Mongabay.co.id

Menjaga Karst, Menjaga Keanekaragaman Hayati Rammang-rammang

 

 

Rammang-rammang kini dikenal sebagai desa wisata yang menawarkan pemandangan yang menawan dan unik. Dikelilingi hutan bukit karst atau batu kapur atau batu gamping yang menjulang bak menara, berselimut hamparan hijau. Diiringi aliran sungai yang tenang.

Keindahan dan keunikannya, jadi magnet bagi pelancong untuk berkunjung, bukan hanya dari dalam negeri, tapi hingga mancanegara. Datang menikmati keindahan alam dan mengabadikannya melalui foto atau video.

Sejak menjejakkan kaki di kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, pandangan telah disuguhi hamparan barisan bukit karst berupa menara dengan beragam bentuk dan ukuran. Takjub, adalah kesan pertama.

Untuk mencapai Rammang-rammang yang berada di desa Salenrang, kecamatan Bontoa, Maros, pengunjung harus menyusuri sungai Pute dengan menggunakan perahu motor tempel.

Di sepanjang aliran sungai yang mencapai empat kilometer lebih itu, di sisi kiri kanannya, dipadati tanaman mangrove yang didominasi pohon nipah, serta beragam jenis tanaman lain yang tumbuh di punggung bukit dan tebing karst yang juga mengapit sungai itu. Sekali-sekali, burung terbang melintas di atas sungai dan rerimbunan pepohonan.

baca : Rammang-Rammang, Keajaiban Alam Berpadu Sejarah Panjang Kehidupan Manusia

 

Panoraman di kawasan Rammang-rammang. Foto : Andi Hajramurni/Mongabay Indonesia

 

Saat tiba di kampung Berua, Rammang-rammang, maka yang ditemui adalah gugusan bukit atau menara karst dan hamparan hijau persawahan diselingi empang. Hutan bukit karst itu, ditumbuhi beragam pepohonan, mulai dari kaki hingga puncaknya.

Selain ditumbuhi pepohonan, bukit karst itu juga jadi habitat beragam habitat hewan, yakni burung, mamalia, reptil, serangga dan amfibi.

Bukan hanya itu, di Rammang-rammang juga hidup dan berkembangbiak berapa jenis ikan, baik di sungai Pute maupun yang dibudidayakan masyarakat di empang.

Rammang-rammang yang merupakan bagian dari gugusan pegunungan karst seluas 46.200 hektare yang membentang dari kabupaten Maros hingga kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, bukan hanya menampakkan keindahan alam yang eksotik, tapi memendam keanekaragaman hayati atau biodiversity dan jejak kehidupan masa lampau hingga purba.

Tak ayal, saat berkunjung ke Rammang-rammang, akan ditemukan obyek-obyek yang menakjubkan. Bukan hanya menarik pelancong untuk sekadar menikmatinya, tapi juga memantik perhatian para peneliti dan pencinta satwa maupun tumbuhan, untuk mendalaminya. Pun para arkeolog dan geolog.

baca juga : Jalan Panjang Karst Rammang-Rammang menuju Ekowisata

 

Panoraman yang indah di kawasan Rammang-rammang. Foto : Andi Hajramurni/Mongabay Indonesia

 

Ketika pandangan menyapu barisan bukit-bukit karst, sekali-kali pandangan akan teralihkan oleh burung-burung yang terbang melintas dan hinggap di pepohonan, walau jumlahnya tak banyak dan hanya bisa dilihat dari jauh, seperti bangau, belibis dan elang. Begitu juga mamalia, seperti darre atau Macaca maura, serta kelelawar.

Namun, di saat fajar mulai menyingsing, atau jelang malam tiba, kicauan burung bersahut-sahutan, laksana alunan musik menyambut dan melepas hari.

“Burung yang sering berkicau di pagi hari, adalah pelanduk Sulawesi, kepudang kudu hitam, cicak kutilang, cabai panggul kuning dan kareo padi,” ungkap Rusli, 31, pemandu khusus bagi pencinta burung di Rammang-rammang yang ditemui akhir April lalu.

Sementara, burung yang biasa berkicau jelang malam, lanjut Rusli, adalah celepuk Sulawesi, serak Sulawesi, punglo, punggul tutul, elang paria, elang ular Sulawesi, elang bonggol dan julang Sulawesi.

