- Saat musim angin utara yang berlangsung dari November sampai April ini, para nelayan di Natuna, Kepulauan Riau tidak berani melaut karena khawatir terkena badai di tengah laut. Sudah beberapa nelayan yang melaut di perbatasan Malaysia, terjebak badai musim angin utara. Bahkan ada yang kapalnya terbalik dan tenggelam.
- Karena tidak melaut sehingga tidak bisa menangkap ikan, menjadikan musim angin utara merupakan masa paceklik bagi para nelayan Natuna. Mereka terpaksa banting setir mencari penghasilan lain dengan bertukang atau berkebun
- Aliansi Nelayan Natuna dan Pusat Studi Kemaritiman untuk Kemanusiaan menyarankan pemerintah untuk menyalurkan bantuan subsidi kepada nelayan Natuna pada masa paceklik musim angin utara. Subsidi itu menjadi kewajiban pemerintah sesuai Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.
- Dinas Perikanan Natuna menyebutkan belum memberikan bantuan khusus di masa paceklik dari perikanan tangkap. Tetapi pernah beberapa kali bantuan sembako kepada para nelayan.
Gelombang tinggi menghantam dua kapal kayu nelayan Natuna, Aripin dan Zali malam itu. Ombak yang menggulung masuk ke dalam kapal. Apalagi kapal milik Aripin hanya berukuran 5 gross tonnage. Dia kesulitan mengeluarkan air yang masuk dalam kapal.
Akhirnya, kapal Arifin terbalik. Ia terpaksa meloncat ke kapal Zali. “Untung kami masih berdekatan,” kata Zali mengenang peristiwa menghadapi badai di Laut Natuna dua tahun lalu itu. Kejadian itu menjadi pelajaran bagi Zali dan nelayan lain agar selalu berhati-hati melaut di Natuna. Apalagi ketika masuk badai angin utara.
Sampai saat ini nelayan Natuna memilih tidak melaut daripada digulung gelombang di tengah laut Natuna. Mereka menyebut angin utara November-April adalah masa paceklik.
Dimasa paceklik seperti itu, mereka banting setir mencari penghasilan lain. Ada yang bertukang, berkebun, bahkan menggunakan tabungan hasil melaut beberapa bulan sebelumnya.
Ancaman Badai Angin Utara Natuna
Peristiwa naas itu juga hampir dialami Bahran. Ia dihantam gelombang ketika melaut di perbatasan Indonesia-Malaysia pada Desember 2021 lalu. Angin utara yang datang tiba-tiba membuatnya kelimpungan dan tidak bisa menghubungi nelayan lain di pangkalan melalui radio kapal.
“Kami sudah berada di 150 mil, radio tidak bisa digunakan lagi,” ceritanya kepada Mongabay Indonesia, akhir Desember 2021 lalu.
Bahran tidak sendiri ia bersama tujuh orang lainnya dalam dua kapal. Tiga orang merupakan pemilik kapal dengan lima orang anak buah kapal (ABK).
baca : Cerita Nelayan Natuna, Terjepit Antara Kapal Cantrang dan Kapal Asing
Awalnya rombongan Bahran ingin melaut ke arah Malaysia untuk menangkap ikan tongkol. Setelah sampai di lokasi, mereka siap memancing ikan. Ketika itu cuaca tenang sama seperti saat mereka berangkat melaut dari pelabuhan Teluk Beruk, Kota Ranai Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). “Saya sudah prediksi cuaca tenang sampai satu minggu kedepan, makanya berangkat melaut,” katanya.
Setelah empat hari mereka memancing ikan tongkol, menjelang malam hari awan mulai hitam. Perlahan hujan turun dan ombak mulai membesar. Bahran mengambil keputusan mereka mengikuti arus ombak dan tidak memaksakan kapal untuk kembali ke darat. “Kalau dihantam bisa terbalik kapal, makanya kita ikuti gelombang,” katanya.
Selama satu malam, kelompok Bahran berjuang menghadapi badai angin utara yang datang tiba-tiba di luar prediksinya. Hingga esok harinya baru bisa kembali pulang. “Biasanya kita bisa prediksi cuaca, sekarang susah. Ini terjebak angin utara di tengah laut,” kata Bahran.
Masyarakat sempat heboh mendengar kelompok Bahran hilang kontak. Apalagi cuaca buruk juga sampai ke darat. Air rob naik dan membanjiri rumah warga di beberapa kawasan di Natuna. “Angin juga kencang di darat,” kata Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Hendri kepada Mongabay Indonesia belum lama ini.
Masyarakat bernapas lega setelah Bahran mengabarkan mereka di jalan pulang. “Akhirnya pada jarak 40 mil kita sudah dapat kabar dari mereka,” kata Hendri.
Hendri mengatakan, nelayan Natuna sangat rentan mengalami kecelakaan laut. Apalagi saat ini cuaca susah diprediksi yang diduga akibat dampak perubahan iklim.
Dia selalu menghimbau nelayan Natuna untuk waspada ketika melaut serta memantau prediksi cuaca baik dari BMKG atau melalui aplikasi lainnya.
baca juga : Dedi, si ‘Marco Polo’ Penakluk Badai Laut Natuna
Pihaknya tidak mungkin melarang nelayan Natuna untuk melaut ketika musim utara masuk. Karena melaut menjadi pekerjaan satu-satunya masyarakat Natuna untuk menghidupi keluarga mereka. “Apalagi ini sudah dilakukan turun temurun,” katanya.
