Mongabay.co.id

Hidup Nelayan Skala Kecil terancam Pencabutan Subsidi WTO

 

 

Para pegiat perikanan skala kecil dan tradisional mulai mengkhawatirkan nasib nelayan skala kecil dan tradisional di tengah serbuan pelaku usaha perikanan skala besar. Kekhawatiran itu disuarakan, karena dunia tengah mempertimbangkan untuk menghapus subsidi perikanan tanpa ada batasan.

Rencana penghapusan subsidi tersebut dikampanyekan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang pada pekan ini baru saja menggelar konferensi tingkat tinggi ke-12 di Jenewa, Swiss. Indonesia sebagai bagian dari 164 anggota WTO, diwajibkan untuk melaksanakan kesepakatan yang dihasilkan dari pertemuan itu.

Suara kekhawatiran tersebut kemudian dibuat menjadi surat terbuka atas nama Kelompok Masyarakat Sipil tentang Perundingan Subsidi Perikanan di WTO. Surat tersebut dikirimkan kepada Presiden RI Joko Widodo dan sejumlah menteri terkait lain.

Pada surat tertanggal 7 Juni 2022 itu, sepuluh organisasi menyatakan dukungan dengan memberikan tanda tangannya. Seluruhnya sepakat mempertanyakan tentang kesepakatan yang dibuat oleh negara anggota WTO berkaitan dengan subsidi perikanan secara global.

Kesepuluh organisasi itu adalah Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesian Human Rights Committe for Social Justice (IHSC), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Perkumpulan INISIATIF, Serikat Petani Indonesia (SPI), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

“Kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak menyetujui teks subsidi perikanan saat ini, karena akan membahayakan mata pencaharian dan ketahanan pangan para nelayan dan sektor perikanan secara keseluruhan. Lebih baik tidak ada kesepakatan daripada kesepakatan yang buruk, yang akan merugikan rakyat Indonesia,” demikian kesimpulan dari surat tersebut.

baca : Nelayan Kecil dan Pesta Korporasi di Laut

 

Seorang nelayan sedang menebarkan jaring untuk menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

Kelompok organisasi itu menyatakan khawatir, karena perikanan merupakan sektor penting bagi mata pencaharian di Indonesia. Pada 2017, jumlah nelayan bahkan sudah mencapai 2,6 juta orang atau setara dengan 6,44 persen nelayan yang beroperasi di seluruh dunia.

Data yang dirilis resmi oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) tersebut menjelaskan posisi perikanan sebagai salah satu sumber kehidupan bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia.

Salah satu organisasi yang menyatakan dukungan, adalah Indonesia for Global Justice (IGJ). Menurut IGJ, perjanjian yang dinegosiasikan oleh WTO di Jenewa, Swiss, dilakukan atas dasar mandat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin 14.6 dan sekaligus untuk memenuhi tujuan keberlanjutan konservasi laut.

Tujuan tersebut, sudah lama diadopsi oleh nelayan skala kecil di Indonesia yang diketahui sudah beroperasi dengan menerapkan prinsip-prinsip perikanan berkelanjutan. Cara bekerja mereka bahkan dinilai jauh lebih baik dibandingkan dengan yang terjadi di negara maju dan negara dengan nelayan yang beroperasi di perairan jauh.

Dalam penilaian kelompok ini, cara bekerja nelayan skala kecil dan tradisional sudah mengikuti standar keberlanjutan yang dikampanyekan dunia untuk perikanan. Untuk itu, tidak seharusnya jika subsidi akan dihapuskan untuk perikanan secara umum.

baca juga : Subsidi Perikanan, Bentuk Perlindungan Negara kepada Nelayan Kecil

 

Sekelompok nelayan saling membantu mendorong perahu ke tengah laut di pantai Depok, Yogyakarta, December 2019. Foto : shutterstock

 

Kekhawatiran tersebut beralasan, karena WTO akan menerapkan kebijakan penghapusan dan Indonesia harus mengikuti kebijakan tersebut. Penghapusan bahkan akan diberlakukan pada tiga isu perikanan yang jadi perhatian utama dan menjadi bagian negosiasi.

Ketiganya adalah penangkapan ikan dengan cara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai regulasi (IUUF), stok perikanan yang sudah ditangkap melebihi batas (overfished stock/OS), serta terjadinya kelebihan kapasitas tangkap yang mendorong terjadinya kelebihan tangkap (overcapacity and overfishing/OCOF).

“Perjanjian ini bertujuan untuk menghilangkan subsidi untuk sektor perikanan yang kami andalkan untuk mata pencaharian kami,” kata mereka.

Atas dasar tersebut, kelompok organisasi itu menyatakan keprihatinan karena negara di dunia, termasuk WTO sangat sedikit untuk mempertimbangkan pengecualian untuk kegiatan perikanan dan penangkapan ikan yang berpenghasilan rendah, serta sumber daya yang miskin.