Sedangkan burung yang berkicau di siang hari hanya elang Sulawesi. Jarang terdengar.

Kicau burung-burung itu beragam dan nyaring terdengar, seakan dekat, tapi tidak semua bisa disaksikan wujudnya. Mereka hinggap di ranting pohon yang tinggi, di sela dedaunan.

baca juga : Wisata Alam Rammang-rammang: Dibangun Aktivis, Diresmikan Menteri

 

Seekor elang paria (Milvus migrans). Foto : Ady Kristanto

 

Berbagai Jenis Burung

Pada Februari lalu, Fauna & Flora International – Indonesia Programme (FFI-IP) melakukan survei burung-burung di Rammang-rammang. Survei singkat itu, menemukan 38 jenis burung. Temuan itu bertambah dari survei sebelumnya, yang dilaksanakan 2018 lalu, menemukan 23 jenis burung.

Dari 38 jenis yang ditemukan, 14 di antaranya adalah jenis endemik Sulawesi dan 19 jenis dilindungi. Dan ada pula yang terancam punah. Burung-burung yang endemik yang dilindungi, ada empat jenis, yakni elang ular Sulawesi (Spilornis rufipectus), paok Sulawesi (Erythropitta celebensis), celepuk Sulawesi (Otus manadensis) dan udang merah Sulawesi (Ceyx fallax).

Burung-burung yang ditemukan di Rammang-rammang, hampir sama yang ditemukan di sepanjang bentangan pegunungan karst Maros – Pangkep. Survei yang pernah dilakukan daerah aliran sungai (DAS) Sangkara, Maros-Pangkep, ditemukan 58 jenis burung.

Jumlah ini lebih banyak dari yang ditemukan Amran Achmad, guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar, yang pernah melakukan penelitian keanekaragaman hayati di kawasan karst Maros-Pangkep dan hasilnya dibukukan.

Di buku berjudul Rahasia Ekosistem Hutan Bukit Kapur, Amran mencatat burung yang ditemukan, sebanyak 45 jenis.

perlu dibaca : Berebut Ruang di Rammang-rammang

 

Seekor burung cabai panggul-kuning (Dicaeum aureolimbatum). Foto : Ady Kristanto

 

Senior Biodiversity Conservation Officer Fauna & Flora International – Indonesia Programme, Ady Kristanto mengatakan, kemungkinan jumlah itu bertambah, karena survei terakhir yang dilakukan, cukup singkat, tapi justru ditemukan jenis baru. Apalagi, di beberapa titik yang dijadikan lokasi tambang, mengganggu habitat burung-burung dan satwa lainnya, sehingga mereka bisa berpindah. Dan kualitas lingkungan Rammang-rammang, terbilang masih bagus.

“Bisa saja jumlahnya bertambah, jika dilakukan penelitian lebih mendalam. Kualitas lingkungan gugusan pegunungan karst Rammang-rammang, masih bagus. Hutannya masih bagus, sehingga aman untuk ditempati habitat fauna, seperti burung-burung,” terang Ady.

Tetapi, tidak semua jenis burung tersebut, bisa ditemukan lagi atau dilihat secara langsung. Ada beberapa jenis yang bersarang di hutan-hutan pegunungan karst. Sehingga harus melakukan penyusuran ke dalam dan mendaki. Selain itu, situasi lingkungan yang telah berubah, seiring Rammang-rammang dijadikan tempat wisata.

Menurut Naharuddin, 41, warga Rammang-rammang yang ikut survei bersaman FFI-IP, burung yang sering menampakkan diri adalah raja udang merah, bangau putih dan bangau coklat, tekukur, cabai panggul kuning, cabai panggul kelabu, sri gunting jambul, belibis, kacamata Makassar. Burung hantu atau gagak yang terdiri atas tiga tiga jenis, yakni punglod tutul, serak dan celepuk Sulawesi.

Belibis atau jalak kerbau adalah burung yang dianggap sakral bagi sebagian masyarakat Rammang-rammang. Banyak yang memeliharanya, tapi mereka tidak akan mengonsumsinya. Pasalnya, menurut cerita yang dituturkan turun temurun, nenek moyang mereka pernah berjanji tidak akan memakannya.

baca juga : Cerita Kemandirian Masyarakat Rammang-rammang

 

Seekor burung kekep babi (Artamus leucorynchus). Foto : Ady Kristanto

 

Burung raja udang atau jikki juga dianggap sakral dan jadi mitos. Sejak dulu, raja udang muncul di hari-hari tertentu, yakni Senin dan Jumat. Jika burung itu hinggap di rumah warga, maka pemiliknya, akan sangat senang, karena diyakini sebagai pembawa rejeki. Bahkan, jika burung itu mati, maka bangkainya digantung di belakang pintu rumah, sebagai pemanggil rejeki.

