Mongabay.co.id

Kisah Sukses Tramena dan Gili Matra Lakukan Restorasi Terumbu Karang di Gili Trawangan

 

 

Ketika saya masih kecil, mudah untuk menemukan dan menangkap ikan dan melihat tukik penyu berjalan di sekitar pantai dalam perjalanan saya ke sekolah,” kata Matla’ah, seorang warga desa Gili Indah di Gili Trawangan, sebuah pulau yang populer di kalangan penyelam di antara pulau Bali dan Lombok yang lebih terkenal di Indonesia. Untuk generasi anak-anak Gili Trawangan saat ini, pengalaman ini menjadi kurang lazim, karena banyak ekosistem pesisir pulau telah rusak parah oleh gangguan alam dan manusia.

Pada Agustus 2018, gempa bumi berkekuatan 6,9 skala richter melanda Lombok utara, menyebabkan 563 orang tewas, lebih dari 1.000 terluka, dan 417.000 orang mengungsi dari rumah mereka. Gili Trawangan, hanya 42 kilometer (26 mil) dari pusat gempa, juga mengalami kerusakan yang meluas, meski kerusakannya tidak sebanyak daratan Lombok yang lebih padat.

Kurang dari dua tahun kemudian, peristiwa itu diikuti dengan pandemi COVID-19, yang mematikan industri pariwisata yang menjadi sumber penghasilan utama Gili Trawangan. Sementara bagi banyak orang di pulau itu berarti gangguan besar-besaran terhadap mata pencaharian mereka. Bagi yang lain itu memberikan kesempatan untuk memulihkan terumbu karang mereka yang rusak.

Matla’ah termasuk di antara 20 anggota masyarakat dari desanya yang membantu pembentukan kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Tramena dan kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) Gili Matra. Bersama-sama, mereka mendanai sendiri proyek restorasi terumbu karang yang berfokus pada pembangunan dan pemeliharaan taman terumbu karang kecil di sekitar Gili Trawangan.

baca : Dulu Penambang, Kini Pelestari Terumbu Karang

 

Proyek restorasi terumbu karang oleh kelompok Pokdarwis Tramena dan Pokmaswas Gili Mantra ini menggunakan tiang besi bekas untuk membuat unit struktural yang dapat digunakan sebagai pembibitan karang. Dalam foto adalah pembibitan karang yang berkembang pada struktur baja daur ulang. Foto : Matla’ah.

 

Pertama, kami mencoba membuat taman karang kecil kami menggunakan tiang baja bekas dan balok beton bekas yang kami temukan di bekas reruntuhan gempa.Kami membuat 100 unit baja dan 30 unit blok beton yang kemudian kami tanami baby coral untuk melihat apakah dapat berhasil atau tidak,” kata Matla’ah.

Sementara metode pertama ini berhasil, kelompok tersebut juga menguji metode kedua yang mereka pelajari dari internet: mereka mengumpulkan struktur sisa dari proyek restorasi terumbu yang sebelumnya ditinggalkan dan menempatkannya di laut dekat desa mereka.

Tries Blandine Razak, seorang ilmuwan yang meneliti restorasi terumbu karang dari Institut Pertanian Bogor (IPB), pertama kali mengetahui tentang proyek tersebut ketika mengunjungi pulau itu untuk sebuah pekerjaan. Dia memberi tahu Mongabay bahwa dia “belum pernah melihat gerakan yang seperti itu.” Kelompok-kelompok yang didanai sendiri ini, yang seluruhnya terdiri dari sukarelawan, berfungsi untuk menunjukkan kekuatan aksi dari gerakan yang dipimpin masyarakat.

Menurut World Resources Institute (WRI), lebih dari 85% terumbu karang Indonesia terancam karena aktivitas manusia. Dampak utama berasal dari penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang merusak, serta pembangunan pesisir yang intensif dan polusi. Dan ini belum termasuk faktor perubahan iklim. Untuk mengatasi ancaman tersebut, lembaga pemerintah, LSM, dan masyarakat setempat telah memprakarsai sejumlah besar proyek restorasi karang dengan menggunakan serangkaian metode yang beragam di seluruh perairan pesisir Indonesia. Namun, para ahli mengatakan tingkat kegagalan proyek restorasi ini sangat tinggi.

baca juga : Aktivitas Budidaya Karang Hias Kembali Berderap

 

Tries Blandine Razak, ketiga kanan, dengan anggota proyek Pokdarwis Tramena dan Pokmaswas Gili Mantra di Lombok selama kunjungan pada tahun 2021. Foto : Tries Blandine Razak.