Berdasarkan tiga isu utama yang disebut di atas, nelayan skala kecil atau tradisional dibatasi untuk melakukan penangkapan ikan di dalam area 12 mil laut atau perairan teritorial. Namun, jika nelayan melewati batas tersebut, maka pengecualian sudah tidak berlaku lagi.

Padahal, nelayan disebutkan terbiasa mencari ikan hingga melewati batas 12 mil laut, bahkan mencapai wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Aktivitas tersebut bisa dengan jelas mereka lakukan, ataupun dilakukan secara sembunyi.

baca juga : Subsidi Pemerintah, Solusi untuk Nelayan Natuna Saat Paceklik

 

Sekelompok nelayan tradisional dengan perahu kecilnya sedang menangkap ikan di perairan Maluku. Foto : shutterstock

 

Dengan kebiasaan yang sulit dihentikan seperti itu, Kelompok organisasi itu menyebut kalau nelayan dipastikan tidak akan mendapatkan subsidi lagi dari Negara. Potensi buruk tersebut diperparah karena isu IUUF juga bisa menghilangkan subsidi, meski WTO memberi pengecualian maksimal hingga dua tahun, atau kurang dari masa tersebut selama negosiasi berlangsung.

“Kami berpandangan ini benar-benar tidak adil dan tidak realistis, mengingat nelayan kecil akan terus tetap rentan dan terpinggirkan bahkan setelah beberapa dekade,” demikian bunyi lain pernyataan Kelompok.

Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan geografis seperti itu akan membuat para nelayan skala kecil dalam kesulitan besar dan Negara harus menolaknya. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia harus memiliki fleksibilitas penuh untuk memberikan subsidi bagi nelayan dan kegiatan penangkapan ikan sampai ke ZEE, juga zona kontinental lainnya tanpa batasan waktu.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif IGJ Rahmat Maulana Sidik. Menurut dia, Konferensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) sudah mengakui bahwa negara-negara memiliki hak penuh atas ZEE dan hingga 250 mil laut di zona kontinental.

Kenyataan bahwa Indonesia ada dalam ancaman tersebut, justru berbanding terbalik kondisinya dengan negara maju yang memiliki kemampuan dari sisi keuangan. Mereka yang sudah memberikan subsidi sangat besar, diberikan kebebasan secara legal untuk terus melanjutkan kebijakan tersebut.

Klausul tersebut ada dalam draf tentang penyebutan persyaratan yang mudah untuk penangkapan ikan di perairan jauh, termasuk negara yang memiliki mekanisme pengelolaan dan pemantauan yang canggih.

baca juga : Hak Istimewa Nelayan Tradisional pada Zona Penangkapan Terukur

 

Sejumlah perahu nelayan tradisional ditambatkan di pantai timur Pangandaran, Jawa Barat. Foto : shutterstock

 

Negara Maju

Dalam penilaian Rahmat Maulana Sidik, meski disebutkan dalam draf dengan kewenangan penuh, namun negara-negara maju justru seharusnya bertanggung-jawab atas kerusakan perairan laut saat ini. Mereka yang berbuat kerusakan, namun justru mendapatkan kesempatan lagi untuk terus menangkap ikan lebih banyak lagi di laut dan perairan jauh.

Dengan kata lain, seharusnya WTO tidak memaksakan aturannya pada hak kedaulatan negara. Tegasnya, Pemerintah Indonesia harus menolak draf tersebut, karena akan melanggar hak nelayan untuk memproleh dukungan Pemerintah hanya karena beroperasi lebih dari 12 mil.

“Bagaimana mungkin, nelayan kecil yang seringkali tidak menyadari telah beroperasi lebih dari 12 mil dihalangi haknya untuk mendapat dukungan pemerintah?” tutur dia.

Tentang isu IUUF yang dijadikan item untuk negosiasi, menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati itu juga tidak seharusnya terjadi karena definisi yang dirilis oleh FAO juga bermasalah.

Dia menyebut, sampai sekarang masih banyak nelayan kecil dan tradisional yang tidak bisa mengakses mekanisme formal pendaftaran dan menetapkan status mereka secara formal. Juga, menghilangkan status mereka dari kategori tidak dilaporkan dan tidak diatur.

“Itu karena mekanisme Pemerintah lemah di banyak bidang,” tambah dia.

Itulah sebabnya, kemampuan nelayan kecil dan tradisional untuk memanfaatkan dukungan tertentu dari Pemerintah sebelumnya sudah dikompromikan. Tanpa ragu, dia menyebut pencabutan akses subsidi nelayan karena dasar kategori yang salah, maka itu adalah tidak adil dan sulit diterima.

baca juga : Perhatikan Nasib Nelayan Lokal, Menteri Kelautan Diingatkan Tidak Gegabah Buat Kebijakan Perikanan Tangkap

 

Para nelayan menepikan perahunya di sungai Cilincing, Jakarta Utara, usai mencari ikan di laut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kesalahan mencabut subsidi perikanan secara umum, memang seharusnya tidak muncul dalam draf yang diterbitkan WTO. Mengingat, tujuan dari perundingan pengurangan subsidi perikanan adalah sebenarnya untuk mengurangi subsidi yang ada di negara maju.