Berbeda dengan belibis dan raja udang, burung serak justru ditakuti, karena kehadirannya, apalagi jika berkicau, diyakini sebagai pertanda buruk. “Jika terdengar kicauan burung serak, warga langsung waspada, karena biasanya ada kabar buruk, seperti ada keluarga yang meninggal,” kata Naharuddin.

Selain kicauan burung, hewan yang menyita perhatian adalah kelelawar. Saat malam telah tiba, setelah adzan Magrib berkumandang, kawanan kelelawar yang jumlahnya ribuan atau mungkin puluhan ribu ekor, keluar dari gua di bukit karst nan tinggi, yang jadi sarangnya. Mereka terbang beriringan, membentuk formasi panjang dan menimbulkan suara dari kepakan sayapnya secara bersamaan.

Kelelawar yang oleh masyarakat setempat disebut paniki, adalah kelelawar kecil atau Microchiroptera. Jenis ini, pemakan buah dan penyerbuk.

Kawanan kelelawar itu, akan pulang ke sarangnya, sebelum matahari mulai terbit atau adzan Subuh berkumandang.

Sebelum mengenal teknologi dan listrik masuk ke wilayah itu, kelelawar menjadi penanda dua waktu bagi masyarakat Rammang-rammang, terutama di bulan Ramadan, yakni waktu buka puasa dan Imsak.

“Sebelum ada radio, jam, listrik dan musholla, kelelawar itulah yang kami jadikan penanda. Kalau kelelawar itu sudah keluar dari gua, berarti sudah saatnya buka puasa. Dan saat kelelawar itu kembali, tandanya sudah Imsak,” tutur Sikki yang usianya lebih 60 tahun.

Sikki salah seorang warga asli kampung Berua, Rammang-rammang. Dia telah bermukim secara turun temurun, dan merupakan generasi kelima.

baca juga : Gemerlap Kunang-kunang, Pesona Wisata Malam Rammang-Rammang

 

Kelelawar ekor trubus besar (Emballonura alecto). Foto : Ady Kristanto

 

Satwa Gua

Pusat Penelitian Biologi LIPI yang kini jadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama FFI-IP dengan bantuan dana dari Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Bantimurung – Bulusaraung, serta Masyarakat Speleologi Indonesia (ISS), telah melakukan survei terhadap fauna gua di kawasan karst Maros Pangkep, termasuk di Rammang-rammang.

Dari survei yang dilakukan di 11 gua, ditemukan 47 spesies arthropoda, yakni serangga. Ditemukan pula 71 spesies moluska dari 16 famili. Sebanyak 43 spesies moluska adalah endemik dan 15 spesies langka. Selain itu, ditemukan sembilan spesies kelelawar yang hidup di gua pegunungan karst. Kesembilan spesies kelelawar itu dari dua kelompok, yakni megachiroptera terdiri atas tiga spesies dan microchiroptera, sebanyak enam spesies.

Dr. Cahyo Rahmadi, peneliti fauna gua dari BRIN memaparkan, dari survei yang dilakukan 2017 lalu, terdapat 27 spesies fauna gua endemik di kawasan karst di Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan berpotensi masuk dalam penilaian daftar merah International Union for Conservation of Nature Red List (IUCN Red List). Lima spesies berpotensi masuk ke dalam kategori genting (endangered), sedangkan 22 spesies lainnya diperkirakan masuk kategori kritis (critically endangered).

Di Rammang-rammang, kata Cahyo, ditemukan spesies kelelawar pemakan buah dan pemakan serangga. Populasi terbesar adalah pemakan buah yang setiap senja keluar dari gua, hingga menyajikan pemandangan yang sangat indah. Mereka seperti melakukan atraksi terbang.

