Mongabay.co.id

Banjir Rob Terus Berulang, Ekosistem Pesisir Perlu Perbaikan

 

Dalam sepekan ini di beberapa titik wilayah pesisir Indonesia sedang mengalami banjir rob. Fenomena yang belakangan sering terjadi di bulan Mei dan Juni itu bersamaan dengan cuaca buruk yang ditandai dengan gelombang tinggi. Akibatnya aktivitas warga di pesisir menjadi terhambat, termasuk nelayan.

Dampak dari fenomena yang terjadi tersebut juga mengakibatkan kegiatan pembudidaya ikan, petambak garam menjadi terganggu.

Fikerman Saragih, Juru Kampanye Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengatakan, peristiwa yang terjadi itu merupakan salah satu peringatan dari alam, ia menilai seharusnya Pemerintah baik itu ditingkat Pusat maupun Daerah jangan hanya terjebak pada perspektif pembangunan industri dan infrastruktur yang bersifat eksploitatif, karena akan berdampak nyata terhadap percepatan krisis iklim. Jika peristiwa itu terus berulang masyarakat di wilayah pesisir ini yang selalu menjadi korban utama.

“Dalam peyelesaiannya jangan hanya sebatas sloganistik yaitu naturalisasi atau normalisasi yang seringkali didengungkan oleh Pemerintah. “Sloganistik itu hanya memberikan solusi palsu, namun tidak menyelesaikan akar permasalahannya, akhirnya krisis ekologi yang terjadi di pesisir, termasuk Jawa Tengah ini semakin parah,” terang dia, saat ditemui di sekretariat KIARA, Selasa (31/05/2022).

baca : Kala Rob Pantura Jawa Tengah Makin Parah

 

Perahu nelayan jenis ijon-ijon tersebut tenggelam pada hari Minggu, (10/05/2020) sore hari. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Penting Dievaluasi

Untuk itu, Pemerintah seharusnya menghentikan dan mengevaluasi secara menyeluruh pembangunan industri di wilayah pesisir. Maraknya deforestasi hutan mangrove yang terjadi juga harus dicegah, kemudian yang rusak dipulihkan dan direstorasi kembali, karena dalam pemulihan lingkungan pesisir ini diperlukan perbaikan yang memprioritaskan tata ruang hijau.

Pembangunan di pesisir seharusnya terlebih dulu melihat daya tampung, daya dukung dan bebas ekologis. Pemerintah Pusat ataupun Daerah perlu membuat konsep perlindungan masyarakat pesisir dan konsep mitigasi bencana dengan pendekatan restorasi lingkungan, dalam hal ini warga pesisir harus dilibatkan penuh.

Dalam proses pemulihan melewati bencana banjir rob pihaknya juga mendesak agar Pemerintah lebih perhatian terhadap kondisi masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir. Terlebih, bantuan dan pemulihan tersebut juga tertuang dalam mandat Undang-Undang No.7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya dan Petambak Garam.

“Jika tidak ada aksi nyata, maka bencana banjir dan bencana ekologis lainnya pada akhirnya akan terus berulang, bahkan bertambah parah. Dampaknya kehidupan masyarakat pesisir juga nelayan tradisional semakin terancam,” tegas Fikerman.

baca juga : Banjir Rob Genangi Puluhan Rumah di Maumere. Apa Penyebabnya?

 

Banjir rob besar yang terjadi di Pesisir Utara Jakarta membuat pemerintah daerah setempat membangun tanggul laut yang tingginya sekitar 5 meter. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mencatat, setidaknya terdapat 15.820 nelayan tangkap yang mengalami dampak dari cuaca ekstrem tersebut. Sedangkan dampaknya ke pembudidaya ikan jumlahnya lebih dari 3.226 orang dengan total luas lahan 31.900 hektare. Selain itu, ketinggian banjir rob yang mencapai 50-100 sentimeter tersebut juga membuat tambak garam di pesisir Kabupaten Jepara rusak.

Dampak lainnya, mobilitas warga dan aktivitas ekonomi pra produksi sampai pasca produksi terhambat karena Tempat Pelelangan Ikan (TPI) tutup. Aktivitas belajar mengajar, transportasi, dan kegiatan rumah tangga juga terhambat.