Menurut Susan , selama ini subsidi yang diberikan negara maju terhadap sektor perikanan mereka terbilang sangatlah besar dan itu memicu terjadinya kerusakan lingkungan, terutama ekosistem laut dan pesisir bersama sumber daya perikanan di dalamnya.

Dia mencontohkan, jika Indonesia hanya sanggup menggelontorkan subsidi perikanan sebesar USD92 per nelayan atau setara Rp1,4 juta per tahun, maka Amerika Serikat sudah bisa menggelontorkan subsidi hingga USD4.956 atau setara Rp74 juta per nelayan per tahun.

Bahkan, negara seperti Jepang sudah mampu memberikan subsidi setiap tahun kepada setiap nelayan mencapai USD8.385 atau setara Rp124 juta. Nominal sebesar itu, dipastikan akan mendorong aktivitas penangkapan ikan menjadi tinggi dan itu memicu kerusakan ekosistem di laut dan pesisir.

Namun negosiasi ini belum memperhitungkan analisa tersebut,” terang dia.

baca juga : Curhatan Pengangkut Ikan, Sandarkan Penghasilan dari Nelayan

 

Selain ikan teri (Engraulidae), ikan seperti kembung (Rastrelliger), layur (Trichiurus lepturus) juga diangkut ke darat untuk dikeringkan di Cilincing, Jakarta Utara. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Menurut Penasihat Senior dari Indonesian Human Rights Committe for Social Justice (IHSC) Gunawan, dalam catatan kaki draf perjanjian disebutkan larangan bagi negara yang memiliki pangsa pasar 10 persen atau lebih dari penangkapan laut global untuk menggunakan perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment/S&D).

Aturan tersebut juga bisa membahayakan Indonesia dalam pemberian subsidi, karena saat ini Indonesia sudah memiliki jangkauan pasar mencapai 8,6 persen. Sedikit saja persentase naik, maka hak untuk menggunakan S&D akan hilang.

Bahkan itu bisa terjadi jika persentase tangkapan negara lain turun karena suatu alasan misalnya, maka hak kita hilang, bahkan tanpa kita menangkap lebih banyak ikan,” papar dia.

Jika ancaman tersebut mendekati kenyataan, maka itu akan menempatkan nelayan Indonesia pada risiko kerugian. Oleh karena itu, ambang batas 10 persen untuk pangsa pasar ini tidak dapat diterima dan harus ditolak.

Selain berbahaya bagi nelayan skala kecil dan tradisional, draf juga bisa membahayakan perempuan nelayan yang juga hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal tersebut diungkapkan Esra Dwi Lestari dari Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI).

Menurut dia, dengan kondisi saat ini di mana harga bahan bakar minyak (BBM) sedang tinggi dan, pengurangan dan penghentian subsidi akan menempatkan komunitas nelayan dalam situasi sangat rentan.

“Kami para perempuan nelayan juga tidak yakin bagaimana draf perjanjian ini akan memungkinkan fleksibilitas untuk menangani krisis semacam ini di masa depan,” tegas dia.

 

Data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menjelaskan para perempuan nelayan mampu memberikan kontribusi ekonomi lebih dari 60 persen bagi perekonomian keluarga. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Tentang draf perjanjian penghapusan subsidi sektor perikanan tersebut, Rizky Estrada dari Perkumpulan INISIATIF menyebut bahwa itu diujukan untuk mencapai target SDGs poin 14.6. Akan tetapi, tujuan tersebut dinilai kurang tepat karena target itu juga harus dilihat dari SDGs poin 2.

Poin tersebut salah satunya bertujuan untuk memperbaiki dan mencegah pembatasan, serta distorsi dalam pasar pertanian dunia, termasuk perikanan di dalamnya. Selain itu, juga untuk menjamin sistem produksi pangan yang berkelanjutan dan menerapkan pertanian tangguh produksi dan produktivitas pangan.

Dia menilai, jika WTO bermaksud ingin menghilangkan subsidi pada sektor perikanan pada sistem perdagangan dunia, maka itu artinya WTO menghilangkan tanggung jawab pelaku perdagangan dunia, yang mayoritas dipegang oleh perusahaan multinasional, terhadap akses penghidupan nelayan yang selama ini hidup di bawah sejahtera.

Selain itu, juga mengabaikan kedaulatan negara berkembang untuk memiliki otonomi dalam mengatur dan mengurus sendiri rakyatnya,” ungkap dia.

Dengan fakta demikian, Rizky bersama Kelompok Nelayan bersuara untuk menolak draf penghapusan subsidi oleh WTO. Pasalnya, jika perjanjian tersebut disahkan, maka kehidupan pesisir akan selamanya terikat pada perjanjian tersebut, yang berarti tunduk pada kepentingan perdagangan dan bisnis global yang tidak bertanggung jawab.

 

Exit mobile version