“Kelelawar pemakan buah dan pemakan serangga sangat besar perannya untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan membantu proses regenerasi hutan. Pemakan buah berperan penting sebagai pemencar biji yang sangat penting untuk regenerasi hutan. Kelelawar pemakan serangga membantu petani untuk mengendalikan hama atau serangga lain yang berpotensi over populasi,” papar Cahyo.

baca juga : Kisah Belantara Karst Maros-Pangkep yang Menakjubkan

 

Seekor laba-laba pemburu (Heteropoda maxima). Foto : Ady Kristanto

 

Penelitian yang sama juga dilakukan seorang peneliti dari Perancis. Seperti dikutip Amran Achmad, fauna gua dibagi empat kelompok, yakni 14 jenis kelompok arthropoda, enam jenis moluska, satu jenis kelompok serangga , dan tiga jenis kelompok ikan, udang dan ketam.

“Temuan yang tak kalah penting adalah temuan isopoda akuatik. Kondisi lingkungan gua tempat ditemukannya, telah dimanfaatkan sebagai sumber air. Hal ini menjadi catatan penting untuk kondisi ancaman keberadaan spesies tersebut,” terang Cahyo.

 

Berbagai Jenis Mamalia

Selain kelelawar, jenis mamalia lain yang hidup di kawasan karst Maros-Pangkep, ada tiga 13 jenis. Amran Achmad membaginya tiga kelompok, yakni mamalia besar, delapan jenis, yakni musang Sulawesi (Macrogolidia mussembraecki), babi hutan (Sus scrofa), rusa timor (Cervus timorensis) dan kelelawar empat jenis. Sedang mamalia kecil hanya satu jenis, yakni celurut mini (Crocidura tevicula). Dan mamalia primata, empat jenis, yaitu monyet hitam (Macaca maura), tangkasi (Tarsius sp.), kuskus (Phalanger celebencis) dan kuskus beruang (Phalanger ursius). Keempat jenis mamalia kecil ini endemik dan dilindungi, bersama musang Sulawesi.

Jenis Satwa lain yang biasa ditemukan di Rammang-rammang adalah monyet hitam atau darre (Macaca maura). Jenis ini masih kerap muncul di sekitar bukit karst, bahkan masuk ke rumah warga untuk ambil makanan. Tarsius dan kuskus pun masih bisa kadang muncul. Jenis satwa ini, hidup berdampingan dengan masyarakat.

baca juga : Karst Indonesia, Kaya Manfaat Namun Minim Penelitian dan Perhatian

 

Seeekor monyet dare (Macaca maura). Foto : Ady Kristanto

 

Berbeda dengan babi hutan. Jenis satwa ini, dianggap musuh, karena merusak tanaman padi. Satwa lainnya adalah kucing hutan, karena memangsa ternak. Jika mereka datang, maka masyarakat Rammang-rammang pun memburunya, bahkan membunuhnya. Tapi hewan itu, tidak pernah lagi datang.

Menurut Amran Achmad, jenis satwa lain yang berdiam di kawasan karst Maros-Pangkep adalah reptil dan kodok. Dari penelitian yang dilakukan, ia mencatat 43 jenis.

 

Tumbuhan Endemik

Tak hanya satwa atau fauna, tumbuhan pun beragam yang hidup di hutan bukit menara karst terluas kedua di dunia itu. Amran Achmad menemukan 246 jenis tumbuhan yang tumbuh di kaki bukit hingga puncaknya. Yang tumbuh di habitat berbatu sebanyak 199 jenis, sementara yang tumbuh di habitat campuran batu dan tanah atau lorong patahan, lembah dan lereng, sebanyak 47 jenis.

Dari jenis-jenis tumbuhan itu, ada beberapa yang akrab dengan masyarakat dan dimanfaatkan, baik sebagai bahan makanan dan minuman untuk manusia dan hewan, obat-obatan dan bahan bangunan.

Tumbuhan yang mudah dikenali adalah jenis mangrove, seperti nipah dan pandan kelelawar, karena jenis tumbuhan ini akan dijumpai di sepanjang sisi kiri dan kanan sungai Pute menuju Rammang-rammang.

Jenis tumbuhan endemik Sulawesi yang telah langka, di antaranya kayu hitam (Diospyros celebica), bitti (Vitex cofassus), cendrana (Pterocarpus indicus), kenanga (Cananga odorata), manggis hutan (Colophyllum inophyllum) dan kayu manis (Cinnamomum celebicum).

