Mongabay.co.id

Reuni Para Jenderal di Kaki Wayang (Bagian 2)

Warga berswafoto di Situ Cisanti, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, belum lama ini. Sebagai hulu Sungai Citarum, tempat ini juga dijadikan kawasan wisata. Foto: Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia

 

 

Program anyar pemulihan Sungai Citarum kini sudah memasuki tahun ke-4. Dibutuhkan kerja tepat, agar target Harum mampu paripurna di 2025.

Untuk kesekian kali, Doni Monardo menjejak di kaki Gunung Wayang. Purnawirawan jenderal bintang tiga itu mengamati bukit-bukit gundul di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Ditengah kabut yang tak hendak beringsut, Doni tertegun melihat pohon-pohon baru yang perlahan tumbuh membesar di lereng-lereng bukit. Lokasi itu berada di desa yang menjadi titik awal mata air Sungai Citarum, di ketinggian 1.500 mdpl. Jaraknya sekitar 53 kilometer dari Gedung Sate.

Sekalipun memakai masker, dari matanya yang menyipit tampak ada senyum kegembiraan. “Yang dulu dibilang mustahil, sekarang cukup memiliki harapan untuk hijau,” kata Penggagas Program Citarum Harum itu saat ditemui pada Sabtu (26/3/2022) lalu.

Pagi itu, Doni berkeliling di kebun pembibitan dampingan Sektor 21 Satgas Citarum Harum. Ragam 47 jenis bibit pohon disemai oleh tangan tekun para penduduk setempat yang diberdayakan di sana. Maklumlah, separuh penduduk di kawasan hulu adalah buruh tani.

baca : Pemulihan Citarum untuk Dunia (Bagian 1)

 

Letjen Purn Doni Monardo mengunjungi kebun pembibitan di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (26/3/2022) lalu. Dalam kunjungan ke Hulu Sungai Citarum, Komisaris Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) itu ingin memastikan Program Citarum Harum berjalan sesuai kerangka kerja. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Di sini, pertanian adalah pelita. Membentang 10 kilometer dari Situ Cisanti, Titik Nol Sungai Citarum, wilayah Kertasari merupakan salah satu lumbung pangan bagi lebih dari 7 juta penduduk Bandung Raya.

Akan tetapi, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung, mencatat, kawasan di hulu Sungai Citarum merupakan kawasan paling miskin. Mungkin karena mayoritas lahan milik perusahaan plat merah seperti Perum Perhutani dan PTPN VII.

Adapun data menunjukan, terdapat lebih dari 11.000 kepala keluaga merupakan peladang sayur mayur. Di sini buruh tani berpenghasilan antara Rp35-70 ribu per hari. Di sini, lahan milik masyarakat tak kurang dari 700 hektar. Selebihnya merupakan kawasan lindung seluas 2.785 hektar. Alhasil akses terhadap tanah tak seimbang dengan tekanan penduduk yang membludak di sana.

Wajah DAS Hulu Citarum memang sudah kebanyakan disorot. Masalah hutan yang kosong di daerah ini sebenarnya sudah sangat banyak dibahas, dibicarakan dan dirumuskan bagaimana penanggulangan dan jalan keluarnya.

Hampir tiga puluh tahun lalu dan bahkan mungkin lebih dari itu sudah diketahui bahwa jawabannya adalah reboisasi. Termasuk sejak lahir Program Kali Bersih (Prokasih), program pertama penanganan sungai di Jawa.

baca juga : Citarum Harum, Simbol Keseimbangan Hidup Manusia dengan Alam

 

Petani merawat tanaman sayur di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Hampir separuh dari 11.000 kepala keluarga di hulu Sungai Citarum merupakan buruh tani yang tidak memeliki lahan. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Meski akhirnya, pemulihan ekosistem menjadi program yang tak berkesudahan. Entah berapa tumpuk rupiah yang sudah digelontorkan negara untuk mewujudkan status DAS kritis hilang. Namun, sejauh ini, masyarakat awam sekalipun, agaknya, mudah menerka tingkat keberhasilannya. Tapi, rasanya tak adil juga jika masyarakat hanya menghakimi saja.

Masalah yang dihadapi Citarum Hulu sebenarnya sederhana saja. Kapasitas tampung resapan air sudah berkurang. Perkara ini menyebabkan banjir tak berujung bagi wilayah Cekungan Bandung. Sebab secara perhitungan, kapasitas tampung alur sungai pun sudah jauh di bawah debit air pada saat musim penghujan.

Seperti halnya, pengalaman Yusuf Efendi (36), Pengelola Penyemaian Paguyuban Budiasi di Desa Tarumajaya. Dia paham betul jika menanam tak semudah kiat teknis para pejabat di ruang rapat. Apalagi menanam di petak-petak lahan di Hulu Citarum.