Beberapa jurnal menjelaskan, banjir pasang air laut yang terjadi itu juga karena diperparah dengan adanya penurunan muka tanah, hal ini disebabkan oleh eksploitasi air tanah yang berlebihan. Selain itu, perkembangan perkotaan yang pesat di kawasan pesisir juga turut memberikan beban pada permukaan tanah.

baca juga : Ketika Rob Rendam Pesisir Utara Jawa Tengah

 

Masjid Wal Adhuna yang terendam air laut di Muara Baru, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Minim Anggaran

Dani Setiawan, Ketua Harian KNTI mengatakan, banjir rob yang ditimbulkan oleh perubahan iklim ini juga mengancam kondisi kesehatan warga seperti gatal-gatal dan juga tekanan darah tinggi, hal itu dikarenakan efek kurang tidur dan faktor kelelahan.

Menurut Dani, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia ini seharusnya semua pihak menyadari akan potensi bencana yang akan terjadi, terutama pemerintah. Hal tersebut dikarenakan banyak masyarakat yang tinggal dan menggantungkan hidup di wilayah pesisir. Namun, Indonesia dinilai belum siap.

Dani menilai, ketidaksiapan dan mitigasi dampak perubahan iklim yang mengakibatkan banjir rob tersebut karena minimnya alokasi anggaran dari Pemerintah. Negara belum mempunyai komitmen dan prioritas anggaran untuk pemulihan lingkungan pesisir, terutama penurunan kualitas kehidupan sosial dan lingkungan yang diakibatkan banjir rob yang semakin parah.

Di tingkat Daerah, hasil kajian KNTI Jawa Tengah misalnya, program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim untuk masyarakat pesisir belum menjadi prioritas. Hal itu ditunjukan dengan alokasi anggaran perubahan iklim di kawasan pesisir tahun 2019 yang mencapai 31,81% dari total belanja perubahan iklim, atau hanya 0,20% menurun menjadi 31,25% atau hanya 0,21%.

Tahun 2021 proporsi anggaran perubahan iklim untuk kawasan pesisir hanya mendapat alokasi sebesar 8,52% dari total belanja perubahan iklim, atau hanya sekitar 0,08% dari total belanja daerah. “Kecilnya porsi anggaran ini yang menyebabkan dampak serius baik itu secara sosial ataupun ekonomi bagi masyarakat pesisir ketika banjir rob terjadi,” jelas Dani dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (26/05/2022).

baca juga : Rob dan Gelombang Tinggi Akibatkan Bencana, Nelayan Juga Kian Terpuruk  

 

Warga menanam salah satu tanaman mangrove sebagai upaya untuk mencegah abrasi dan banjir rob. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Untuk itu, guna memaksimalkan upaya mitigasi dan adaptasi dibutuhkan langkah-langkah kolaboratif setiap daerah, terutama di Pulau Jawa, Sumatra Utara, atau bisa meluas ke wilayah lain. Pemerintah juga didesak melakukan pendekatan yang holistik untuk merehabilitasi dan melindungi mangrove sebagai sabuk pantai, yang keberlanjutannya terjamin dari aktivitas pembangunan dan perampasan ruang laut.

Berikutnya, anggaran untuk mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim di wilayah pesisir wajib dianggarkan secara adil dan berpihak bagi pemulihan lingkungan, seperti pembangunan infrastruktur untuk penahan banjir, normalisasi sungai dan muara, pembangunan layak huni, penyediaan informasi cuaca, hingga memberikan skema bantuan atau asuransi mengkompensasi kerugian kepada nelayan, pembudidaya ikan maupun petambak garam yang mengalami kerugian karena banjir rob.

Selain itu, program-program mitigasi dan adaptasi yang komprehensif dengan melibatkan partisipasi penuh nelayan, pembudidaya, petambak garam, pengolah ikan, perempuan nelayan dan pemuda perlu dibuat.

“Transisi aktivitas ekstraktif di pesisir dengan melakukan pemulihan lingkungan sebagai komitmen penuh dalam mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim juga harus dilakukan,” tambah Dani.

 

Seorang bocah berjalan ditengah genangan akibat banjir rob di Kampung Kongsi, Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak. Foto: Mohammad Syafi’i/KNTI

 

Exit mobile version