawasan hutan mangrove di perkampungan Suku Bajo di Torosiaje, Kabupaten Pohuwato.

Mangrove didefinisikan sebagai formasi tumbuhan khas di pesisir yang dipengaruhi tingkat salinitas tertentu. Sedangkan hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh umumnya pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut.

Baca: 7 Fakta Penting Mangrove yang Harus Anda Ketahui

 

Hutan mangrove yang penting untuk kehidupan manusia. Foto: Pixabay/Public Domain/Sippakorn

 

Berdasarkan Peta Mangrove Nasional yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2021, total luas mangrove Indonesia sekitar 3.364.080 ha. Dari luasan itu, terdapat tiga klasifikasi mangrove sesuai persentase tutupan tajuk, yaitu mangrove lebat, mangrove sedang, dan mangrove jarang. Adapun fokus pemerintah dalam melakukan rehabilitasi kawasan mangrove berada di mangrove dengan kondisi tutupan yang jarang.

“Penyebab deforestasi terutama dari kegiatan manusia yaitu mencakup 60 persen luas mangrove yang hilang. Sisanya, disebabkan faktor alami atau dampak tidak langsung dari kegiatan manusia, termasuk erosi, kenaikan permukaan laut, dan badai yang dipicu oleh perubahan iklim,” kata Muhammad Yusuf, Kepala Kelompok Kerja Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove [BRGM], salah seorang pembicara webinar.

Menurut dia, ekosistem mangrove berperan vital dalam mitigasi perubahan iklim. “Negara-negara pemilik mangrove didorong melakukan upaya serius, mempertahankan mangrove tersisa dan memulai program restorasi dengan konsisten.

Abu Bakar Sidik Katili, dosen dan peneliti Jurusan Biologi Universitas Negeri Gorontalo mengatakan, perkembangan mangrove tidak akan berjalan maksimal jika hidrologinya terganggu. Potensi mangrove juga sangat penting terkait perubahan iklim dan pemanasan global.

“Jasa lingkungan mangrove memiliki potensi yang tinggi untuk menyerap karbon. Bahkan, mangrove dapat menyerap karbon dua kali lebih besar dari pohon yang ada di wilayah terestrial,” jelasnya.

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan rekan-rekannya di wilayah pesisir Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara, total nilai kandungan karbon atas permukaan tanah dan bawah permukaan tanah hutan mangrove di kawasan tersebut sebesar 65.403,43 kg.

Jika 1 ton karbon nilainya menggunakan 1 US$ saat itu Rp.12.667 [Oktober 2014], maka besarnya penambahan manfaat mangrove untuk penyimpanan karbon di wilayah tersebut sebesar Rp701.710,64 kg/ha.

Baca: Mangrove, Ekosistem Penting Langka yang Semakin Terancam

 

Mangrove yang tidak hanya mencegah abrasi tetapi juga benteng dari terjangan tsunami. Foto: Pixabay/Public Domain/Kmarius

 

Rehabilitasi mangrove

Berbagai upaya untuk merehabilitasi mangrove sering dilakukan. Namun, tak jarang penanaman itu mengalami kegagalan.

Rio Ahmad, Direktur Yayasan Hutan Biru, menyampaikan bahwa konteks rehabilitasi mangrove dalam model penanaman, tingkat keberhasilanya sangat rendah. Contoh kegagalan, penanaman mangrove pada lokasi yang tidak tepat membuat aktivitas tersebut menghasilkan kerugian.

“Mayoritas usaha yang dilakukan melalui proyek-proyek penanaman yang sangat amat sederhana, yaitu memaksakan mangrove untuk tumbuh di tanah datar berlumpur. Biasanya, di bawah permukaan laut, tempat mangrove tidak bisa tumbuh,” ungkapnya.

Selain itu, faktor penyebab kegagalan rehabilitasi mangrove adalah terkait kondisi dan masalah kepemilikan lahan. Faktor ini menjadikan sulit dilakukan penanaman di tempat yang semestinya.

Secara umum, Rio menjelaskan hal penting yang harus dipahami, yaitu sejarah kawasan yang ingin direhabilitasi dan kondisi landskap, apakah kawasan mangrove atau bukan.

“Jenis mangrove apa yang dulunya tumbuh di lokasi dan di sekitar lokasi yang dilakukan rehabilitasi harus diketahui.”

Ketinggian permukaan masing- masing jenis mangrove tumbuh juga harus diperhatikan, beserta faktor gangguan dan penghambat terjadinya regenerasi alami. Ini semua merupakan langkah awal rehabilitasi.

“Kesepakatan masyarakat sembari melakukan analisis stakeholders, gender, landtenure, serta valuasi mangrove dan kebutuhan tenaga kerja jangan sampai dilupakan,” ungkap Rio.

Baca juga: Nasionalisme Suku Bajo Merayakan Kemerdekaan Indonesia

 

Indonesia memiliki keragaman jenis mangrove yang tinggi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Nur Ain Lapolo, Direktur Perkumpulan Japesda, menjelaskan kondisi mangrove di Provinsi Gorontalo yang berkurang. Dia mencatat, hutan mangrove di kawasan konservasi di Gorontalo berkurang sekitar 60-70 persen.

“Kabupaten Pohuwato penyumbang konversi mangrove nomor satu di Gorontalo. Data tahun 2021 menunjukkan, hutan mangrove tersisa di Provinsi Gorontalo sekitar 7 ribuan hektar saja,” ungkapnya.

Dia menjelaskan, timnya telah melakukan pelestarian mangrove dengan pendekatan komunitas di Desa Torosiaje, perkampungan Suku Bajo di Kabupaten Pohuwato. Pendekatan pengelolaan tersebut memunculkan berbagai aktivitas bersama masyarakat.

Misal, pengembangan ekowisata berbasis konservasi bekerjasama dengan kelompok sadar lingkungan dengan mengalokasikan kegiatan wisata seperti menanam mangrove.

“Masyarakat bisa menjadikan mangrove sebagai pendapatan alternatif. Kami juga memberikan informasi, bahwa ekosistem mangrove saling berkait dengan ekosistem lain seperi terumbu karang dan padang lamun,” paparnya.

 

Exit mobile version