Mongabay.co.id

Asa Masyarakat Adat Batui Kembalikan Kelestarian Hutan Bakiriang

 

 

 

 

Baharuddin H Saleh mengerutkan kening dan mata memerah kala cerita soal Suaka Margasatwa Bakiriang di Desa Sinorang, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Dia sedih karena hutan Bakiriang tergerus jadi kebun sawit.

“Dahulu, hutan Bakiriang tak seperti itu,” kata Ketua Lembaga Adat Kecamatan Batui ini, April lalu.

Sebelum ada suara margasatwa, Bakiriang merupakan hutan Adat Batui. Setelah negara ambil alih dan jadikan kawasan hutan bahkan dengan status konservasi, mulailah ada perkebunan sawit di sana. Kondisi hutan pun berubah.

Baharuddin bercerita, penguasaan hutan adat Batui di Bakiriang bermula sejak tahun 1500-an, ketika seorang dari kerajaan Kediri di Jawa, yaitu, Adi Cokro atau Adi Soko datang ke tanah Banggai untuk memperdalam Islam.

Saat itu Islam sudah menyebar lebih dulu di Banggai yang dibawa Syekh Djabar dari Hadramaut pada 1200-an.

Sekitar abad ke-16 Masehi, Adi Soko mendirikan Kerajaan Banggai yang terdiri dari empat distrik yaitu Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean. Pembentukan kerajaan itu, karena ada pengaruh dari Kerajaan Ternate. Wilayah Kerajaan Banggai saat itu, kini jadi Kabupaten Banggai dan Kabupaten Banggai Kepulauan.

Adi Soko, sebagai pendiri Kerajaan Banggai, katanya, tak berani mengangkat diri menjadi Raja Banggai. Dia hanya menjalankan pemerintahan sementara di Banggai, yang jadi dewan raja adalah raja-raja kecil yang sebelumnya telah dibubarkan. Raja-raja itu diberikan kedudukan terhormat turut memerintah di Kerajaan Banggai kala itu.

Setelah berhasil mendirikan Kerajaan Banggai dan mengakomodir raja-raja kecil di Banggai, Adi Soko dijodohkan dan menikah dengan Sitti Aminah, putri Raja Motindok di Batui. Lahirlah putra yang diberi nama Abu Kasim.

Raja Motindok bahagia, dan memberikan hadiah sepasang burung maleo kepada Abu Kasim.

Setelah beberapa tahun memimpin Kerajaan Banggai, Adi Soko memutuskan kembali ke tanah Jawa. Maleo yang diberikan Raja Motindok ikut di bawa. Sitti Aminah dan Abu Kasim menetap di Gunung Tatandak.

 

Baca juga: Nestapa Suaka Margasatwa Bakiriang Tergerus jadi Kebun Sawit

Baharuddin H Saleh, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Batui. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Singkat cerita, maleo tak bisa berkembang baik di Jawa, Adi Soko berikan burung itu kepada anaknya. Abu Kasim menyerahkan maleo kepada Raja Motindok di Pelabuhan Motindok Batui.

Dia berpesan, kalau sepasang maleo itu bertelur, telur pertama (tumpe) minta diantarkan ke Kerajaan Banggai. Sepasang maleo ini kemudian dilepas Raja Motindok di Pantai Bakiriang, Kecamatan Batui. Sejak itulah, hutan Bakiriang jadi tempat yang disakralkan Masyarakat Adat Batui.

Pada 1936, Hutan Bakiriang ditetapkan sebagai hutan yang wajib dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Raja Banggai No. 4/1936 seluas 3.500 hektar, terletak di Komplek Hutan Pegunungan Batui. Ia memanjang ke selatan sampai ke pantai muara Sungai Bakiriang.

Komplek hutan ini diapit dua kampung besar yaitu Moilong dan Sinorang, yang dahulu masuk Kecamatan Batui.

