Mongabay.co.id

Benahi Tata Kelola Sawit dari Hulu ke Hilir

 

 

 

 

Mobil pikap berisi tandan buah sawit melewati jalanan Jakarta, 18 Mei lalu. Bukan mau ke pabrik sawit, mobil dan ratusan orang yang tergabung dalam Asosiasi Petani Sawit Indonesia (Apkasindo) ini sedang unjuk rasa. Mereka di Kantor Kemenko Perekonomian dan Patung Kuda, protes kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Mereka bilang, larangan ekspor CPO berdampak harga tandan buah sawit (TBS) turun.

Menyusul kenaikan dan kelangkaan minyak goreng sawit di dalam negeri, pemerintah keluarkan larangan ekspor bahan baku minyak goreng, termasuklah CPO sejak 28 April lalu.

Saat aksi itu, Indra Rustandi, Ketua Apkasindo Kalimantan Barat, mengatakan, sebelum pelarangan ekspor, harga TBS petani swadaya sudah turun. Pada petani plasma relatif aman, kisaran Rp3.800 per kg.

Untuk harga TBS petani sawit swadaya di kampung-kampung lebih memprihatinkan, dijual ke pengepul seharga Rp500-600.

“Sebelum pelarangan, harga sawit petani swadaya itu Rp3.900. Harga ditetapkan pemerintah Rp3.500. Sekarang berbalik, kami yang hancur, terus dikirim ke pabrik juga susah karena banyak yang tutup,” katanya di sela aksi.

 

Baca juga: Tak Sekadar Setop Ekspor, Harusnya Benahi Tata Kelola Sawit

Aksi Asosiasi Petani Sawit Indonesia (Apkasindo) protes larangan CPO di Jakarta, 18 Mei lalu. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Selang enam hari, tepatnya, 23 Mei lalu, pemerintah pun cabut larangan ekspor CPO. Kebijakan tutup keran ekspor bahan baku minyak goreng, termasuk CPO tak sampai berusia sebulan. Presiden Joko Widodo cabut kebijakan ini atas pertimbangan para tenaga kerja dan petani dalam industri sawit.

Dia beralasan, keputusan diambil karena kondisi pasokan minyak goreng nasional terus meningkat sejak ada larangan ekspor.

Rata-rata setok minimum kebutuhan nasional untuk minyak goreng curah, katanya, tercatat 194.000 ton per bulan.

Sebelum ada pelarangan ekspor pasokan nasional minyak goreng curah itu hanya 64.000 ton. Begitu larangan ekspor sawit berlaku, pasokan saat ini mencapai 211.000 ton per bulan, atau melebihi kebutuhan nasional.

Namun, Jokowi tak menyebut, kalau harga minyak goreng sawit di pasaran masih tinggi dari harga sebelum ada kelangkaan maupun kenaikan harga. Minyak goreng sawit kemasan perliter masih berkisar Rp23.000-Rp25.000.

“Meskipun ekspor dibuka, pemerintah tetap mengawasi dan memantau dengan ketat untuk memastikan pasokan tetap terpenuhi dengan harga terjangkau,” katanya dalam keterangan resmi pemerintah.

 

Mengumpulkan sawit di tepi jalan di Kabupaten Bengkalis, Riau. Buah berwarna merah kekuningan itu kemudian akan dibawa ke pabrik sawit (PKS). Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Tak selesaikan masalah

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, meskipun keran ekspor CPO dan minyak goreng sudah dibuka tetapi belum menyelesaikan masalah.

Faktanya, harga minyak goreng curah masih belum turun signifikan. Padahal, masyarakat berharap harga bisa turun dan terjangkau.

Dengan pencabutan larangan ekspor juga tak menjawab persoalan utama terkait tata kelola perkebunan sawit. Selain persoalan minyak goreng curah, sebetulnya masih banyak hal perlu diperbaiki dalam industri sawit. Industri sawit, perlu pembenahan tata kelola dari hulu ke hilir.

“Saya membayangkan pemerintah meneruskan kembali kebijakan moratorium sawit. Karena di kebijakan ini ada soal tata kelola, perbaikan perkebunan sawit, salah satu segi perizinan,” katanya, Kamis (26/5/22).

Dia berharap, berbagai masalah dari konflik lahan perkebunan sawit maupun kebun dalam kawasan hutan bisa selesai. Pemerintah, katanya, juga perlu melihat kembali beberapa kebijakan yang mendukung korporasi, salah satunya, konglomerasi tanah.

“Kejadian minyak goreng langka dan mahal ini sebenarnya menunjukkan permasalahan terjadi, ada satu kelompok yang mendominasi, begitu juga dengan CPO dan lahan sawit,” katanya.

Senada dengan Margaretha Setting Beraan, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Timur. Dia mengatakan, pemerintah berkewajiban mengatur regulasi soal pasokan minyak dalam negeri. “Jangan dibiarkan pada pasar bebas, dimana meraup keuntungan menjadi alasannya,” katanya.

Terpenting dan perlu menjadi perhatian serius pemerintah, katanya, soal penyelesaian pengambilan tanah adat oleh perusahaan-perusahaan perkebunan sawit.

Kasus terjadi di berbagai daerah di nusantara. Sampai sekarang, kata Setting, belum ada penyelesaian dan kepastian hak maupun pengembalian lahan warga.

“Masyarakat diberi janji-janji penyelesaian, sedang perusahaan sawit terus saja menanam dan beroperasi diatas tanah adat yang tidak pernah diserahkan secara sukarela.”

 

Perlu pembenahan tata kelola industri sawit dari hulu ke hilir, termasuk perhatian kepada petani agar punya posisi tawar, bukan hanya diatur pebisnis skala besar. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Begitu pula Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), kata Rambo, harus bisa merancang serangkaian kebijakan perbaikan usaha di sektor minyak sawit, guna mencegah praktik persaingan usaha tidak sehat.

Tirza Pandelaki, Manajer Program dan Kemitraan Serikat Petani Sawit (SPKS) mengatakan, sebelum ada pelarangan ekspor CPO harga sawit petani sudah tak beraturan.

Dia menilai, kondisi seperti ini karena ada praktik penyimpangan, perusahaan sawit yang menentukan harga sepihak. Jadi, katanya, tak hanya pada momentum ini harga sawit di tingkat petani yang semula Rp3.000 turun jadi Rp2.000.

Malah, kata Tirza, dengan pelarangan ekspor CPO itu bisa jadi momentum memperbaiki tata kelola perkebunan sawit, termasuklah bagaimana mengikutsertakan petani dalam rantai pasok lebih luas.

“Kebijakan ini kami lihat sebagai momentum memperbaiki tata kelola perkebunan sawit yang memang masih karut marut, terutama rantai pasok dan praktik menyimpang dalam struktur pasar industri sawit,” katanya.

Selain itu, bisa juga jadi momentum pemerintah memastikan petani bertranformasi untuk pengelolaan CPO, bahkan sampai sektor hilir.

Kini, ekspor sawit sudah pemerintah buka lagi. Dia bilang, perlu perbaikan ke depan mengenai struktur pasar industri sawit dari hulu hingga hilir. Dengan begitu, katanya, penguasaan pasok CPO dari hulu maupun ke hilir tak bertumpu pada segelintir perusahaan.

“Sekarang ini kan di hulu ada praktik pasar oligopsony dan di hilir ada monopoli dan persaingan tidak sehat oleh beberapa perusahaan.”

 

**********

Exit mobile version