Menurut Hendri, pemerintah harus hadir dengan memberi subsidi kepada nelayan saat kondisi masa paceklik tersebut. “Nelayan sangat berharap subsidi, karena resiko besar dan cuaca tidak menentu,” katanya.
Hendri juga berharap, pemerintah melakukan kajian tentang masalah itu dan mencari alternatif penghasilan untuk nelayan Natuna saat musim angin utara. “Dulu prediksi cuaca nelayan jarang meleset, itu menggunakan tanda laut dan gunung Ranai saja. Sekarang ini cuaca berubah cepat akibat perubahan iklim, tidak bisa diprediksi lagi,” katanya.
Kebanyakan nelayan Natuna yang memiliki kapal kecil tidak berani melaut pada musim utara yaitu pada November sampai April. Hanya kapal besar yang berani melaut.
Data Dinas Perikanan Kabupaten Natuna menunjukan jumlah nelayan Natuna meningkat setiap tahunnya sejak 2016-2019. Tahun 2016 jumlah nelayan Natuna 9.657 orang, kemudian 2017 sebanyak 9.692 orang, 2018 sebanyak 9.860 orang, dan naik drastis tahun 2019 menjadi 10.400 orang.
perlu dibaca : Catatan Akhir Tahun: Masa Depan Laut Natuna Utara
Senada dengan Hendri, menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemaritiman untuk Kemanusiaan Abdul Halim, pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan subsidi bantuan kepada nelayan termasuk nelayan Natuna dimasa paceklik. Bahkan, subsidi itu masuk dalam kebijakan nasional, turunan dari Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. “Ketika masa paceklik pemerintah wajib memberikan bantuan kepada nelayan terutama yang memiliki ukuran kapal 10 GT ke bawah,” kata Halim.
Belakangan ini cuaca memang sulit untuk diprediksi akibat faktor perubahan iklim. “Ketika di darat nelayan aman, ternyata setelah melaut 15 mil ke atas situasi berubah, ombak tinggi. Jangan sampai nelayan yang menjadi ‘pahlawan protein’ kita menjadi korban, akibat kekeliruan dan ketidakpedulian kita semua,” katanya.
Solusi jangka pendek dan panjang, kata Halim adalah kepala daerah bersama Dinas Perikanan Kelautan bisa menyalurkan bantuan sosial selama masa paceklik. Kedua, kerjasama lintas instansi seperti Dinas Perikanan dan Dinas Tenaga Kerja untuk mencarikan peluang pekerjaan untuk nelayan yang tidak bisa melaut. “Dengan begitu nelayan bisa mendapatkan penghasilan baru selama paceklik, kapal bisa diperbaiki, keluarga aman, kebutuhan dapur bisa dipenuhi,” katanya.
Halim berharap, asosiasi nelayan harus memperjuangkan subsidi itu kepada pemerintah. Karena terkadang pemerintah punya anggaran tetapi tidak tahu aturan penggunaan anggaran itu. “Nelayan harus proaktif memperjuangkan itu. Kalau terus dibiarkan ancaman kecelakaan jiwa mengancam mereka,” katanya.
baca juga : Stimulus Ekonomi untuk Nelayan Masih Gagal Terwujud
Kepala Bidang Pemberdayaan Nelayan Dinas Perikanan Kabupaten Natuna, Dedy Damhudy mengatakan, pemerintah Kabupaten Natuna beberapa kali sudah memberikan bantuan sembako kepada beberapa nelayan pesisir. Namun, tidak dilakukan secara berkala apalagi khusus di masa paceklik angin utara.
Pihaknya selalu memberikan update data prediksi cuaca begitu juga yang dilakukan BMKG supaya nelayan mengetahui kondisi cuaca. “Himbauan ada yang diberikan melalui sosial media, pemberitaan radio dan lainnya,” kata Dedy saat dihubungi Mongabay Indonesia dari Batam belum lama ini.
Beberapa waktu lalu, pemerintah daerah juga mengadakan sekolah pelatihan tentang membaca informasi cuaca oleh BMKG. “Itu salah satu bentuk upaya pemerintah daerah melindungi nelayan kecil yang ada di Natuna,” katanya.
Deddy bilang, nelayan sekarang memang memiliki resiko kecelakaan laut yang cukup besar. Apalagi pada musim utara tahun 2021-2022 ini, perubahan cuaca terjadi sangat cepat atau bisa disebut pancaroba. “Angin badai utaranya seperti tidak benar-benar terjadi, terkadang gelombang tinggi, terkadang dalam kondisi cuaca normal,” katanya.
Kondisi tidak menentu itu membuat ketidakpastian bagi nelayan untuk melaut. “Bahkan lebih berbahaya saat pancaroba ini. Saat ini teduh, tiba-tiba terjadi gelombang tinggi di laut,” katanya.
Informasi dari nelayan, tidak menentunya perubahan cuaca mengurangi jumlah ikan di laut Natuna. Tangkapan nelayan sudah mulai berkurang. “Terutama ikan tenggiri, biasanya masa angin utara itu banyak, tetapi cerita nelayan sekarang sudah berkurang,” katanya.