Surat keputusan Raja Banggai itu untuk mendukung Masyarakat Adat Batui dalam menjaga kelestarian hutan Bakiriang dan adat istiadat serta identitas kebudayaan mereka.

Baharuddin bilang, sejak itulah hutan Bakiriang jadi hutan sakral dan dilindungi Masyarakat Batui, salah satu karena ada maleo yang jadi identitas adat mereka.

Masyarakat takut merusak hutan Bakiriang, bahkan tak ada yang berani masuk hutan tanpa seizin pengurus adat.

Semua berubah setelah negara mengambil alih hutan dengan penyebutan ‘kawasan hutan’, jadilah suaka margasatwa dan izin kepada perusahaan.

“Saya prihatin, hutan Bakiriang sudah tak seperti dulu. Hutan Bakiriang menyimpan banyak memori untuk Masyarakat Adat Batui. Hutan itu bagian dari amanah leluhur kita dalam melakukan perayaan adat,” kata Baharuddin.

 

Baca juga: Konflik dengan Warga Belum Usai, Kasus Sawit di SM Bakiriang Selesai Lewat Kesepakatan Restorasi?

Kebun sawit di Suaka Margasatwa Bakiriang, Banggai. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

***

Hutan Bakiriang– merupakan hutan adat Batui itu berubah setelah negara mengambil alih. Ini sejak Gubernur Sulawesi Tengah jadikan Hutan Bakiriang sebagai kawasan konservasi seluas 3.900 hektar tertanggal 30 Agustus 1989.

Keputusan itu juga terakomodir dalam Struktur Tata Ruang Provinsi (STRP) Sulawesi Tengah yang disahkan Gubernur pada 1996. Pada tahun sama, PT. Berkat Hutan Pusaka (BHP) mendapatkan izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu hutan tanaman industri (HTI) seluas 13.400 hektar. Izin konsesi ini berdekatan dengan Bakiriang.

Thalib Agama, Ketua Adat Masyarakat Batui mengatakan, pengambil alih hutan Bakiriang oleh negara itu, tanpa sepengetahuan masyarakat adat. Dia bilang, tak ada sedikitpun informasi dan komunikasi pemerintah daerah maupun BKSDA Sulawesi Tengah. Padahal, katanya, hutan itu merupakan identitas Masyarakat Adat Batui.

Dulu, kata Thalib, hutan Bakiriang itu mereka jaga ketat. Setiap minggu, pengurus adat harus bergantian menjaga hutan itu dari ancaman kerusakan apapun. Tak ada yang berani masuk dalam hutan itu tanpa seizin pengurus adat.

Masyarakat pun berpikir dua kali menginjakkan kaki di hutan itu karena takut mendapatkan hukuman dari pengurus adat. Penjagaan hutan itu merupakan amanah dan perintah dari leluhur mereka.

Klaim hutan oleh negara, katanya, jadi salah satu masalah utama hutan berubah wajah. Negara, katanya, tak bisa jalankan amanah menjaga hutan Bakiriang.

Negara juga dinilai tak tegas bertindak kepada perusahaan sawit yang masuk ke hutan Bakiriang.

“Saat ini, hutan Bakiriang berubah, tak seperti dulu lagi. Dulu, hutan rimbun dengan pepohonan besar-besar. Kini berubah setelah negara ambil lain, sudah ada perusahaan sawit di dalamnya,” kata Thalib.

Global Forest Watch mencatat, dari 2002-2021, Banggai kehilangan 50.300 hektar hutan primer basah, dan menyumbang 46% dari kehilangan tutupan pohon dalam periode sama.

Periode 2001-2021, Banggai kehilangan 111.000 hektar tutupan pohon, setara penurunan 15% tutupan pohon sejak 2000, atau setara pelepasan 74.3 Mt emisi CO₂e.