 

Restorasi yang populer

Jumlah proyek restorasi terumbu karang di Indonesia meningkat drastis dalam beberapa tahun terakhir. Menurut sebuah tinjauan penelitian baru-baru ini yang diterbitkan dalam Marine Policy, ada 533 proyek restorasi baru yang dilakukan dalam tiga dekade terakhir; lebih dari setengahnya dimulai dalam lima tahun terakhir, dan tiga perempatnya dalam dekade terakhir. Peningkatan yang terjadi baru-baru ini terus berlanjut meskipun adanya pandemi COVID-19, dengan tahun 2020 menampilkan lebih banyak catatan proyek restorasi baru daripada tahun sebelumnya.

Tetapi angka yang tinggi ini tidak selalu menghasilkan hasil yang positif. Menurut tinjauan ini, banyak proyek didirikan tanpa tujuan yang jelas, yang mengurangi peluang keberhasilannya. Selain itu, hanya 16% dari 533 proyek yang menyertakan program pemantauan, yang menurut para peneliti merupakan kunci keberhasilan intervensi restorasi jangka panjang.

“Meningkatnya popularitas restorasi terumbu membuat orang berpikir bahwa mereka dapat melakukannya dengan sedikit bimbingan dan persiapan ilmiah, hanya untuk mengetahui kemudian bahwa lokasi, metodologi, atau spesies karang yang digunakan tidak sesuai,” Rili Djohani, Direktur Eksekutif dari Coral Triangle Center (CTC), sebuah pusat pelatihan yang mengkhususkan diri dalam pekerjaan konservasi laut, mengatakan kepada Mongabay.

Upaya rehabilitasi ini mencakup baik karang yang ditanam di laboratorium maupun yang diambil dari alam dan dipindahkan ke rumah baru, yang dikenal sebagai transplantasi karang. Rumah-rumah baru ini sering dibuat menggunakan struktur beton buatan manusia, di mana karang tersebut dicangkokkan. Terkadang larva karang akan menetap di permukaan terumbu buatan ini secara alami. Cara lain adalah dengan langsung menempelkan pecahan karang ke dasar laut.

Proyek komunitas di Gili Trawangan menggunakan metode yang terakhir, memotong potongan-potongan dari terumbu di koloni yang ada dan menanamnya langsung ke struktur buatan.

Hampir seperempat dari 270 juta penduduk Indonesia tinggal dalam jarak 30 kilometer (19 mil) dari terumbu karang. Oleh karena itu, perairan ini penting dalam memberikan segudang manfaat, seperti makanan, perlindungan garis pantai, dan sumber pendapatan pariwisata.

baca juga : Apa Kabar Monitoring dan Evaluasi Program Terumbu Karang ICRG?

 

 

Pentingnya memperhatikan detail

Rili mengatakan banyak proyek restorasi terumbu karang di Indonesia gagal karena tidak memiliki pedoman yang jelas atau prosedur operasi sesuai standar.

Meskipun kerangka hukum Indonesia untuk restorasi terumbu karang menguraikan beberapa pedoman, kerangka tersebut tidak menentukan persyaratan apa pun untuk tindakan praktis atau pemantauan dalam jangka panjang, sehingga upaya konservasi menjadi kurang efektif.

Restorasi terumbu karang adalah masalah yang kompleks, dan banyak faktor yang perlu dipertimbangkan agar berhasil,” kata Rili. Faktor-faktor tersebut termasuk kualitas air dan kesesuaian lingkungan, yang harus diidentifikasi sebelum pekerjaan restorasi dimulai.

“Banyak organisasi atau proyek tidak mengidentifikasi penyebab kerusakan di suatu daerah, dan mereka tidak mengukur kualitas lingkungan di sana,” Rifat Muharam, ahli biologi kelautan di Misool Foundation, mengatakan kepada Mongabay. “Efek pariwisata dan dampak lainnya mungkin masih ada, tetapi mereka tidak menyelesaikan masalah ini sebelumnya.”