Setidaknya, Yusuf membuktikan itu di petak 18 dan 73 milik PTPN VII. Bibit-bibit yang ditanam di sana, bukan tunas yang tumbuh melainkan bunga kol. Kadang jadi wortel atau kentang.

“Menanam di sini sulit tumbuh, bukan karena faktor cuaca melainkan faktor manusianya,” imbuh Yusuf setengah tersenyum.

baca juga : Menaruh Harap pada Keberhasilan Program Citarum Harum

 

Foto udara kawasan Hulu Sungai Citarum di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Masalah pembukaan lahan di kawasan hutan lindung hulu Citarum ini sebenarnya bukan cerita baru. Apa yang dilihat Yusuf memang dipraktikan oleh kebanyakan petani sejak lama sekali. Mungkin karena dulu hutan produksi, lalu berubah menjadi lindung. Sehingga terus-terusan bersengketa hingga saat ini.

Setiap kali datang tokoh penting negeri ini ke Hulu Citarum, para petinggi Perhutani maupun PTPN VII selalu berkeluh kesah. Mereka bilang, bukan tak berbuat apa-apa. Adapun ragam upaya telah dikerjakan, tetapi memang kalah oleh keadaan.

Saking sulitnya, Perhutani bahkan beberapa kali membuat program kemitraan. Contohnya, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Tujuan sederhananya adalah menahan laju desforestasi dengan merangkul masyarakat melalui aturan kepemilikan bersama. Namun, nyatanya tak cukup kuat membendung degradasi lahan.

Barangkali, tujuan baik tak selamanya bisa berjalan lancar pula. Berdasarkan data Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung yang dikutip dari buku Aliran Citarum 10K (Cita Citarum:2014), lahan kritis di kawasan hulu Citarum khususnya di empat desa di Kecamatan Kertasari seluas 3.256,88 hektar. Ironisnya, jumlah itu melebihi luas hutan lindung Wayang-Windu.

Adapun hasil pendokumentasian Kembalikan Harum pada 2018, salah satu penyebab pelanggaran itu berumur panjang, diduga akibat adanya praktik penguasaan lahan oleh segelintir orang “kuat”. Bayangkan saja, satu orang bisa menguasi 10 hektare, bahkan lebih dari itu.

baca juga : Citarum Harum, Langkah Optimis Pemerintah Pulihkan Kejayaan Sungai Citarum (Bagian 3)

 

Foto udara kawasan Hulu Sungai Citarum di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Praktiknya, mereka mengambil alih hak pengelolaan dari warga yang didapat dari negara. Muncul asumsi ada keterlibatan oknum aparat sehingga “kebiasaan” itu akhirnya langgeng.

Secara sosial hal itu memicu warga membabat hutan lagi dan lagi. Bahkan hingga melebihi ketinggian 1.700 mdpl. Pantaslah, sedianya bukit-bukit di hulu Citarum gundul tak berhutan.

Tak heran, para ahli menghitung sedimentasi di Sungai Citarum itu lebih dari 4 juta ton pertahun. Itu sudah masuk erosi kuat dan serius. Apalagi jika dikalikan 30 tahun, berapa kubik tanah yang bakal dikeruk?

 

Tuntaskan

Masih dengan tubuh bersimbah keringat, Yusuf memeriksa tiap bibit yang disemai. Sejak program anyar digulirkan, paguyuban itu telah menyuplai sebanyak lebih dari 3 juta bibit pohon untuk Satgas Citarum Harum. Bibit itu juga dibagikan gratis kepada warga dengan hanya membawa kartu indentitas saja. Ada juga 110 ribu bibit kopi yang sudah siap dibagikan untuk penyilang pendapatan selain tanaman semusim.

“Karena konsepnya ikhlas jadi pada prinsipnya bukan seberapa banyak menanam tetapi berapa banyak tumbuh,” tutur Yusuf.

Sementara itu, kabut di hulu menggiring langkah Doni Monardo terhenti di pohon Manglid. Di depan pohon setinggi 4 meter itu menancap tulisan Presiden Joko Widodo. “Pohon yang ditanam Bapak Presiden tumbuh dengan baik,” kata Doni pelan.

perlu dibaca : Citarum, Sungai Harum yang Pernah Menjadi Pusat Peradaban Manusia

 

Letjen Purn Doni Monardo melihat pohon Manglid yang ditanam oleh Presiden Joko Widodo di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (26/3/2022) lalu. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mantan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) itu menepuk-nepuk batang pohon. Tak lama mengeluarkan ponsel menuju pohon yang ditanam Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Doni mengambil beberapa gambar sebelum menuju pohon yang ditanamnya sendiri.

“Ini untuk laporan ke Pak Luhut, jika pohon yang beliau tanam pun tumbuh dengan baik,” ujarnya.