 

Baca juga: Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan Perparah Krisis Iklim

Resort SM Bakiriang. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Asa masyarakat adat Batui

Baharuddin dan Thalib Agama, berharap negara mengembalikan hutan Bakiriang ke Masyarakat Adat Batui. Mereka pun ingin mengembalikan kelestarian hutan Bakiriang, seperti dulu.

Amran Tambaru, Direktur Eksekutif Yayasan Merah Putih mengatakan, Masyarakat Adat Batui bisa merebut kembali hutan adat walau dalam aturan tak mengakomodir itu.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9/2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial pada Pasal 62 ayat (1) menjelaskan, yang bisa jadi hutan adat yaitu hutan dari hutan negara, tetapi bukan yang mempunyai fungsi pokok konservasi, lindung dan. atau produksi.

Upaya ambil alih hutan adat, katanya, bisa dilakukan asalkan tokoh-tokoh adat komitmen memperjuangkan itu.

Dia pernah mendampingi Masyarakat Adat Wana Posangke, di Morowali Utara yang memperjuangkan pengakuan atas hutan adat mereka yang sebagian besar masuk Cagar Alam Morowali. Pengakuan terwujud pada pengujung 2016.

Untuk itu, katanya, perlu diupayakan peraturan daerah (perda) di Banggai yang memberikan pengakuan pada Masyarakat Adat Batui. Ada naskah akademik sebagai penguatan untuk pengajuan hutan adat Batui. “Termasuk sejarah masyarakat dalam mengelola hutan adat sebelum negara mengambil alih,” kata Amran kepada Mongabay Mei lalu.

Kalau bicara sejarah, katanya, sebelum negara ada, sudah ada terlebih dahulu hutan adat itu. Menurut dia, skema pengakuan atas hutan adat sebenarnya bentuk pengambilan kembali hutan adat yang sudah diambil negara.

Masyarakat Adat Batui, katanya, harus mampu meyakinkan pemerintah pusat kalau hutan adat itu bagian dari identitas mereka.

 

Memasuki Kawasan Konservasi, SM Bakiriang, yang di dalamnya banyak beun sawit. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Noval Apek Saputra, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Tengah mengatakan, Masyarakat Adat Batui bisa mengelola hutan konservasi itu dengan konsep kemitraan konservasi.

Konsep ini merupakan bentuk kerja sama antara unit pengelola kawasan konservasi dengan masyarakat untuk pemberdayaan komunitas lokal guna pemulihan ekosistem.

Dengan konsep kemitraan konservasi, Masyarakat Batui bisa mempertahankan tradisi dan leluhur dengan menjaga kelestarian keanekaragaman hayati di SM Bakiriang.

“Konsep kemitraan konservasi sebagai bentuk intervensi Masyarakat Adat Batui terhadap pengelolaan SM Bakiriang.”

“Untuk korporat seperti perusahaan sawit yang merambah di kawasan konservasi, sangat tak dibenarkan. Harus ditindak tegas.”

Eva Susanti Bande, Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah mengatakan, kalau masyarakat ingin menguasai lahan di kawasan hutan bisa melalui jalur tanah obyek reforma agraria (Tora). Hal itu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria.

Dengan Tora, katanya, negara bisa memberikan izin kepada petani dan masyarakat sekitar untuk mengelola kawasan hutan dengan kepentingan bertani.

Dengan Tora, negara bisa penataan aset, akses, dan penyelesaian sengketa tanah. Hal ini sejalan dengan strategi nasional pelaksanaan reforma agraria 2015-2019 yang antara lain meliputi, penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria.

“Dengan Tora, negara bisa memberdayakan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan berbasis pemanfaatan tanah. Bisa menyelesaikan konflik agraria,” kata Eva.

*Artikel ini diproduksi atas dukungan Dana Hibah Jurnalisme Hutan Hujan atau Rainforest Journalism Fund – Pulitzer Center.

 

Kondisi miris, kawasan konservasi, Suaka Margasatwa Bakiriang, malah banyak kebun sawit. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

 

*************

Exit mobile version