Hal ini membuat beberapa terumbu karang yang ditanam kembali mencoba bertahan dalam kondisi yang masih mustahil.

baca juga : Gelasa, Pulau Perawan Bertabur Terumbu Karang Purba

 

Anggota Satgas Restorasi Karang Indonesia menjalani pelatihan intensif tentang metodologi MARRS di Pulau Bontosua, Sulawesi Selatan, Indonesia. Foto : Marthen Welly/Coral Triangle Center.

 

Memastikan kesuksesan jangka panjang

Razak, pakar karang dan penulis utama makalah tinjauan baru-baru ini, mengatakan banyak unit buatan —struktur bawah air yang dimaksudkan untuk menyediakan area pertumbuhan karang yang stabil— sering kali gagal meregenerasi populasi karang karena kurangnya pemantauan pasca pemasangan, dengan banyak kelompok meninggalkan struktur yang mereka anggap tidak aktif lagi.

Tanpa pemantauan, sulit untuk memahami bagaimana populasi karang, ikan, dan invertebrata merespons upaya restorasi.

Dalam makalah mereka, para peneliti menulis bahwa hanya 85 dari 533 proyek yang memasukkan program pemantauan pasca pemasangan. 55% dari studi pemantauan ini mengunjungi kembali lokasi restorasi hanya sekali. Lainnya mengunjungi situs antara dua dan 16 kali selama masa studi.

Salah satu alasan kurangnya tindak lanjut adalah bahwa anggaran restorasi terumbu jarang menutupi biaya evaluasi jangka panjang.

“Pemeliharaan dan pemantauan jarang dimasukkan dalam proposal,” kata Razak.

Para peneliti seperti Razak mengatakan anggaran restorasi terumbu karang perlu mencakup pendanaan untuk pemantauan pasca-pemasangan untuk merawat karang, serta pendanaan untuk mengevaluasi keberhasilan proyek dari waktu ke waktu. Proyek yang sukses di Gili Trawangan menjadi contoh bagaimana dalam melakukannya, katanya.

“Setiap kali mereka melihat karang yang ditumbuhi ganggang, mereka membuangnya (dan) mengatur ulang (karang) bila diperlukan,” kata Razak tentang para anggota gerakan restorasi, menambahkan bahwa sekarang “karang tumbuh subur.” Alga, jika dibiarkan tanpa pengawasan, dapat menutupi karang — alasan lain mengapa pemantauan dan restorasi secara berkelanjutan tetap penting.

baca juga : Pemulihan Terumbu Karang di Tengah Pandemi COVID-19

 

Taman terumbu karang yang dibangun menggunakan struktur baja bekas oleh proyek Pokdarwis Tramena dan Pokmaswas Gili Mantra di Lombok. Foto : Matla’ah.

 

Banyak proyek lain telah memanfaatkan kekuatan pendekatan yang dipimpin oleh masyarakat. Misalnya, Misool Foundation, yang berbasis di Kepulauan Raja Ampat di wilayah Papua, Indonesia, mempekerjakan penduduk lokal setempat sebagai rangers untuk melakukan patroli pengawasan terhadap aktivitas ilegal apa pun yang dapat merusak terumbu karang. Demikian pula, proyek restorasi terumbu berbasis masyarakat Yaf Keru, juga di Raja Ampat, memandang keterlibatan masyarakat sebagai “landasan proyek,” kata Arnaud Brival, salah satu pendiri proyek.

“Dengan melibatkan masyarakat lokal, Anda juga dapat sangat mengurangi biaya logistik untuk pemantauan,” katanya. “Jika seseorang dari Prancis datang untuk melakukan pemantauan setiap tahun, biaya akan menjadi lebih mahal daripada jika anda memiliki seseorang di desa yang mampu melakukan tugas tersebut.”

Untuk mengatasi masalah yang terkait dengan kegagalan proyek restorasi terumbu karang di Indonesia, penulis tinjauan merekomendasikan agar proyek menetapkan tujuan yang jelas sejak awal. Ini harus mencakup pemeriksaan sebelum pekerjaan restorasi dimulai dan, tentu saja, pemantauan jangka panjang.

“Sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang di mana restorasi karang dapat berguna dan, sebaliknya, di mana hal itu sama sekali tidak ada gunanya,” pungkas Arnaud.

 

***

 

Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Arum Verselita

Tulisan asli bisa dibaca disini : Community-led coral restoration project is rare hit amid slew of misses in Indonesia

 

Exit mobile version