Jenis tumbuhan yang memiliki arti penting bagi masyarakat Rammang-rammang, adalah sikapa, jenis umbi-umbian. Tumbuhan ini pernah jadi makanan pokok mereka. Namun, seiring berjalannya waktu dan perkembangan jaman, perlahan-lahan mereka beralih ke beras. Apalagi, setelah mencetak sawah dan menanam padi. Sikapa kini jadi camilan dengan mengolahnya jadi kerupuk dan kolak.

 

Salah satu jenis pohon di kawasan Rammang-rammang. Foto : Andi Hajramurni/Mongabay Indonesia

 

Amran mengatakan, dari fasies batuan bukit-bukit karst yang ada di Maros dan Pangkep, bisa disimpulkan jika tingkat pertumbuhan tumbuhan karst Maros lebih tinggi, termasuk di Rammang-rammang. Meski jenis tumbuh tidak sebanyak yang tumbuh di hutan dataran, begitu juga ukuran pohonnya, lebih kecil yang tumbuh di hutan bukit kapur.

“Vegetasi hutan bukit karst di Maros lebih bagus dibanding Pangkep. Itu terlihat dari fasies-nya, lebih hijau kan. Menandakan hutan bukit karst di Maros, lebih subur. Sama yang terlibat di kawasan Rammang-rammang,” ujarnya.

Tipe batuan kapur yang ada di Maros, lanjut Amran, memang lebih banyak dibanding di Pangkep. Menurutnya, batuan kapur atau karst yang terbentuk di Maros, ada empat tipe atau kelompok, sementara di Pangkep hanya dua tipe. Itu terlihat dari fasiesnya atau lapisan permukaannya. Keempat tipe batu kapur itu adalah, fasies batuan karbonat massif, fasies batuan karbonat porous, fasies batuan karbonat berlapis dan fasies batuan karbonat metagamping.

 

Dampak buruk Wisata

Seiring perjalanan waktu, Rammang-rammang semakin dikenal sebagai tempat wisata yang menakjubkan, apalagi setelah ditetapkan jadi desa wisata. Beragam “gelar” disematkan oleh pengunjung, seperti Rammang-rammang adalah surga dan Rammang-rammang adalah hidden gem atau permata yang tersembunyi. Rammang-rammang telah jadi incaran para pelancong.

Tetapi, kekhawatiran dari peneliti dan pemerhati lingkungan, terutama keanekaragaman hayati, mulai muncul. Karena keramaian dan kebisingan, akan mempengaruhi dan mengganggu habitat-habitat satwa yang ada si kawasan itu.

Dampak itu, sudah muncul di kampung Berua, seperti jenis satwa yang bisa dijumpai semakin berkurang. Sebelum jadi tempat wisata, kunang-kunang bisa dilihat saat hari mulai gelap di dermaga kampung itu, dan beberapa titik di sepanjang pinggir sungai Pute. Namun, sekarang sudah jarang muncul.

“Mungkin karena listrik sudah masuk dan mulai ramai, jadi kunang-kunang sudah tidak banyak. Biasa mereka muncul di titik-titik tertentu dan waktu-waktu tertentu,” kata Muhammad Ikhwan,43, yang lebih dikenal dengan nama Iwan Dento.

 

Suasana di sudut kawasan Rammang-rammang. Foto : Andi Hajramurni/Mongabay Indonesia

 

Cahyo Rahmadi peneliti dari BRIN, mengatakan, kondisi wisata yang saat ini marak, tentu akan memiliki implikasi positif maupun negatif. Sudah banyak pihak menyampaikan implikasi positif, namun belum banyak yang mengkaji implikasi negatif, khususnya Rammang-rammang bagi keberadaan fauna dan flora.

“Wisata yang tidak langsung berinteraksi dengan habitat spesies fauna, tentu akan memiliki dampak yang relatif kecil, namun demikian, wisata yang berkembang di sekitar habitat akan mempengaruhi perilaku fauna seperti kelelawar,” terang Cahyo.

Di Rammang-rammang, lanjutnya, beberapa tempat hiburan seperti karaoke di malam hari dan maraknya penerangan dapat menyebabkan perubahan perilaku, seperti jalur terbang kelelawar. Suara yang keras tentu akan memiliki implikasi yang perlu dikaji.

Selain itu, ia juga kuatir dengan kunjungan wisata gua, seperti di Gua Dedeleng, karena akan merusak habitat mengingat isopoda air memiliki habitat khas berupa kolam kecil di lantai gua yang rentan terinjak.