Barangkali, sepetak lahan yang dinamai Taman Presiden itu adalah sebuah rendezvous yang bakal dikangeni sekaligus “sangar” setelah program Citarum Harum usai. Sebagaimana diketahui, Perpres Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum memberi mandat hingga 2025.

Maka yang tertinggal dari usainya program itu adalah pohon-pohon yang ditanam pejabat secara sukarela itu. Mungkin saja, separuh yang menanam itu sudah melupakan. Tapi kata Kahlil Gibran (1926), “Pepohonan adalah puisi yang dituliskan Bumi pada Langit. Kita menumbangkannya dan mengubahnya menjadi kertas. Di atasnya kita mencatat kekosongan kita”.

Maka jika dilihat dari kacamata politik, posisi pohon-pohon disana tidaklah kosong. Magled dan jenis pepohonan lainnya seperti punya legacy. Ada komitmen serius pemerintah.

baca juga : Memulihkan DAS Citarum dengan Perikanan Ramah Lingkungan

 

Letjen Purn Doni Monardo melihat pohon yang dia tanam di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (26/3/2022) lalu. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sekalipun pada kenyataanya di lapangan tidak terlalu serius juga. Mungkin karena saking banyaknya persoalan yang musti dituntaskan. Bagaimana tidak, kerusakan Citarum melaju ditengah rendahnya kesadaran dan kepedulian manusia yang begitu-begitu saja nyaris selama 40 tahun tanpa perubahan.

“Tetapi tanpa pelibatan masyarakat dan perubahan perilaku mana mungkin perkara macam ini selesai,” ucap Doni meninggalkan lokasi kebun bibit.

Dalam jeda antara akhir pekan dan hari kerja itu, Doni sekali lagi mengunjungi Situ Cisanti. Doni disambut para perwira TNI menengah yang diperbantukan menangani Program Citarum Harum. Pertemuan itu seperti acara reuni. Reuni para Jenderal.

Diakhir pertemuan itu, Doni berefleksi. Dia bilang jauhi tindakan inkonsisten. Sekalipun tak spesifik menyebut pelanggarannya, namun dari intonasi suara yang meninggi, Doni benar-benar serius mengingatkan itu.

“Jika kelak kalian ingin pensiun dengan kepala tegak, jangan sekali-kali tergiur iming-iming. Sebab, selalu akan datang pihak-pihak menawarkan iming-iming. Terutama dari kalangan yang sering melakukan pelanggaran terhadap lingkungan,” terang Doni.

 

Petugas Gakkum KLHK melakukan sidak di pabrik pengolahan emas Jl. Raya Baleendah, Kab. Bandung, awal Juni 2018. Foto : facebook Citarum Harum

 

Berdasarkan hasil penulusuran Mongabay-Indonesia, di beberapa lokasi memang masih ditemukan aliran limbah yang berwarna dan berbau. Di kawasan Ciwalengke, misalnya, di jam-jam tertentu warga mudah menemukan limbah keluar dari outfall pabrik melalui anak-anak sungai.

Empat tahun lalu, hasil dokumentasi Kembalikan Harum Citarum merekam bagaimana Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) menemukan perusahaan yang diduga menggunakan logam berat berjenis merkuri (Hg) dalam memurnikan emas. Dan banyak kasus lainnya yang mengentak sejak program pertama Citarum.

Pikir Doni, lingkungan tercemar mampu menurunkan mutu kesehatan masyarakat karena terpapar polutan berbahaya. Karena itu, dibutuhkan ketegasan serta keteguhan hati untuk mengentaskannya. Hanya dengan cara seperti, katanya, kualitas penataan Citarum bisa berjalan dengan baik.

“Jangan korbankan masa depan anak-cucu kita hanya karena imbalan. Jangan mencoreng prestasi prajurit Siliwangi,” Doni menegaskan.

 

Limbah yang meracuni Sungai Citarum membuat sungai ini tercemar berat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kata Doni, pemerintah tentu tidak bisa selamanya mengurusi sungai terpanjang di Jabar itu. Sedianya masa berlaku Perpres selesai di 2025, agaknya, tak elok jika meminta presiden memperpanjang. Sebab, itu bisa diartikan program belum tertunaikan secara paripurna.

“Maka tiga tahun ke depan harus kita maksimalkan untuk perubahan perilaku,” ujarnya.

Ia tak ingin tentara terus-menerus mengurusi sungai, “Tujuh tahun sudah cukup.” Barangkali, di kaki Gunung Wayang itu, Doni ingin menjawab keragu-raguan terhadap komitmennya terhadap program anyar tersebut.

***

 

Keterangan foto utama : Warga berswafoto di Situ Cisanti, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, belum lama ini. Sebagai hulu Sungai Citarum, tempat ini juga dijadikan kawasan wisata. Foto: Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version