Mongabay.co.id

Sering Dikunyah Seperti Permen oleh Masyarakat Papua, Ini Manfaat Buah Pinang

 

 

Beberapa daerah di Indonesia memiliki tradisi mengunyah pinang bersama sirih, yang tersebar mulai dari Sumatera, Sulawesi, hingga Nusa Tenggara. Namun, kebiasaan yang masih terus terjaga dalam hal mengunyah pinang dapat disaksikan di tanah Papua.

Jika di beberapa tempat di Indonesia mengunyah pinang hanya dilakukan oleh orang tua dan terjadi di desa-desa, di Papua dari anak kecil hingga orang dewasa terlihat mengunyah pinang. Bahkan, dilakukan di tempat publik sekalipun. Di Papua, mengunyah pinang seperti permen itu disebut juga dengan makan pinang.

Bagi sebagian besar orang Papua, belum sempurna jika dalam sehari tidak makan pinang, karena telah menjadi rutinitas mereka. Penjual buah pinang dengan mudah dijumpai di lapak-lapak pasar tradisional atau di emperan toko. Bahkan, pemandangan unik terlihat di Papua, yaitu terdapat larangan membuang ludah pinang sembarangan di hotel dan di bandara.

Baca: Buah Merah Papua, Bukan Buah Biasa

 

Buah pinang yang sering dikunyah bersama sirih. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Dalam buku “Prasejarah Papua” yang ditulis Hari Suroto [2010], disebutkan bahwa bukti arkeologi menunjukkan pada masa prasejarah, hanya penduduk Papua di pesisir saja yang makan buah ini sejak 3.000 tahun silam. Buah ini diperkenalkan oleh manusia berbahasa Austronesia yang datang ke pesisir dan pulau-pulau kecil di lepas pantai Papua.

Namun, tradisi mengunyah pinang kini banyak dijumpai di pegunungan seperti di Wamena, Enarotali, Moanemani, serta di wilayah lainnya. Padahal, pohon pinang jarang tumbuh di dataran tinggi.

“Jawabannya, karena berkarung-karung buah pinang ini dibawa ke Wamena dengan pesawat terbang. Sementara, di Enarotali, Moanemani, pinang dibawa dengan transportasi darat dari Nabire,” ujar Hari Suroto, yang juga arkeolog dari Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN] kepada Mongabay Indonesia awal Juni 2022.

Dia menjelaskan, budaya makan pinang di pegunungan Papua dikenal pada masa moderen, sekitar tahun 1960-an, ketika terbukanya akses penerbangan ke pegunungan. Diperkenalkan pertama kali oleh aparat pemerintahan, guru, polisi dan tentara yang berasal dari pesisir Papua. Ketika kembali ke tempat tugas, mereka membawa banyak buah pinang dari kampung halaman.

“Selain itu generasi terpelajar pegunungan yang sekolah atau kuliah di Kota Jayapura, mulai terbiasa dengan budaya baru bagi mereka yaitu makan pinang. Begitu mereka selesai sekolah dan kuliah, ketika kembali ke daerah asal, membawa budaya makan pinang ini,” kata Hari.

Baca: Matoa, Buah Khas Papua yang Kaya Manfaat

 

Pinang muda memilik berbagai manfaat kesehatan dan dapat juga dijadikan jus pinang. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Dalam perkembangannya, buah pinang menjadi komoditas ekonomi baru di wilayah pegunungan sehingga dikirim dari Bandara Sentani ke Wamena. Terdapat dua jenis pinang yang dibawa yaitu pinang buah dan biji pinang kering.

Pelengkap makan pinang adalah kapur dan sirih. Kapur didapatkan dari membakar cangkang kerang laut. Bagi masyarakat Sentani, kapur diperoleh dengan membakar cangkang siput danau. Kapur dari kerang laut warnanya lebih putih daripada kapur siput danau yang warnanya putih keabu-abuan. Sementara sirih yang digunakan adalah buah sirih hutan,  ketika tidak ada buah, yang digunakan adalah batangnya.

Namun menurut Hari, ada salah satu daerah pegunungan yang masyarakatnya tidak memakan pinang, yaitu Suku Mee di Kabupaten Dogiyai. Mereka telah sepakat untuk tidak mengonsumsi atau menanam pohon pinang khususnya di wilayah Dogiyai, karena bagi mereka makan pinang merupakan budaya masyarakat pesisir dan nenek moyang mereka tidak mengenal itu. Selain itu, pohon pinang memang tidak bisa tumbuh di Dogiyai.

Saat ini, pinang sudah menjadi kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat Papua, yang mampu menggerakkan perekonomian masyarakat kecil. Dari hasil jualan pinang, banyak orang tua yang mampu menyekolahkan anak-anak hingga perguruan tinggi. Pada umumnya oleh orang Papua, pohon pinang ditanam di pekarangan rumah atau di kebun yang tidak begitu luas.

Baca: Kopi Arabika Papua dan Ancaman Nyata Perubahan Iklim

 

Pinang yang dijual oleh masyarakat Papua. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Manfaat buah pinang

Buah pinang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan tubuh. Dalam riset berjudul “Peluang Pemanfaatan Buah Pinang untuk Pangan” yang diterbitkan Buletin Palma [2007], dijelaskan bahwa komponen utama yang terkandung pada biji pinang adalah tanin dan alkaloid. Kedua komponen ini sangat dominan memberikan aneka manfaat kepada penikmat biji pinang.

Secara empiris, biji pinang dapat mengatasi berbagai jenis penyakit. Berdasarkan berbagai pengujian, senyawa arekolina [komponen alkaloid] pada biji pinang, dapat berfungsi sebagai antihelmintik [anticacing].

Pengujian lain, terungkap bahwa ekstrak etanol biji pinang mempunyai aktivitas antidepresi [obat stres]. Agar manfaat biji pinang dapat dinikmati banyak orang, diperlukan inovasi pengolahan sehingga mudah dikonsumsi.

“Dengan demikian, akan lebih banyak konsumen yang merasakan manfaat biji pinang, terutama untuk kesehatan,” ungkap laporan tersebut.

Baca juga: Mengenal Nothofagus, Pohon yang Menjadi Sorotan UNESCO di Papua

 

Mengunyah pinang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Papua. Foto: Hari Suroto/BRIN

 

Dikutip dari situs kesehatan Alodokter, buah pinang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan tubuh karena mengandung protein, lemak, karbohidrat kompleks, zat besi, vitamin B kompleks, kalsium, fosfor, kalium, antioksidan, termasuk flavonoid dan polifenol. Buah pinang mampu menjaga kesehatan dan kebersihan mulut, menurunkan tekanan darah, mencegah dan mengatasi anemia, melancarkan pencernaan, serta mampu menambah energi.

Namun, di balik beragam manfaat yang ditawarkan, beberapa penelitian juga menunjukkan buah pinang berpotensi menimbulkan efek samping bagi kesehatan. Efek ini lebih berisiko muncul jika buah pinang dikonsumsi dengan cara-cara tertentu, misalnya bersamaan dengan tembakau.

Efek samping itu adalah meningkatkan risiko kanker, menimbulkan peradangan mulut, mengganggu kesehatan saraf dan otak, serta membahayakan kehamilan dan janin.

 

Exit mobile version