Kekhawatiran juga diungkapkan Amran Achmad. Karena itu, ia lebih setuju jika Rammang-rammang dijadikan desa konservasi, ketimbang desa wisata. Karena menurutnya, desa wisata akan berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem.

“Jadi desa konservasi lebih aman, wisata tetap jalan, konservasi juga dikembangkan, sehingga keanekaragaman hayati dan ekosistem yang ada di Rammang-rammang, tetap terjaga kelestariannya,” ujar Amran.

Desa konservasi imbuhnya, tetap menguntungkan masyarakat setempat, karena akan melibatkan masyarakat secara langsung melakukan konservasi hewan dan tumbuhan, seperti penangkaran satwa. Konservasi bisa menambah objek-objek wisata yang akan menarik perhatian pengunjung. Tentu saja pemerintah daerah perlu terlibat, karena pasti butuh biaya tak sedikit.

 

Suasana di sudut kawasan Rammang-rammang. Foto : Andi Hajramurni/Mongabay Indonesia

 

Ady Kristanto justeru tidak sepakat dengan Amran. Ia mendukung Rammang-rammang tetap jadi desa wisata. Hanya saja perlu dilakukan pemetaan wilayah, yang meliputi kawasan pemukiman, sawah atau ladang dan empang. Sebagaimana statusnya yang dijadikan kawasan ekosistem esensial (KEE).

Menurut Ady, menjaga kelestarian keanekaragaman hayati di Rammang-rammang, tanpa harus melakukan konservasi, tapi membangun kesadaran masyarakat untuk menjaga dan merawat sumber daya alam di wilayahnya. Misalnya, untuk menarik perhatian burung-burung, cukup dengan menanam pohon yang mereka sukai.

“Iwan Dento kan sudah melakukannya, menanam beberapa jenis pohon di sekitar rumahnya, seperti kersen dan lobe-lobe, burung-burung pun mulai berdatangan,” kata Ady.

Ia juga berharap, masyarakat Rammang-rammang melakukan hal yang sama, dan mengikuti masyarakat kelurahan Jatimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menjadikan kelurahannya, Desa Ramah Burung. Mereka menjaga dan merawat sarang burung, serta habitatnya. Kelestarian burung-burung tetap terjaga, dan masyarakat juga memperoleh penghasilan, karena daerah itu selalu dikunjungi orang-orang yang suka mengamati dan mengabadikan burung.

Hal senada dikemukakan Yusry M, Kepala Seksi Perencanaan, Perlindungan dan Pengawetan, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sulawesi Selatan. Menurutnya, yang perlu dilakukan adalah mendorong masyarakat tetap menjaga kelestarian ekosistem. Tidak melakukan perburuan, penangkapan satwa, dan penebangan pohon yang endemik, maupun dilindungi.

 

Lansekap kawasan karst Maros Pangkep, Sulawesi Selatan yang indah dan menakjubkan. Foto : Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

 

Rammang-rammang tidak masuk wilayah kerja BBKSDA, karena tidak masuk kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Namun BBKSDA tetap memantau dan melakukan pendekatan dengan masyarakat setempat, karena ada beberapa jenis hewan dan tumbuhan endemik dan dilindungi, hidup di kawasan itu.

“Memang tidak masuk wilayah kerja kami (BBKSDA Sulawesi Selatan), tapi kami mendukung dengan KEE. Kami juga melakukan pendekatan, sosialisasi dan edukasi, agar masyarakat tetap menjaga kelestarian ekosistem di Rammang-rammang,” kata Yusry.

BBKSDA Sulawesi Selatan juga memberdayakan masyarakat, dengan mengedukasi mereka budidaya tanaman organik. Menggunakan pupuk organik dengan memanfaatkan sumberdaya alam, seperti kotoran kelelawar.

Ia optimis, selama masyarakat Rammang-rammang bertanggung jawab menjaga dan memelihara ekosistem dan jejak-jejak purba di kawasan itu, maka Rammang-rammang akan menakjubkan dan menjadi laboratorium yang memendam banyak ilmu, yang penting digali, diteliti dan dipelajari.

 

***

 

*Andri Hajramurni. Jurnalis lepas di Makassar

 

Tulisan ini merupakan seri liputan Rammang-rammang yang didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version